Aku tidak beranjak dari duduk. Aku takut, gugup, cemas. Aku yakin wajahku sudah mulai pucat karenanya. Bayangkan saja! Kamu yang tidak pandai berakting dan pemalu ini tiba-tiba disuruh melakukan drama mendadak. Apa tidak ingin pingsan saja?
"Kamu baik-baik saja, Savira?" tanya Leon yang kuyakin pasti khawatir melihat wajahku yang pucat.
"Aku baik-baik saja. Hanya sedikit gugup." jawabku berusaha terlihat baik-baik saja.
Aku pun akhirnya ikut beranjak pergi menuju belakang panggung ditemani Leon. Ia berjalan bersisian bersamaku, berusaha membantuku berjalan. Padahal, aku baik-baik saja. Memang tidak terlalu baik, sih. Kakiku sedikit gemetar, atau bukan hanya sedikit sampai-sampai ia takut aku terjatuh. Jujur saja, aku tidak begitu sadar dengan hal ini. Ketakutan akan drama instan itu mengambil separuh lebih akal sehatku. Dan, harus kuakui, Leon adalah lelaki yang bisa diandalkan, juga... cukup tampan.
30 menit berlalu cepat. Kami berdelapan sudah mempersiapkannya dengan baik. Kami tidak perlu berganti pakaian, tetap memakai pakaian kami. Hanya butuh skenario saja dan beberapa properti. Sebenarnya aku masih gugup sekali. Kakiku masih sedikit gemetar (hanya sedikit kok). Wajahku tidak sepucat tadi, sudah kembali memerah. Sementara itu, Leon terus menggenggam salah satu tanganku erat-erat. Mungkin dia bermaksud menenangkanku. Yah, cara itu bisa dibilang berhasil, walau tidak sepenuhnya bisa menghilangkan kecemasan itu.
Namun, di detik-detik terakhir ada masalah yang benar-benar mendesak. Entah itu keberentungan atau bukan untukku, aku jatuh pingsan sebelum drama itu sempat dimulai. Padahal tinggal beberapa detik lagi. Kalian pasti tau alasannya. Iya, aku pingsan karena saking cemasnya. Ini adalah fobia yang kumiliki, namanya 'glossophobia'. Aku tidak pernah berani untuk berbicara atau tampil di depan orang banyak sejak aku kelas 6. Jika itu hanya di kelasku, aku masih bisa melawannya, walau aku tetap gugup. Tapi, jika orangnya sebanyak ini, aku tidak akan sanggup. Siapa pun tidak tahu tentang hal ini, hanya diriku sendiri.
Saat aku bangun, sudah ada dua sahabatku dan juga Leon. Aku tersenyum tipis kepada mereka, kepalaku masih sedikit pusing.
"Akhirnya kamu sadar juga, Sav!" kata Yesi tampak cemas. Mendengar itu, Leon yang berdiri agak jauh langsung mendekat.
"Bagaimana kondisimu?" tanya Leon. Ia sudah berada di samping tempat tidur tempat aku dibaringkan.
Awalnya, itu adalah tempat Sisi. Sisi menyingkir. Ia bilang akan mengambilkan air minum untukku, Yesi mengikutinya. Sempurna sudah, aku dan Leon berdua di dalam sini.
"Aku baik-baik saja. Bagaimana drama instannya?" tanyaku teringat hal itu.
"Syukurlah! Aku khawatir sekali. Drama itu dibatalkan berkatmu. Untung saja kau pingsan, jika tidak aku harus tampil memalukan di sana." katanya riang, "eits, bukan berarti aku senang karena kau pingsan. Hanya... ya, begitulah!" sambungnya membela diri sebelum aku sempat protes.
"Kau mau tau alasannya? Kenapa aku bisa pingsan?" tanyaku menatapnya lamat-lamat. Leon mengangguk samar.
"Mendekatlah!" bisikku.
Tepat setelah Leon mendekat, bersiap mendengar, ada dua tikus yang tiba-tiba datang. Tikus yang sangat-sangat besar.
"Hayo, kalian ngapain?" kata Sisi mengagetkan, ia memang tak berteriak. Namun, suaranya itu cukup untuk membuat kami berdua kaget. Di kedua tangannya sudah ada 2 botol air minum. Yesi yang dibelakangnya juga membawa 2 botol.
"Mana airku?" kataku dengan menatap tajam Sisi. Tanganku terjulur kepadanya, meminta satu botol di tangannya.
Sisi hanya tertawa kecil dan memberiku satu botol air. Dia juga memberikan satu botol kepada Leon. Kami berempat serempak minum.
"Jadi, alasan kamu pingsan kenapa?" tanya Leon.
Sungguh, dia tidak bisa menilai situasi. Dia malah melanjutkan perbicangan yang tadi. Gara-gara dia, Sisi dan Yesi jadi ikut penasaran. Bukan berarti aku tidak mau memberi tahu mereka. Hanya saja, aku berubah pikiran. Aku tidak akan memberi tahu siapa pun tentang ini, bahkan kepada orang terdekatku. Tapi, sekarang mereka bertiga malah mendesakku untuk memberitahukan mereka. Tidak ingatkah mereka bahwa aku baru saja siuman? Sekarang, mereka malah membuat kepalaku pusing (bukan pusing yang itu).
"Glossophobia!" seruku jengkel membuat mereka terdiam, bingung
"Aku mengalami glossophobia. Aku gak berani bicara atau tampil di depan banyak orang kayak tadi. Kalau di kelas, sih aku masih bisa tahan. Tapi, di sini, 3 angkatan plus guru-guru, membayangkannya aja udah gak kuat." jelasku lebih baik.
Tanggapan mereka? Menatapku tidak percaya, seperti patung. Maka dari itu, aku memutuskan pergi dari ruangan itu tanpa berkata apa-apa. Reaksi mereka? Hanya diam. Hatiku sedikit pedih. Menyesal. Harusnya aku tidak mengatakan yang sebenarnya. Aku harusnya tahu mereka akan menjauhiku, bahkan membenciku setelah mengetahuinya. Harusnya tidak kukatakan. Aku berlari terbirit-birit keluar gedung. Gedung itu sudah sepi, hanya beberapa orang yang masih bertahan, berbincang-bincang. Entah berapa jam aku pingsan, tidak tahu dan tidak peduli. Aku terus saja berlari sambil membiarkan tetes demi tetes air mataku terjatuh.
Malam ini cerah, bertolak belakang dengan suasana hatiku. Bulan sabit sudah muncul di langit malam ditemani bintang-gemintang. Aku duduk di bangku taman favoritku sambil memandang langit, tetap berurai air mata tanpa berniat menghapuskannya. Setiap kali aku memiliki masalah, aku akan datang ke sini dan duduk termenung di salah satu bangku kosong, menatap langit, memikirkan semuanya. Taman ini cukup jauh dari rumahku. Itulah tujuannya, agar tidak ada satu pun yang tahu.
Terkadang, aku iri kepada bulan, dia selalu ditemani ribuan bintang, sekalipun kita tidak melihatnya. Sementara aku, sendiri. Selalu sendiri pada akhirnya. Kedua air mataku jatuh bersamaan dengan petir yang menyambar, disusul suara gemuruh. Semua orang berlarian pergi, cepat-cepat pulang sebelum hujan membasahi tubuh kering mereka. Sempurna sudah aku sendirian malam ini.
Menit berikutnya, awan mendung mulai berkumpul, siap menjatuhkan bulir-bulir air. Aku tetap diam, masih memandang langit yang sekarang mendung. Menit berikutnya lagi, hujan deras membasuh semuanya. Tidak ada lagi tempat kering yang bisa digunakan untuk berlindung. Lagi pula, aku tidak berniat menghindari hujan. Aku menyambut mereka, berterima kasih sepenuh hati karena sudah menyembunyikan air mata ini.
"Apa ceritaku ini amat menyedihkan sehingga kalian pun ikut menangis dengan derasnya? Apa cerita ini sangat menyedihkan?" gumamku kepada langit.
Langit bergemuruh sekali lagi. Kuanggap itu sebagai jawaban 'Ya'. 10 kali aku pergi ke taman ini, mengeluhkan semuanya, mengadu kepadaNya dan sebagai tanggapan, langit selalu mengirim hujan yang amat deras.
Sekarang, tubuhku sudah menggigil kedinginan. Entah berapa lama aku berdiam diri di sini? Entah jam berapa sekarang? Aku tidak peduli. Aku akan terus duduk di bangku ini hingga langit selesai 'menangis'.
"Savira?" panggil seseorang.
Aku menoleh dan menatap pemilik suaranya, Leon. Dia menggunakan payung dan dia datang sendirian. Aku kembali memandang langit, tidak peduli dengan kehadirannya. Leon mendekat ke arahku dan duduk di sebelahku, masih menggunakan payungnya. Payung itu sudah menghalangi hujan menyentuh tubuhku.
"Bagaimana kau tahu aku ada di sini?" tanyaku tanpa meliriknya sama sekali.
"Entahlah. Aku hanya merasa bahwa aku harus pergi ke sini. Padahal, aku belum pernah ke taman ini." jawabnya lembut.
"Pulanglah! Ini sudah malam." suruhku.
"Kau juga pulanglah! Jangan hujan-hujanan seperti ini!" katanya khawatir, menatapku lamat-lamat.
"Aku sudah terbiasa. Kau pulanglah! Tidak usah khawatir pada orang yang mengalami 'glossophobia'."
"Aku tidak akan pulang sebelum kau pulang." jawabnya singkat, terus menatapku.
"Aku juga tidak akan pulang sebelum kau pulang." balasku.
"Baiklah. Kalau begitu kita akan tetap duduk di sini sampai pagi tiba." jawabnya santai.
Aku diam, tidak menjawab. Tiba-tiba dia mengatupkan payungnya, menaruh di sebelah bangku.
"Apa yang kau lakukan?" tanyaku spontan, menoleh ke arahnya
"Hujan-hujanan. Sama sepertimu."
"Kenapa kau seperti ini? Kenapa kau masih tetap peduli? Apa kau tidak waras? Aku mengalami glossophobia." kataku yang semakin lama semakin meninggikan suaraku.
Suara meninggiku itu bersamaan dengan bunyi gemuruh yang membuat suaranya sedikit tersamar. Namun, dia masih bisa mendengarnya dengan jelas.
"Lalu?"
"Orang sepertiku tidak akan pernah mendapatkan ruang di dunia ini. Aku ini benar-benar memalukan."
Leon tidak menjawab. Dia justru mendekap tubuhku dari samping sambil berkata pelan, "Mungkin kau tidak memiliki ruang di dunia ini, tapi kau memiliki ruang di hatiku."
Aku menatapnya tidak mengerti. Bagaimana bisa dia tetap seperti ini setelah tahu semuanya? Aku tersenyum tulus kepadanya. Mataku kembali menguraikan air mata. Kali ini air mata yang berbeda, air mata terharu, bukan kesedihan. Walau, dia tidak bisa melihat air mata itu karena tersamarkan hujan.
"Kau mau menjadi pacarku? Aku akan membantumu melawan fobia itu."
Aku menggeleng, "Bisakah kita berteman saja?"
"Tentu saja. Kita berteman sekarang. Itu sebuah kemajuan. Tenang saja, aku akan tetap membantumu pulih dari fobia itu."
Aku tersenyum lebar menatapnya. Hujan tiba-tiba saja mereda dan perlahan hilang. Kurasa, tangisan itu sudah berhenti, bergantikan senyum. Awan mendung itu bergantikan pelangi indah.