Aku tidak menjawab dan langsung lari ke dalam kamar, ganti baju. Mama mengingatkan aku untuk segera makan saat aku sudah berada di kamar. Aku pun spontan mengiyakan, tetap masih senyum-senyum sendiri di kamar.
***
Esok paginya, Leon menjemputku tepat saat aku selesai berkemas. Aku berpamitan dengan Mama, bilang kalau berangkat sama Leon. Entah kenapa, aku memilih bilang seperti itu. Padahal, tanpa dibilang pun, Mama gak akan bertanya.
"Jangan nakal-nakal! Sekolah dulu yang bener!" kata Mama mengingatkan.
"Iya, Ma. Kalau pacaran, boleh, ya?" tanyaku iseng.
"Mama sih boleh-boleh aja. Papa kamu itu yang gak bolehin. Diusahain jangan pacaran dulu!" jelas Mama mengingatkan.
"Iya, deh, Ma. Savira berangkat dulu, Ma!" Aku pun keluar dari gerbang dan langsung naik ke motor Leon.
"Gercep amat, Mbak. Saya udah kayak jadi tukang ojek aja." kata Leon menengok ke belakang.
"Kan emang. Udah, cepet jalan! Nanti telat, aku gak mau dihukum kayak waktu itu." protesku.
"Siap, Mbak!" jawab Leon sambil hormat, aku tertawa kecil melihat tingkahnya. Kemudian, ia menjalankan motornya dengan kecepatan normal.
Sementara itu, anak buah Vio sudah menunggu kedatanganku di dekat sekolah, tapi tidak terlalu dekat juga. Mereka mengira aku akan berangkat sendirian. Namun, sayangnya mereka kurang beruntung. Sangat kurang beruntung kurasa. Aku diantar oleh Leon dengan motornya.
***
/Violenza POV/
"Non, dia naik motor sama Leon, Non! Kita gak bisa cegat dia gitu aja. Maaf, Non!" lapor anak buah gue.
Cih, Savira brengsek! Bisa-bisanya dia goncengan sama Leon. Bukannya takut, malah makin ngelunjak. Awas aja! Gue buat lho tunduk sama gue dan gak bisa mesra-mesraan lagi sama Leon.
"Nanti pulang sekolah, lanjut plan C. Kalian bawa temennya ke gudang biasa. Gue tunggu di sana. Kalau ada Leon sama temen-temennya, cabut aja!" perintah gue.
***
/Savira POV/
Saat sampai di parkiran sekolah, Leon kembali menawarkan agar dia yang mengantarku pulang. Aku mengiyakan saja. Lagipula, aku lebih cepat sampai rumah dibandingkan aku harus berjalan kaki. Capek (sebenarnya sih gak capek amat karena udah biasa) dan lebih lama sampai rumah.
Sekarang, hari ketiga ujian dan besok adalah hari terakhir. Untung saja di hari-hari terakhir ini, mata pelajaran yang diujiankan tidak sulit dibandingkan hari sebelumnya. Aku menuju kelasku dan diikuti oleh Leon, dia jalan bersisian denganku.
"Ngapain ngikut-ngikut? tanyaku risih sekaligus malu.
"Siapa yang ngikut? Aku mau ke kelasku kok." jawabnya santai.
Aku terdiam sejenak, lalu kembali berjalan. Tidak salah, kelas kami searah. Wajar saja kalau dia juga melewati jalur ini. Bukannya tidak ada jalur lain, tapi jalur ini yang paling dekat. Aku juga terlalu ge-er karena mengira dia mengikutiku. Astaga, Savira! Kamu ini benar-benar keterlaluan. Tanpa aku sadari, Leon menahan tawa melihatku salah tingkah seperti itu.
Kami akhirnya sampai di kelasku setelah mengalami kecanggungan yang benar-benar mengganggu diriku. Mungkin hanya aku sendiri yang canggung karena kege-eranku yang tidak bisa dikondisikan ini.
"Semangat ujiannya!" kata Leon sambil mengacungkan tinju ke udara kepadaku yang baru akan memasuki kelas.
Aku terkejut karena setelah keheningan di antara kami berdua, dia tiba-tiba berbicara. Aku hanya tersenyum kaku, seperti aku baru mengenalnya. Aku segera memalingkan wajah dan cepat-cepat menuju bangku ujianku yang terletak di ujung belakang. Malu. Jantungku berdebar kencang. Wajahku juga serasa menghangat, mungkin sekarang sudah memerah.
"Dasar Leon! Pagi-pagi sudah membuatku salah tingkah dua kali." rutukku dalam hati.
Tepat saat aku menaruh tasku, seorang perempuan yang tak asing lagi suaranya tiba-tiba mengangetkanku, "Sav!" katanya menghentak sambil memegang kedua bahuku.
Aku terlonjak dan menoleh ke belakang, "Iih... Yesi! Bikin kaget aja." protesku sambil mengelus dada.
"Hehe, habisnya aku lihat daritadi kamu geleng-geleng kepala terus. Emang ada apa?" tanyanya.
"Eh? Gak ada apa-apa kok. Cuma mikirin soal ujian nanti aja. Takut susah soalnya." bohongku.
Itu adalah salah satu keahlianku. Aku tidak tahu apakah ini patut untuk dibanggakan atau tidak, tapi entah kenapa aku pintar sekali mencari alasan. Tidak ada gagap-gagap seperti ciri-ciri orang yang sedang berbohong. Dan, harus kalian catat! Aku tidak sering membohongi seseorang, kecuali aku tidak ingin mereka tahu suatu hal.
Yesi hanya mengangguk-angguk pelan tanpa curiga apa pun. Bahkan ia ikut menimpali, "Iya, semoga aja soalnya gak susah!" doanya.
Tak lama kemudian bel berdering. Aku spontan melirik bangku Sisi yang masih kosong melompong, tas pun tidak ada. Ke mana dia? Sakitkah? Atau izin? Sepertinya tidak, dia tidak ada bilang apa-apa padaku atau Yesi. Telat? Tidak mungkin seorang Sisi Fresia telat.
"Yes, Sisi kemana?" tanyaku pada Yesi yang belum beranjak dari tempatnya.
Dia menoleh ke bangku Sisi, "Aku kira dia udah dateng. Tadi ada tas di sana. Gak tau, deh. Dia gak ada kasi tau. Sakit mungkin? Dia biasa sakit mendadak. Oh, ya, aku taruh tas di depan dulu, ya!" katanya santai, lalu pergi ke bangkunya untuk mengambil tas dan ditaruh di depan kelas.
Aku mengikuti teladannya. Aku keluarkan kotak pensil dan papan alasku, lalu menutup ritsleting tasku dan menaruhnya di depan, sekaligus mengumpulkan handphoneku di box yang disediakan. Setelah duduk kembali, aku pandangi bangku Sisi yang kosong. Aku cemas padanya, entah kenapa. Cemas saja, takut terjadi sesuatu padanya.
Saat guru pengawas datang membawa soal ujian dan lembar jawaban, beliau mengatakan kalau Sisi sakit demam tadi pagi. Kecemasanku runtuh seketika, maksudku tidak separah sebelumnya. Yang dikatakan Yesi benar, Sisi sering sakit mendadak.
"Pulang sekolah nanti, lebih baik aku menjenguknya bersama yang lain." benakku. "Sekarang waktunya fokus sama ujian." batinku lagi.
***
Pulang sekolah, aku menghubungi Mama, meminta izin pergi ke rumah Sisi untuk menjenguknya. Mama mengizinkan. Aku, Yesi, Leon, Kiki, dan Jerry pun langsung pergi menuju rumah Sisi. Saat istirahat, aku sudah memberitahukan rencana ini kepada mereka semua dan mereka setuju. Jadilah seperti sekarang ini.
/Violenza POV/
"Non Vi, mereka pulang bareng-bareng. Saya denger-denger salah satu teman Savira sakit. Mereka jenguk ke rumahnya." lapor anak buah gue.
Gue yang udah nunggu di gudang, berharap berhasil harus nelan kabar buruk itu. Rencana gue gagal lagi. Beruntung banget, sih, mereka itu! Dari empat rencana yang udah gue buat, ketiganya gagal. Sebenarnya, rencana terakhir ini gue gak mau lakuin. Tapi, kayaknya udah gak ada cara lain lagi. Dengan rencana ini, gue bisa nembak dua sasaran dengan satu anak panah.
Gue langsung briefing anak buah gue buat rencana terakhir. Rencana ini harus dijalanin besok waktu mereka udah sampai sekolah. Mereka kayaknya bakal dateng barengan karena kayaknya Leon jemput anak itu kayak tadi pagi. Ada untungnya juga ternyata.
Setelah gue jelasin, mereka mengangguk mantap. Bahkan beberapa dari mereka memuji rencana yang gue buat.
"Non Vi hebat banget. Semudah itu bikin rencana."
"Sekali merengkuh, dua-tiga pulau terlampaui."
Heh! Tanpa mereka bilang pun, gue udah tau rencana yang terpaksa gue lakuin ini adalah rencana terbaik yang gue punya. Awas aja, lho, Sav! Besok lho gak bakal bisa berkutik lagi.