Baru saja tadi aku terharu karena merasa dianggap ada. Sekarang, semuanya menganggap aku tidak ada. Aku pun pergi meninggalkan mereka tanpa pamit. Sudah terlanjur kesal.
"Mau ke mana, Sav?" tanya Leon hampir berteriak.
"Mau ke kelas." gumamku kesal, sengaja memang aku berbisik. Aku tetap berjalan pergi meninggalkan mereka.
Tiba-tiba Leon memegang pergelangan tanganku dan sedikit menarikku. Cengkeramannya di pergelangan cukup kuat sehingga aku tidak bisa melepasnya, walau tidak sakit. Entah bagaimana cara ia melakukannya.
"Kok gak dijawab? Mau ke mana?" tanya Leon tegas.
Aku menatap matanya yang dingin, tidak seperti biasanya. Di matanya, dia seperti marah. Namun, bibirnya justru menyunggingkan senyum lebar. Aku tahu, dia sebenarnya marah. Semuanya terlihat jelas di matanya, senyum itu hanya kepura-puraan, tidak benar. Biasanya, aku akan takut jika ditatap dingin seperti ini dan memilih untuk menunduk. Berbeda dengan sekarang, aku malah balik menatap dirinya yang lebih tinggi dariku dengan tatapan menantang.
"Emang kenapa? Buat apa kamu tau?" kataku sambil mendongak menatapnya. Jarak kami berdua cukup dekat.
"Aku gak suka cewek ngambekan. Duduk lagi di sana, aku mau kenalin temen-temenku!" kata dia dengan penekanan dalam setiap katanya.
"Terus, kalau kamu gak suka cewek ngambekan kenapa? Hubungannya sama aku apa?" kataku penuh amarah. Lalu, aku melepaskan cengkeramannya di pergelanganku, "Gak ada, kan?"
Aku balik kanan dan lanjut pergi. Apa-apaan sih dia? Kenapa gitu aja marah? Gak jelas banget! Bikin badmood aja. Huft!
***
Saat aku sampai di kelas, bel pun langsung berbunyi. Tepat waktu sekali. Aku langsung duduk di bangkuku, mengeluarkan buku Bahasa Indonesia dan catatanku beserta alat tulis. Sebelumnya aku tidak pernah seperti ini, menyiapkan peralatan belajar secepat ini. Biasanya aku baru meyiapkannya saat guru sedang dalam perjalanan ke kelas. Dari tempat dudukku ini, itu hal yang mudah untuk melihat ada guru yang mampir atau tidak ke kelas. Aku memperhatikan jam, melihat jarum detiknya bergerak sambil mendengar suasana kelas yang mulai bising.
Semenit kemudian, Bu Maha siap memasuki kelas. Namun, ada seorang laki-laki yang menghentikan langkah Bu Maha, Leon. Ia berbicara dengan Bu Maha, terlihat seperti sedang memohon. Entah apa yang ia inginkan. Akhirnya, Bu Maha mengangguk setuju setelah Leon mendesak terus-menerus.
"Savira, ada yang nyariin kamu. Katanya mau ngomongin hal penting. Dia nunggu di luar." kata Bu Maha melihat ke arahku.
Beliau memang hapal dengan nama dan wajah-wajah kelas kami, tidak ada yang mengherankan. Justru aku yang terheran. Kenapa pula Leon mencariku?
"Baik, Bu." jawabku singkat.
"Jangan lama-lama! Kalian harus belajar juga." ingat Bu Maha pada kami berdua.
Kami hanya mengangguk. Setelah Bu Maha masuk, Leon mengajakku menjauh dari ruang kelas. Butuh privasi katanya.
"Maaf kalau aku ada salah tadi! Nanti istirahat ke dua, kita ketemu di aula deket UKS. Aku mau kenalin dua temenku tadi waktu makan. Oke?" katanya langsung pada intinya.
"Kenapa gak tadi aja?" tanyaku cuek. Masih kesal karena tadi.
"Tadi lagi makan. Kalau makan, gak boleh ngomong dulu." jawabnya santai dengan wajah menyebalkan. Dia bahkan menyejajarkan wajahnya denganku.
Aku menatapnya kesal dengan wajah datar. Dia seperti sedang mengejekku dengan wajah menyebalkannya itu. Wajah yang sama saat dia mengejar diriku.
"Jangan ngambek lagi! Sekalian aku beliin es krim deh nanti. Oke?" dia kembali lagi pada posisinya semula sambil mengusap puncak kepalaku.
"Bener ya? Es krim coklatnya harus udah ada sebelum aku sampai di aula. Kalau gak, beliin buku yang aku mau besok waktu pulang sekolah." kataku santai. Kerutan di wajahku menghilang.
"Iya, Savira cantik. Aku beliin buku juga besok waktu pulang sekolah sebagai permintaan maaf. Sekarang, senyum dulu."
"Nih senyumnya!" aku tersenyum lebar.
Dia kembali mengusap kepalaku dan menyuruhku kembali ke kelas dan belajar dengan baik. Dia juga bilang akan traktir es krim besok waktu pulang sekolah.
***
Bel istirahat pun berdering kembali. Seperti perkataan Leon tadi, kita akan bertemu di aula dekat ruang UKS. Di sana biasanya memang sepi karena jauh dari manapun, kecuali UKS. Aku juga mengajak dua sahabatku juga, Sisi dan Yesi. Sebenarnya sih, mereka yang mau ikut, mau ketemu sekalian kenalan sama temannya Leon.
Saat kami bertiga sampai, sudah ada Leon di sana. Ia duduk sendirian dengan sebuah es krim coklat di tangannya. Aku menghampirinya dan duduk di sebelahnya, diikuti Sisi dan Yesi duduk di sebelahku.
"Es krimnya mana?" kataku sambil menjulurkan tangan di depan matanya.
Dia menoleh dan tersenyum, "Nih, sesuai request yang tadi!" dia menyerahkannya padaku dan mengusap puncak kepalaku. Entah kenapa, dia suka sekali mengusap kepalaku.
"Sav, mana mereka? Katanya mau ngenalin. Mu bohong, ya?" protes Sisi setelah melihat sekitarnya dan tidak menemukan orang-orang yang dicarinya.
"Iya, nih! Jangan bilang kamu mau kita jadi nyamuk di sini!" timpal Yesi malas.
"Jadi, mereka mana?" tanyaku pada Leon, tidak menjawab mereka berdua.
"Itu mereka." kata Leon santai menunjuk ruang UKS.
Di depan pintu UKS, dua teman Leon sedang memakai sepatu mereka. Salah satunya berwajah pucat pasi. Aku turut prihatin melihatnya.
"Dia Kiki. Waktu mau ke kelas tadi, tiba-tiba dia muntah, gak tau kenapa. Di sebelahnya, Jerry, dia yang nganterin Kiki ke UKS." jelas Leon kepadaku.
"Kamu gak ikut nganterin?" aku menoleh padanya.
"Enggak. Jerry bilang aku ketemu sama kamu dulu, baru nemenin Kiki. Makanya aku bisa beliin kamu es krim duluan."
"Kalau gitu, kenapa gak besok aja kenalinnya?"
"Aku udah nyaranin kayak gitu, mereka nolak. Mereka penasaran sama kamu."
"Kenapa?"
"Nanti aku ceritain. Kalian kenalan dulu." Leon melirik ke belakangku dan aku ikut menoleh ke belakang.
Di sana sudah ada Kiki dan Jerry duduk, di sebelahnya ada Sisi dan Yesi. Mereka mencuri pandangan berkali-kali kepada Kiki dan Jerry.
"Yes, Si, sini! Leon mau ngenalin mereka berdua."
***
Kita pun saling mengenal setelahnya. Setiap istirahat, kami selalu makan bersama di kantin, entah itu bekal dari rumah atau beli di kantin. Kita saling berbagi cerita. Aku dan Leon pun menjadi lebih dekat tanpa terasa. Dan, soal buku yang dia janjikan waktu itu, dia menepatinya. Bahkan dia membelikan 3 buku yang aku mau, dia sangat baik. Tanpa kusadari, perasaan itu muncul seiring waktu yang kami habiskan bersama. Perasaan yang awalnya kesal dan sebal dengan keberadaannya menjadi nyaman.
Hubungan kami bukan pacaran, tapi kami seperti berpacaran. Aneh, bukan? Bahkan, saking dekatnya kami, teman-teman di sekitar kami selalu men-cie ciekan kami. Astaga, itu benar-benar risih tapi entah kenapa juga bisa membuatku senyum-senyum sendiri. Rasanya kesal, tapi juga senang.
Apa kalian pernah merasakan hal seperti itu? Kesal dan senang dalam waktu bersamaan.