Tanpa kusadari, perasaan itu muncul seiring waktu yang kami habiskan bersama. Perasaan yang awalnya kesal dan sebal dengan keberadaannya menjadi nyaman.
***
Waktu berjalan cepat dan tak terasa sudah jalan hampir setengah tahun kami menjadi murid kelas sepuluh di sini. Lima November, hari pertama ujian akhir semester dan juga hari terbaik dalam hidupku.
Anak dari kepala sekolah yang terkenal ambisius dalam segala hal, entah itu nilai atau hal yang berkaitan dengan cinta. Dia harus dapat yang terbaik. Violenza Stiffany, dia sering dipanggil Nona Vio, bahkan oleh kakak kelas sekalipun. Nah, 'Nona' Vio itu entah mengapa tiba-tiba datang ke kelasku dan mencariku.
"Siapa di sini yang bernama Savira?" katanya lantang seperti sedang menahan amarah.
Aku yang sedang membaca Buku Sejarah untuk persiapan ulangan nanti mendongak. Teman teman yang lain juga sudah menunjukku. Tanpa basa-basi, Vio langsung datang ke mejaku dan menarik lenganku kasar ke luar kelas. Dia terus menarik lenganku ke tempat sepi, tepatnya di toilet perempuan. Sementara, dua anak buahnya mengikuti sambil menyeringai dan terkekeh. Aku hanya diam. Mau dilawan juga susah, yang ada masalah makin besar.
"Lho yang namanya Savira?" tanyanya ketus, menatap tajam ke arahku. Ia baru melepas cengkeramannya dari lenganku.
"Iya, kenapa?" kataku santai, balas menatap matanya.
"Jangan deketin Leon lagi kalau lho gak mau kena masalah! Lho gak pantes sama Leon. Dia itu punya gue. Inget, dia punya gue!" geram Vio padaku memberi peringatan sambil mengacung-ngacungkan jari telunjuknya padaku.
"Sejak kapan Leon punya lho?" Aku mengikuti gaya bahasanya yang 'gue-lho'.
"Apa lho bilang? Panggil gue 'Nona Vio'! Lho itu cuma siswa biasa, beda sama gue." ucapnya. "Sekali lagi lho manggil gue kayak gitu, habis lho! Cabut!" ancamnya dan pergi bersama dua anak buahnya itu yang sok-sokan galak.
Aku hanya menatap mereka datar, tak peduli. Buat apa takut? Kalau dia macam-macam, tinggal pukul aja. Biar sekali sekali, ilmu bela diriku ini berguna.
Aku kembali ke kelas, lanjut belajar. Penggertakan tadi itu cukup membuang waktuku yang berharga ini. Bukan bermaksud sok rajin atau bagaimana, kemarin malam aku tidak banyak belajar karena Leon membuatku tidak bisa konsentrasi.
***
Ujian Sejarah selesai dan istirahat pertama dimulai. Seperti biasanya, aku dan yang lainnya pergi ke kantin dan duduk di area VIP (area tersembunyi). Hari ini aku tidak sempat menyiapkan bekal dan hanya membawa botol minum ke kantin.
Kami berenam memesan bakso, lengkap dengan minumnya, ada yang memesan es teh, es jeruk, dan air mineral biasa. Sambil menunggu pesanan kami datang, kami membahas ujian sejarah tadi. Kebetulan jadwal kelasku dan kelas Leon sama.
Tiba tiba saja, aku teringat tentang ancaman Vio tadi pagi. "Leon, kamu pacaran sama Vio? Dia kan sekelas sama kamu."
"Hm? Gak kok. Kenapa? Kamu cemburu, ya?" goda Leon.
"Bukan gitu, tadi pagi dia nyuruh aku gak deket-deket sama kamu lagi karena kamu itu punya dia. Jadi, kukira kalian pacaran." jelasku.
"Maksudmu Nona Vio, Sav? Anak kepala sekolah itu?" tanya Sisi tercengang.
"Iya. Kenapa kamu ikut-ikutan manggil dia 'Nona'?" protesku.
"Sav, lebih baik kamu jangan cari masalah sama dia. Kamu tahu kan, bulan lalu ada kakel yang cari masalah sama dia, terus kakelnya di keluarin dari sekolah tanpa alasan." saran Sisi.
"Apalagi, kepala sekolah selalu nurutin maunya dia. Semua guru juga bakal pura-pura gak tau kalau sampai dia bikin kamu luka luka." timpal Yesi.
"Aku juga gak mau nyari masalah sama dia. Apalagi masih minggu ujian." kataku setelah meminum beberapa teguk air dari botol minumku. "Leon, mungkin kita menjauh aja dulu untuk saat ini. Aku gak mau nilaiku yang kena imbasnya."
"Yaudah, mulai nanti kita gak usah bareng dulu. Aku juga gak mau kamu kenapa-kepana. Nanti coba aku bicara sama dia." kata Leon setuju.
***
Bel pulang pun berbunyi kencang memenuhi setiap jengkal sekolah. Kami mengambil kembali tas-tas yang awalnya dikumpul di depan kelas dan mengucapkan salam, lalu pulang.
Untuk kali ini, hanya Aku, Sisi, dan Yesi saja. Leon dan teman-temannya tidak bersama kami dulu untuk seminggu ini. Namun, kami bertiga dicegat olehnya. Iya, 'Nona' Vio itu bersama dua anak buahnya. Entah mau apalagi dia, tidak habis-habis membuang waktuku.
"Ngapain lho ngadu segala ke Leon? Gara-gara lho ngadu ke dia, gue jadi dimarahin sama dia. Lho kayaknya harus dikasi pelajaran biar ngerti sama omongan orang." katanya geram.
Dua anak buahnya itu memperlihatkan gunting yang tentu saja untuk memotong sesuatu. Sekarang, mereka mendekat ke arah kami (atau hanya aku) dan siap memotong dengan gunting di tangannya.
"Si, Yes, kalian mundur sedikit." bisikku pada mereka yang langsung patuh.
Aku menendang tulang kering mereka dengan keras hingga mereka meringis kesakitan. Saat lengah, aku ambil dua gunting di tangan mereka dan menodongkan gunting itu ke wajah mereka.
"Mungkin lho yang harus dikasi pelajaran biar gak ngehalu terus-terusan. Jangan ngaku-ngaku sebagai pacarnya Leon! Dia aja belum tentu mau sama lho." kataku dengan gunting di tangan.
"Awas aja lho! Gue bakal bikin lho menderita dan mohon ampun sama gue nanti. Cabut!" katanya kesal karena rencananya gagal.
Mereka kabur menuju gerbang sekolah. Aku menurunkan gunting yang kupegang dan berbalik badan ke arah Sisi dan Yesi sambil tersenyum.
"Yuk pulang!" kataku tersenyum. Namun, mereka malah takut-takut menatapku.
"Kenapa?" tanyaku bingung.
"Ta-ta-tadi se-rem banget, Sav. A-ku gak-tau kamu bi-sa se-serem itu." kata Sisi terbata-bata ditambah anggukan Yesi.
Aku tertawa kecil dan berkata, "Lupain aja yang tadi! Kalian mau gunting gak? Lumayan kan gratis." kataku menawarkan gunting itu pada mereka.
Mereka spontan menggeleng dengan cepat. Aku pun tertawa kecil kembali sambil memasukkan kedua gunting itu ke dalam tas. Lumayan kan bisa dapat gratis. Siapa tahu bisa jualan gunting nanti kalau begini terus, hehe.
Kami bertiga pun bersama menuju gerbang sekolah. Aku merangkul pundak kedua sahabatku itu yang masing takut-takut. Lucu sekali melihat wajah mereka itu, tapi lama-lama kasian juga.
"Santai aja, ih! Kalian tegang banget, yang tadi itu cuma bercanda doang. Gak usah dipikirin." kataku pada mereka berusaha menghilangkan ketegangan di antara kami. Namun, tetap saja gagal.
***
Malamnya, Sisi dengan semangat menceritakan kejadian tadi sore di sekolah kepada Leon, Kiki, dan Jerry. Oh ya, kita berenam ada grup di apps. Aku tertawa membaca pesannya di apps. Bertolak belakang sekali dengan sikapnya yang takut tadi. Namun, itulah Sisi. Sikapnya mudah sekali berubah-ubah dengan cepat.
Savira : [Jangan dilebih-lebihin, Sisi! Mereka aja yang lebay]