Heh! Tanpa mereka bilang pun, gue udah tau rencana yang terpaksa gue lakuin ini adalah rencana terbaik yang gue punya. Awas aja, lho, Sav! Besok lho gak bakal bisa berkutik lagi.
***
/Savira POV/
Kami berlima akhirnya sampai di rumah Sisi dengan arahan Yesi. Aku menebeng dengan Leon dan yang lainnya menaiki motor mereka masing-masing dikarenakan hanya aku yang tidak membawa motor.
Kami berlima disambut baik oleh Mama Sisi. Beliau mempersilakan kami memasuki kamar Sisi beramai-ramai. Saat kami masuk, Sisi terlihat sedang makan bubur dengan telur rebus dibalut sedikit kecap.
"Hai!" katanya sambil melambaikan tangan.
Kami langsung mengambil posisi mengitari tempat tidur Sisi. Aku menanyakan kondisinya dan ia menjawab santai, mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Aku memberitahukan tugas dan catatan yang diberikan tadi.
"Astaga, Sav! Jangan ingetin tugas dulu! Nanti pusing lagi, nih!" protesnya padaku sambil terus memakan buburnya.
"Mending aku kasi tau sekarang. Daripada nanti malam, waktunya sedikit untuk nyelesainnya." protesku balik.
Sisi hanya mendengus pelan. Ia melanjutkan aktivitas makan buburnya. Kami berlima tertawa melihat ekspresi Sisi yang ngambek. Wajahnya tidak begitu terlihat pucat. Kami terus bercakap-cakap hingga hari semakin sore. Kami pun pamit kepada Sisi, membiarkannya beristirahat dan terkahir berpamitan dengan Mamanya.
***
"Besok aku antar lagi, ya?" kata Leon saat sampai di depan rumahku.
"Mau jadi ojekku ceritanya, nih?" tanyaku balik dengan nada bercanda.
"Tentu tidak, dong. Kalau ojek itu dibayar, aku itu gak dibayar sama penumpangnya." jawabnya dengan nada bercanda juga.
Aku tertawa, "Terserah kamu. Asalkan jangan sampai ngerepotin kamu! Aku masuk dulu. Hati-hati di jalan."
"Jadi, aku diusir? Yaudah deh, aku pulang. See you, Savira bawel." Ia pura-pura ngambek, namun berakhir nyebelin juga.
Aku hendak memukulnya, namun ia terlebih dahulu melajukan motornya meninggalkanku dengan sisa kesalku. Melihatnya yang tersenyum mengejek seperti itu, membuat rasa kesalku menguap dan berubah menjadi senyum. Dia benar-benar menyebalkan dan lucu di saat yang bersamaan.
Aku pun akhirnya masuk ke dalam rumah. Aku melihat motor Papa sudah terpakir rapi. Ternyata Papa sudah pulang hari ini. Aku masuk ke ruang tamu sambil berteriak, "Mama, Papa, Savira pulang."
Aku kira akan disambut dengan wajah tawa nan ceria. Ternyata aku salah, Papa sedang duduk di sofa dengan seragam kerja yang masih melekat di tubuhnya ditambah wajah yang menyeramkan. Mama baru saja keluar dari dapur membawakan camilan dan juga teh hangat. Wajah ceriaku tadi langsung lenyap seketika. Papa menolehku tajam dan Mama menatapku prihatin. Pasti akan terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan.
"Kamu duduk dulu, Savira!" kata Papa dengan penuh tekanan.
Pandangannya terus tertuju kepadaku seiring aku berjalan menuju sofa. Aku melirik-lirik Mama, menanyakan "Ada apa?" lewat tatapan mata. Mama hanya menggeleng perlahan, namun aku tahu itu bukanlah gelengan tidak tahu. Aku hanya diam duduk di sofa di bawa pandangan Papa. Aku tidak berani menatap wajahnya, apalagi matanya hingga aku memutuskan menunduk.
"Dari mana?" tanya Papa datar setelah diam dari tadi menatapku yang terus menunduk.
"Dari rumah Sisi, Pa. Dia sakit, jadi Savira jenguk sebentar sama temen yang lain. Tadi udah izin sama Mama, kok." jawabku yang akhirnya berani mengangkat kepala.
"Siapa tadi yang antar kamu pulang?"
"Leon, Pa. Yang waktu itu sempat ke rumah." jawabku takut, kembali menunduk.
"Kata Mamamu, tadi pagi kamu dijemput sama Leon. Bener?"
"Bener, Pa." jawabku pendek. Tidak ada gunanya menyangkal.
"Savira, berapa kali Papa bilang ke kamu? Jangan pernah pacaran dulu! Jangan terlalu dekat sama cowok! Fokus dulu ke sekolah. Kamu masih 15 tahun. Nanti, kalau kamu udah lulus SMA, udah kuliah, Papa gak akan ngelarang kamu pacaran. Tapi, kalau udah dibolehin, jangan sampai ngelakuin yang aneh-aneh."
"Savira gak ada pacaran, Pa. Leon cuma temen doang. Savira juga gak akan lupa sama sekolah cuma gara gara cowok. Papa gak usah khawatir tentang nilai-nilai Savira." Aku membela diriku sendiri.
"Apa salahnya, sih, Pa? Biarin aja Savira dekat sama Leon. Dia orangnya baik, gak akan macam-macam sama Savira. Savira juga udah janji fokus sama sekolah." Mama ikut membela diriku.
"Bukan itu masalahnya, Ma. Iya kalau Savira nepatin janjinya. Kalau gak? Kalau nanti nilainya dia turun, gimana?"
"Savira janji, Pa. Kalau misalkan nanti nilai Savira semakin jelek, Savira akan ngejauhin Leon atau terserah Papa mau gimana. Savira turutin." jawabku bersungguh-sungguh.
Papa menghela napas, "Terserah kamu mau gimana! Kalau sampai nilai kamu turun, terserah kamu juga. Masa depan juga ada di tangan kamu. Kamu udah dewasa, bisa tau mana yang baik sama yang buruk. Jangan sampai kamu nyesal nanti!" kata Papa pasrah.
Papa langsung pergi menuju lantai dua, meninggalkan aku dan Mama berdua di ruang tamu. Aku menghela napas panjang. Kalau sudah begini, aku merasa tidak enak. Aku merasa menjadi anak yang durhaka.
"Kamu ganti baju dulu, mandi. Perkataan Papa tadi jangan terlalu dipikirin. Papa cuma gak mau masa depan kamu hancur. Mama akan bicara lagi sama Papa." kata Mama lembut. Ia sudah duduk di sampingku sambil mengelus punggungku.
"Gak usah, Ma. Nanti Papa marah lagi sama Mama. Biarin Savira aja yang jelasin ke Papa kapan-kapan. Aku mandi dulu, ya, Ma." Aku pun beranjak naik ke kamarku yang berada di lantai dua.
Sampai di sana, aku menutup pintu kamar, menaruh asal tasku, dan langsung merebahkan tubuhku ke atas kasur. Aku menoleh ke boneka babiku yang kunamai Piggy yang berada di antara bantal-bantal. Aku mengambilnya, lantas berkata, "Gy, kamu denger baik-baik, ya? Aku, Savira, berjanji akan mendapatkan nilai yang baik sekalipun aku dekat dengan Leon atau malah berpacaran dengannya." kataku pada Piggy yang berada di tanganku.
Aku langsung menaruhnya setelah beberapa saat dan bergerak ke kamar mandi. Lama-lama rasanya gerah juga pakai seragam. Lalu, selesai mandi, aku langsung duduk di meja belajarku. Bukan belajar, aku mengambil buku diaryku dan menuliskan tentang keresahan hatiku hari ini. Ini adalah penyembuhku. Rasanya menjadi lebih lega jika aku bisa menuliskannya di dalam buku diaryku.
Sebenarnya, aku bukannya tidak bisa bercerita kepada Mama ataupun sahabatku. Hanya saja, aku tidak ingin mereka tahu. Beban mereka saja mungkin sudah berat dan susah. Apalagi jika ditambah beban yang kuceritakan. Aku tidak mau merepotkan mereka terlalu banyak. Aku juga lebih nyaman menceritakan keresahan hatiku dalam bentuk kata-kata. Enaknya adalah aku bisa membaca ulang tulisanku dan mengenangnya.
Setiap kubaca semua cerita di sana, terutama cerita yang meresahkan hati, aku merasa menjadi kuat. Aku sering berkata dalam hati seperti "Aku ternyata kuat menghadapi semua hal itu." kepada diriku sendiri. Perkataan itu membuat moodku menjadi membaik. Di situlah letak hiburannya untukku.