Malamnya, Sisi dengan semangat menceritakan kejadian tadi sore di sekolah kepada Leon, Kiki, dan Jerry. Oh ya, kita berenam ada grup di apps. Aku tertawa membaca pesannya di apps. Bertolak belakang sekali dengan sikapnya yang takut tadi. Namun, itulah Sisi. Sikapnya mudah sekali berubah-ubah dengan cepat.
***
Sementara, malam di tempat lain, Vio sedang mengadakan pertemuan dengan teman-teman segengnya. Sebenarnya, dia banyak sekali punya teman yang memiliki sifat sama seperti dia, hanya saja yang paling dekat dengannya adalah dua anak buahnya itu.
Vio sedang merencanakan sesuatu bersama teman-temannya itu. Rencana pembalasan dendam atau lebih tepatnya pelabrakan. Ia menceritakan tentang sikapku kepadanya yang menurut dia itu 'kurang ajar' dan sedikit dilebih-lebihkan. Bukan sedikit mungkin. Dan, saat itu, aku tidak tahu apa-apa. Aku sedang merasa senang dipuji oleh Leon dan hatiku sedang berbunga-bunga dibuat olehnya. Aku baru tahu saat esoknya aku masuk ke kelasku dan melihat bangkuku sudah diduduki santai oleh Vio dan senyum sinisnya.
***
Ini hari kedua ujian dengan mata pelajaran matematika, biologi, dan bahasa Indonesia. Aku melangkah riang sepanjang perjalanan menuju kelas. Namun, saat aku memasuki kelas, Vio sudah duduk santai menghadap ke arahku yang baru saja memasuki kelas.
"Hai!" kata Vio takzim melambaikan tangan padaku dengan senyum mengejek.
Aku terkejut dikarenakan dua hal. Pertama, kenapa dia ada di kelasku sepagi ini? Kedua, sejak kapan dia belajar menyapa seperti itu? Sebagai bentuk kesopananku padanya, aku balas melambai dengan senyum kikuk.
Dia terus berdiri sambil melipat kedua tangannya dan berjalan ke arahku dan berkata, "Lho ikut gue, ya! Taruh tas lho dulu biar buku lho gak rusak. Kasian nanti lho disuruh ganti." kata Vio santai seperti tidak ada masalah kemarin.
Aku yang berdiri tepat di depannya masih bingung sehingga terus menatapnya intens yang membuatnya risih.
"Jangan liatin gue terus! Cepetan taruh tas lho terus ikut gue. Lho gak mau telat masuk kelas, kan?"
Aku langsung melihat jam yang menunjukkan pukul 06.45, masih ada 30 menit sebelum bel masuk. Aku pun menuju bangkuku dan meletakkan tasku, lalu mengikuti Vio keluar kelas. Dia berjalan di depan, aku dibelakangnya. Aku menatap rambutnya yang hanya setengah diikat, setengahnya dibiarkan tergerai. Rambutnya bergerak ke kanan dan ke kiri seiring dengan langkahnya.
Dalam hati, aku bertanya-tanya semua hal. Kita mau ke mana? Kita mau ngapain? Kenapa dia tumben jadi baik gini? Kok tumben dia sendirian tanpa dua anak buahnya itu? Jangan-jangan dia mau buat aku kenapa-kenapa lagi? Semua pertanyaan itu tidak berani keluar dari mulutku.
Hingga tibalah kami di depan sebuah ruangan yang terlihat tidak terawat. Di pintunya, bertuliskan 'Gudang'. Dan, hanya kami berdua yang berada di sana. Jarang sekali Vio mengajak seseorang ke tempat sepi seorang diri. Kalaupun pernah, di tempat sepi itu pasti ramai, banyak teman-temannya (bisa dibilang anak buahnya).
"Nah, lho pasti bingung kan kenapa gue ajak ke sini? Biar lho gak bingung lagi, langsung gue mulai aja." katanya menghadapku dengan senyum iblis, lalu membelakangiku kembali.
Tiba-tiba saja, ada yang menyergapku dari belakang, tiga orang jumlahnya. Dua orang memegang kedua tanganku dan satunya lagi membekap mulutku dengan tangannya dari belakang.
"Kayaknya gue udah salah nilai lho. Lho gak takut kan sama gue? Sekarang, gue mau buat lho takut sama gue." katanya santai, masih membelangiku. "Caranya ya kayak gini. Rame-rame gini, terus lho gak bisa gerak, bahkan gak bisa ngomong karena lakban di mulut lho. Sebelumnya sih gue selalu biarkan mereka yang lain bisa ngomong, tapi spesial buat lho kali ini. Baik kan gue?" katanya sambil tersenyum menghadapku.
Setelah mulutku dibekap tadi, salah satu dari banyak orang itu memasangkan lakban di mulutku. Aku tak bisa berkutik, kalaupun bisa hanya terbatas.
"Lho mau gimana biar lho takut sama gue? Mau gue kunci di gudang? Mau gue potong rambut lho? Atau, lho ada saran?" tanya Vio.
Aku hanya diam menatapnya tajam. Toh, aku juga gak bisa ngomong. Emosiku sudah meluap, aku diremehkan olehnya. Wajahnya yang mengejek itu juga benar-benar menyebalkan, rasanya ingin kuhancurkan agar tidak dikenali lagi.
"Astaga, aku lupa! Mulut kamu kan dilakban. Mana bisa jawab?" kata Vio menepuk dahi. Entah itu pura-pura lupa atau memang benar-benar lupa. Dia pun melepas kasar lakban itu membuatku mengaduh kesakitan.
"Eh, sakit ya? Sorry, ya? Gue gak sengaja. Yang penting lho sekarang udah bisa ngomong lagi. Jadi, lho mau gimana biar lho takut sama gue?" katanya sambil memamerkan senyum iblis itu lagi.
"Terserah lho, gue bakal nerima." jawabku berusaha menahan amarah.
"Gak bisa gitu. Masalahnya, kalau gue yang nentuin hukumannya, belum tentu lho bakal kapok. Jadi, lho aja yg pilih."
"Kalau gitu, lho bisa sakitin Leon." Aku menjawab, setelah diam beberapa saat.
Vio langsung terperanjat dan menampar pipiku keras. "Beraninya lho ngomong kayak gitu!" katanya marah, sangat marah.
"Lho kan bilangnya hal yang bakal bikin gue takut sama lho. Gue gak bisa liat Leon kenapa-kenapa, dengan begitu lho bisa buat gue takut sama lho." jawabku menunduk.
Vio terdiam lama, entah melakukan apa. Aku tidak tahu karena aku menunduk. Suasana terasa benar-benar hening, hingga terdengar suara napasku dengan jelas.
Tiba-tiba, bel berdering kencang. Spontan aku mendongak ke arah suara bel, sama seperti yang lain. Aku menatap Vio dan dia juga menatapku balik.
"Lepasin dia! Biarin dia balik ke kelas. Kita juga cabut. Gue gak mau ketinggalan ujian cuma gara-gara ngurus dia." suruh Vio tegas.
Dua orang yang awalnya memegang erat tanganku akhirnya melepaskan cengkeramannya. Aku langsung lari dengan cepat meninggalkan mereka semua. Aku tidak mau lebih terlambat lagi masuk kelas. Kalau telat, bisa bisa satu mata pelajaran nilainya kosong atau lebih parah lagi aku dilarang mengikuti ujian hari ini. Itu artinya, aku harus ikut bersama murid-murid lain yang remidi sehingga nilaiku yang paling tinggi hanya mencakup KKM. Atau bisa bisa, aku gak dibolehin ikut ujian sama ikut remidi yang artinya aku harus merelakan tiga nilaiku yang kosong. Astaga, itu benar-benar parah!
Namun, keberuntungan sedang berpihak padaku. Saat aku memasuki kelas, guru pengawas belum datang. Aku cepat-cepat menyiapkan alat tulis dan menaruh tasku di depan kelas. Kemudian, duduk seperti tanpa ada masalah sebelumnya. Aku masih mengatur napasku dan mengelap keringatku dengan tisu yang kusediakan di kolong meja saat guru pengawas itu datang. Perbedaan waktu yang sangat tipis.
"Untung saja tidak terlambat masuk ke kelas hari ini. Kalau sampai terlambat, tiga nilaiku akan kosong di rapot semester nanti." batinku.