"Untung saja tidak terlambat masuk ke kelas hari ini. Kalau sampai terlambat, tiga nilaiku akan kosong di rapot semester nanti." batinku.
***
Istirahat pertama pun dimulai setelah sejam berkutik dengan angka angka dalam soal di atas meja. Benar-benar melelahkan harus menjawab 30 soal matematika pilihan ganda. Tenaga seperti terkuras habis, otak pun sudah mulai korsleting di pertengahan nomor atau sepertinganya malah. Hanya bisa menunggu keajaiban yang datang. Apalagi, aku ini bukan termasuk orang yang pintar dalam hal hitung-hitungan. Jika pelajaran anak SD, aku yakin aku bisa. Tapi untuk soal SMA, aku tidak begitu paham. Bisa mendapat nilai di atas KKM saja sudah senang setengah mati.
Seperti biasa, aku dan yang lainnya pergi ke kantin untuk mengisi perut. Untuk kali ini, Leon dan temannya tidak ikut seperti kesepakatan kita saat itu. Namun, entah kenapa Leon dkk justru ikut kami kembali makan bersama di kantin. Dia mengatakan bahwa Vio tidak akan tahu tentang hal ini. Aku juga mengiyakan. Jadi, kami tetap makan berenam seperti sebelum-sebelumnya.
/Violenza POV/
Saat ujian matematika tadi kelar, gue langsung nyari temen-temen gue yang gue ajak kemarin buat balas dendam sama anak gak tau diri itu. Gue nyuruh mereka kumpul di gudang tadi buat diskusi.
"Kalian denger kan omongan anak itu tadi? Dia bilang kalo hal yang bisa buat dia takut itu, nyakitin calon pacar gue. Dan, kalian pasti tau kalo gue gak bisa ngelakuin itu. Itu artinya, dia gak bakal bisa takut sama gue dan akan terus kurang ajar sama gue. Kalian ada solusi lain gak?" jelas gue pada yang lainnya dengan nada menahan marah.
"Non Vi, memang anak itu orangnya kayak gimana? Kita gak pernah denger namanya disebut-sebut di sekolah, artinya dia gak populer kan?" tanya sahabat gue, Gena.
"Gue juga gak tau dia orangnya kayak gimana. Emang gak ada salah satu dari kalian sekelas sama dia? Seenggaknya kalian punya temen yang sekelas sama dia. Itu udah cukup buat tau dia orangnya gimana." kata gue.
Salah satu dari mereka mengangkat tangan takut-takut. Gue kira dia punya temen yang sekelas sama anak itu. Tapi, malah...
"Savira kelas berapa, ya, Non Vi?" tanyanya takut-takut.
Gue langsung menepuk dahi. Bego banget sih ni anak! Kenapa coba dia bisa masuk geng gue?
"X IPA 3! Lho punya temen yang sekelas sama dia?" kata gue malas.
Dia mengingat-ngingat sebentar sambil menatap ke atas, lalu mengangguk pelan tanpa suara.
"Ajak temen lho ketemu gue waktu pulang sekolah! Gue gak mau tau. Kalo dia nolak, bilangin ke dia kalo hidupnya gak bakal baik-baik lagi setelah ini!" perintah gue padanya. "Nanti gue hubungin kalian lagi. Bubar semua!" sambung gue.
***
Sekarang udah jam pulang sekolah, gue lagi nunggu laporan dari temen anak buah gue yang sekelas sama anak itu. Udah 5 menit gue nunggu di gerbang dan dia gak juga dateng-dateng. Gue mutusin buat langsung ke kelasnya, minta penjelasan. Namun, lebih dulu anak buah gue dateng sama cewek yang mungkin temennya.
"Gak usah basa-basi lagi. Savira orangnya kayak gimana?" tanya gue langsung.
"Eee... dia itu... orangnya lumayan pinter. Nilainya... biasanya selalu 80 ke atas. Dia sering... main sama dua temennya, namanya Sisi sama Yesi. Orangnya... baik juga sama saya, dia... peduli sama... temen-temen di kelas." terang cewek itu.
"Itu doang?" tanya gue agak ketus. Sebagai jawaban, cewek itu mengangguk cepat. "Yaudah, lho boleh pergi."
Gue langsung cabut, ga peduli sama mereka mau ngapain. Yang penting, gue udah dapet info yang gue mau. Ya, walaupun gak begitu sesuai sama harapan gue. Tapi, lebih bagus kayak gini. Lebih mudah untuk gue bikin takut dia.
Gue pulang ke rumah naik mobil, bukan gue yang nyetir, ada sopir. Gue ngechat anak-anak lain dan ngasi tau mereka rencana yang gue punya. Semoga aja dia peduli sama hal yang juga gue peduli!
Violenza : [Guys, gue udah tau cara bikin dia takut sama gue. Untuk itu, gue butuh bantuan lho semua]
Violenza : [Plan A, gue bakal nyuruh bokap gue buat nurunin nilainya dia. Plan B, lho semua harus bisa bikin dia gak ikut ujian. Terserah lho mau diapain asal jangan sampe dia mati. Plan C, kita sakitin temennya. Plan D, kita bawa Leon sama Savira walau harus dipaksa. Selanjutnya, gue kasi tau lagi kalo ketiga rencana awal itu gagal]
Violenza : [Nanti gue bakal coba ngomong sama bokap gue. Kalau bokap setuju, kita gak perlu repot lagi]
All : [Siap Non Vi]
***
"Pa, Papa bisa gak nyuruh guru-guru nurunin nilai-nilai Savira, anak X IPA 3? Dia udah jahat sama aku, dia ngerebut pacar aku, Pa."
"Kenapa harus nilai sih, Vio?"
"Aku denger dia anak pinter, Pa. Biar dia kapok, Papa turunin ya nilainya?" mohon gue ke bokap.
"Papa gak bisa, Vio. Lembar jawaban kalian dikembaliin lagi ke kalian. Kalau LJ dia sengaja disalahin, gak bisa. Kalau nilai rapot sama LJnya beda, juga gak bisa. Coba omongin baik-baik sama dia aja!"
"Lembar jawabannya gak usah dibagiin, Pa."
"Gak bisa, Vio sayang. Lembar jawaban harus dikembaliin lagi biar kalian bisa belajar lagi dari ujian sebelumnya untuk selanjutnya."
Bokap gue tetep aja nolak. Yaudah, gue harus gimana lagi? Gue ninggalin ruang kerja bokap dan balik ke kamar gue. Plan B harus dilaksanain besok.
Violenza : [Guys, bokap gue nolak. Besok jalanin langsung plan B. Gue gak ikut nanganin dia. Kalian susun rencana sendiri, kalau udah kasi tau gue]
***
/Savira POV/
Pulang sekolah, Leon menawarkan agar aku diantar pulang sama dia. Awalnya aku nolak, bilang ke dia kalau rumah aku dekat. Dia justru bilang, "Gapapa, kalau aku antar pakai motor, kan lebih dekat lagi."
Iya, akhirnya aku gak bisa nolak. Aku diantar pulang sama dia ke rumah. Sampai rumah, dia gak sempat mampir karena dia buru-buru. Baru ingat ada janji sama teman katanya. Aku tertawa melihat tingkahnya yang sedikit panik, namun tetap santai. Dia melajukan motornya menjauh dari rumahku.
Sebelum pergi, ia sempat berkata, "Besok pagi aku jemput kamu, ya? Pulangnya aku juga yang antar, ya? Biar kayak orang pacaran." katanya sambil nyengir sendiri.
"Kalau aku gak mau gimana?"
"Aku bakal tetap ke rumah kamu. Kalau gak mau naik motor sama aku, aku kawal aja pake motor dan kamu jalan." katanya santai.
Aku tertawa kecil, "Iya, iya. Kita liat aja besok gimana jadinya. Cepet sana! Nanti temen kamu marah marah lagi kalau kamu telat." kataku mengusirnya.
"Iya, Savira bawel. Bye!" katanya sambil melambaikan tangan.
Aku balas melambai lalu masuk ke dalam rumah dalam kondisi senyum-senyum sendiri. Mama yang baru keluar dari dapur menanyakan kenapa aku senyum-senyum sendiri seperti ini. Aku tidak menjawab dan langsung lari ke dalam kamar, ganti baju. Mama mengingatkan aku untuk segera makan saat aku sudah berada di kamar. Aku pun spontan mengiyakan, tetap masih senyum-senyum sendiri di kamar.