Chereads / Kisah di SMA / Chapter 7 - 6. Pertemanan (2)

Chapter 7 - 6. Pertemanan (2)

Leon melirik jam di pergelangan tangannya dan berkata, "Yah, gara-gara mereka, nih! Yaudah, istirahat aku ke kelas kamu, kita ke kantin! Aku kenalin di sana sekalian makan." katanya takzim, "sekarang, aku antar kamu balik ke kelas." sambungnya sambil kembali menggenggam tanganku erat dan mulai bergerak.

***

Bel istirahat pun berdering kencang dan sebagian besar murid mulai mengisi perut mereka yang keroncongan. Apalagi kelasku baru saja selesai pelajaran matematika, tenaga dan pikiran kami terkuras lebih banyak. Sesuai kesepakatan sebelumnya, Leon akan menghampiriku ke kelas. Namun, aku tidak bisa menunggu Leon untuk kemari karena dua sahabatku itu sudah bersiap datang ke mejaku. Aku pun keluar kelas, berniat menghampiri Leon lebih dulu. Namun sayangnya, pelajaran di kelasnya masih belum selesai. Aku terpaksa ke kantin duluan, menunggu di sana lebih baik.

Aku berjalan cepat menuju kantin. Kemudian, menyelip di antara siswa lain, mencari meja kosong. Agak susah mencari meja yang masih kosong dengan kondisi ramai seperti ini. Tanpa sadar, Sisi dan Yesi menarikku keluar dari kerumunan orang-orang. Aku tidak sempat melawan, selain karena kaget, di sini sesak sekali hingga aku sendiri tidak tahu siapa yang menarikku.

"Savira, kami mau minta maaf soal kemarin. Kami gak ada maksud buat ngejauhin kamu." kata Sisi meminta maaf, masih menggenggam tanganku.

"Iya, kami mau kok bantuin kamu keluar dari fobia itu. Kamu kan sahabat kami yang terbaik. Kami gak mau kehilangan kamu. Kamu mau kan maafin kami?" timpal Yesi, ikut menggenggam tanganku.

Aku diam sambil menatap mereka berdua silih berganti. Air mataku langsung keluar begitu saja tanpa kuminta. Kupeluk erat dua sahabatku itu dengan berurai air mata.

"Makasih udah mau tetap jadi sahabat aku setelah tau semua ini. Aku juga mau minta maaf----sama kalian. Maaf, kalau aku---langsung lari---kemarin! Hiks--hiks--hiks." semua air mata itu kembali menderas membuat hidungku tersendat. Kami berpelukan lama sekali hingga tangisanku mereda.

"Ayo, duduk dulu! Aku tadi udah pesen bakso, aku yang traktir." kata Sisi mengiringiku ke bangku kantin, disusul Yesi.

Aku tersenyum tulus padanya sambil terus mengusap hidungku yang masih tersendat. Tiba-tiba, ada notif chat dari Leon.

Leon : [Kamu di mana sav? Kok aku cari di kantin ga ada?]

Setelah membaca pesan itu, aku merasa ada yang janggal. Ini di mana? Dari tadi aku nyari meja kosong gak ada. Sekarang, aku udah duduk di sini sama mereka berdua.

"Ini di mana?" tanyaku pada mereka sambil memperhatikan sekelilingku.

"Loh, kamu belum tau, Sav? Kirain udah tau, habisnya gak nanya. Ini kantin VIP, gak semua orang tau tempat ini. Paling deket sama tempat jualannya abang bakso." jelas Sisi.

"Emang siapa aja yang tau?" tanyaku lagi, menoleh ke arahnya.

"Kita bertiga." kata Sisi santai.

"Aku keluar sebentar, ya!" kataku.

Savira : [Deket tempat jualannya abang bakso, yang paling pojok. Aku ada di sekitar sana]

Aku berjalan keluar melewati lorong pendek nan sempit ini. Lalu, berdiri diam sambil menunggu Leon kemari.

"Non, mau pesen apa?" tanya abang bakso itu padaku.

"Eh, enggak kok, bang. Ini lagi nungguin temen."

"Ohh, yaudah, saya nganterin pesenan ke sana dulu, ya!" pamit abang bakso itu sambil menunjuk lorong tempatku keluar tadi.

"Eh, tunggu, bang!" hentiku. "Biar saya aja yang bawa, kebetulan saya duduk di sana sama temen."

"Oh, gitu! Yaudah, ini baksonya tiga, yang satu ini pedes, sisanya enggak. Minumnya mau apa, non?" kata abang bakso itu menyerahkan nampan sambil menjelaskan.

"Es teh aja, bang. Tiga, ya!"

Abang bakso itu pun kembali ke tempatnya, membuatkan es teh. Benar-benar timing yang tepat. Leon dengan dua orang di belakangnya menuju ke arahku.

"Leon, sini!" kataku hampir berteriak.

"Kamu sendiri?"

"Oh, gak kok! Ada Sisi sama Yesi di sana. Aku ke sana dulu, ya! Kalian pesen aja dulu, aku duluan."

Aku pun pergi membawa nampan berisi tiga mangkok bakso itu menuju tempat tadi.

"Nah, itu anaknya dateng! Ada apa di sana? Kok lama?" kata Yesi.

"Gak ada apa-apa. Tadi nungguin temen. Nih, baksonya udah jadi!" kataku.

Aku pun duduk dan membagikan mangkok bakso itu kepada mereka berdua. Aku sudah mulai bersiap makan, tapi Sisi dan Yesi malah bertanya berbagai macam hal. Mulai dari nungguin siapa? Cowok? Loh, minumnya mana? Oh, ya, kemarin katanya kamu gak langsung pulang, bener? Emang kamu ke mana dulu? Yah, begitulah! Mereka silih berganti bertanya membuat keadaan bising. Aku menggebrak meja dengan sendok membuat mereka menghentikan ocehannya.

"Kalian ini, kayak udah gak ketemu setahun aja. Ludah kalian udah kayak hujan tau, jatuh ke makanan kalian tuh! Kalau gak enak, jangan salahin abangnya!" aku memarahi mereka karena telinga ini sudah tidak sanggup menahan.

"Habisnya kamu gak jawab-jawab, sih. Aku kan penasaran. Kemarin dihubungin, gak bisa-bisa. Tadi pagi, ditungguin, malah lari sama Leon sampai kejar-kejaran. Tadi waktu baru bel istirahat, langsung keluar kelas gak nunggu. Mau gimana lagi?" kata Sisi membela diri.

"Nanya sih boleh, tapi gak sampai gak ada jeda juga. Gimana aku mau jawab kalau kalian terus nanya gitu? Sekarang, tanya satu-satu!"

Kami pun berbincang-bincang sambil menikmati bakso di mangkok kami masing-masing. Mereka bertanya, aku menjawab. Aku bercerita yang terjadi kemarin malam. Lalu muncul celetukan-celetukan tidak jelas. Saling mengejek dan menghina diiringi suara tawa. Lalu, berganti suasana lagi menjadi sedih karena kucing milik Yesi meninggal kemarin. Berganti suasana lagi menjadi berdebar-debar karena mereka menanyakan perkembangan diriku dan Leon, saling menggoda.

Ternyata begini rasanya. Rasa dianggap ada dan dihargai. Benar-benar menyenangkan. Sudah berapa lama aku tidak pernah merasakan hal ini? Sembilan tahun mungkin. Seperti ingin menangis, tapi bukan karena sedih, melainkan terharu. Hampir saja diri ini menitikkan air mata, Leon lebih dulu datang dan menyapa kami.

Tawa canda kami harus terhenti sejenak. Kami serempak menoleh. Aku bahkan lupa kalau Leon akan mengenalkan temannya kepadaku. Aku tersenyum kikuk padanya sebagai balasan sapaannya.

"Ini minuman kalian, es teh kan?" kata Leon duduk di sebelahku.

Aku mengangguk pelan, pindah tempat duduk di samping Sisi agar Leon dan dua temannya bisa duduk sederet. Kami berenam hanya diam saja, tidak ada obrolan membuat hening. Leon dan dua temannya sibuk makan bakso mereka. Aku melirik-lirik canggung ke arah mereka bertiga, khususnya Leon. Baksoku sudah habis, begitu juga dengan dua sahabatku itu yang sibuk menatap dua teman Leon dengan intens. Mereka pasti risih ditatap sampai seperti itu.

Hingga lima menit kemudian, tetap hening. Jam istirahat sudah mau habis. Mau tidak mau harus ditanyakan. Kali ini harus berani.

"Eee....kamu..mau bicarain....apa?" tanyaku terbata-bata.

Leon tidak menjawab. Ia masih asik dengan baksonya, sama dengan temannya yang lain. Sungguh, ini menjengkelkan. Baru saja tadi aku terharu karena merasa dianggap ada. Sekarang, semuanya menganggap aku tidak ada. Aku pun pergi meninggalkan mereka tanpa pamit. Sudah terlanjur kesal.