"Astaga, Savira! Udah tau hujan deras, kenapa gak neduh dulu? Basah kuyup kan kamu! Ini udah kesekian kalinya kamu pulang basah kuyup gini! Ujung-ujungnya, kamu demam." kata Mama murka. Beliau terus saja menceramahiku.
"Ma, berhenti dulu! Gak enak sama temenku." kataku menghentikan omelannya.
"Ada Leon, ya? Astaga, kok kamu ikut basah kuyup? Pasti Savira yang nyuruh kamu hujan-hujanan kan? Ayo, masuk dulu!" kata Mama tersadarkan.
"Kamu cepetan mandi! Ganti baju! Nanti demam lagi." kata Mama menyuruhku.
Aku menurut. Tidak ada gunanya membantah. Setiap kali aku basah kuyup begini, aku selalu berakhir demam. Itu benar-benar tidak enak. Semuanya terasa hambar.
"Tante ambilin handuk sama baju ganti kamu dulu. Kamu juga mandi, biar gak demam kayak Savira."
"Gak usah, tante. Udah malam, saya pulang aja." tolak Leon.
"Gak, gak boleh! Nanti kamu masuk angin. Tante gak enak sama orang tua kamu. Tunggu di sini!" Mama tetap memaksa sampai mengancam.
Mama pun akhirnya kembali dengan handuk dan pakaian ganti, lengkap baju dan celana. "Kamar mandinya ada di sana." kata Mama menunjuk sebuah pintu yang terletak di sudut ruangan.
Leon pun menurut. Ia mengambil handuk dan pakaian itu, "Makasih, tante." Lalu, ia pun masuk ke kamar mandi.
Mama kemudian beralih ke dapur, membuat teh hangat dan mengambil camilan. Saat kami berdua kembali ke ruang tamu dengan keadaan lebih baik, 3 cangkir teh beserta biskuit sudah terhidang di meja.
"Ayo, duduk dulu! Minum tehnya biar hangat." kata Mama mempersilakan.
"Maaf, tante. Saya ha--awh"
Aku menginjak kakinya sambil memelototinya dengan senyum memaksa, 'Turuti saja!'. Dia paham, dan kami berdua duduk di sofa depan mama.
"Ayo, minum dulu tehnya sambil ngobrol-ngobrol!"
"Ma, papa pulang jam berapa?"
"Lagi di jalan, sayang. Sebentar lagi pulang." ucap mama setelah selesai menghirup tehnya.
Aku mengangguk perlahan dan mulai mengambil cangkir yang tersisa dan biskuit. Aku menyelupkan biskuit itu ke dalam teh dan memakannya. Itu selalu enak.
Saat aku sedang asik menyantap biskuit-biskuit di piring, mama kembali membuka percakapan.
"Kalian udah pacaran?" tanya mama tanpa masalah.
Aku yang sedang memakan biskuit nyaris tersedak dan mengomel, "Mama apaan, sih? Kan mama sama papa sendiri yang ngelarang aku gak boleh pacaran. Kok sekarang malah nanyain ini?"
"Kamu boleh kok pacaran. Asalkan, nilai kamu gak boleh turun. Mama gak mau kamu jadi nelantarin sekolah karena pacaran." jelas Mama.
"Lagipula, kalau kalian pacaran, bisa saling motivasi, saling support, saling bantu. Pacaran yang sehat-sehat aja. Mama sama papa gak akan masalah." jelas Mama lagi.
"Tante, saya pamit pulang dulu, ya. Udah malam, gak enak juga sama tante sama Savira, gak bisa istirahat." kata Leon beranjak berdiri. Dia seakan tidak peduli tentang percakapan tadi.
Dari tadi, dia hanya diam menonton percakapan aku dan mamaku sambil menghirup teh hangatnya. Sekarang, teh miliknya sudah sempurna habis dan langsung pamit pulang.
"Yaudah, salam buat orang tua kamu, ya! Makasih juga udah anterin Savira pulang. Tante minta maaf kalo dia ngerepotin sampai bikin kamu basah kuyup tadi."
Aku dalam hati, protes. 'Kapan aku ngerepotin cowok nyebelin itu?' kan dia sendiri yang minta nganterin aku pulang. 'Kapan aku nyuruh cowok nyebelin itu hujan-hujanan?' kan dia sendiri yang mau.
"Savira, anterin Leon sampai di depan! Mama mau beresin ini dulu." bisik Mama di dekatku.
Aku hanya bisa menurut. Aku gak mau bikin masalah cuma gara-gara ini. Lagipula, aku kan bisa marahin dia di depan. Aku dan Leon pun jalan beriringan hingga di depan pintu. Tepat, saat pintu dibuka, Papa muncul dengan kemeja putihnya.
"Malam, Om, saya Leon, temannya Savira." ucap Leon ramah dengan senyum.
Papa balas tersenyum, lalu melirik ke arahku sambil tersenyum. "Udah mau pulang, ya? Sayang, gak bisa ngobrol-ngobrol dulu. Lain kali, main ke rumah, ya!"
"Iya, Om. Kapan-kapan saya mampir main ke sini lagi. Pamit dulu, Om!"
Papa pun masuk dan Leon keluar. Aku mengekor di belakangnya hingga depan gerbang.
"Pulang dulu, ya, Sav! Habis ini langsung istirahat biar gak demam." katanya sambil menyalakan motornya.
"Gak usah bawel. Cepetan pulang, nanti gak bisa masuk rumah karena kemaleman! Hati-hati!" balasku ketus dengan bisikan.
Dia hanya tersenyum dan melambaikan tangan, lalu menancapkan gasnya meninggalkan rumahku. Sebagai orang yang masih tahu cara berperilaku yang baik dan benar, aku membalas senyuman dan lambaiannya. Lalu, masuk ke dalam rumah dan melihat pemandangan yang menyebalkan. Mama dan Papa sudah duduk di sofa, Papa masih memakai kemejanya dan Mama meninggalkan cangkir-cangkir tadi di dapur. Biskuit itu masih ada di meja. Mereka berdua menatapku dengan intens membuatku risih.
"Papa sama Mama kenapa, sih?" aku ikut duduk di sofa depan mereka sambil memakan biskuit, ini biskuit favoritku.
"Kamu gak ada niat pacaran,kan?" kata Papa tegas, bertolak belakang dengan tatapannya tadi.
"Gak ada kok, Pa. Aku usahain nilai aku gak turun." kataku bersungguh-sungguh, masih asik memakan biskuit.
"Leon siapa? Pacar kamu? Kenal dari mana? Kenapa gak pernah cerita sama Papa sama Mama?" tanya Papa semakin tegas.
"Leon temanku, Pa, Ma. Aku kenal dia waktu dihukum waktu upacara karena gak bawa topi. Dia nempelin aku hampir setiap hari di sekolah. Aku kira ini gak perlu buat diceritain." jawabku membela diri.
Aku kan tidak salah apa-apa. Kenapa juga Papa sama Mama tegang kayak gini? Padahal tadi biasa biasa aja, malah jahil. Sekarang, kenapa malah kayak gini? Aku tahu kalau aku gak boleh pacaran dan aku menepatinya. Buktinya, waktu Leon nembak aku tadi, aku menolaknya dan memilih untuk bersahabat saja.
"Kamu istirahat! Udah malam, nanti kamu demam." kata Mama setelah hening sejenak.
Aku langsung pergi meninggalkan mereka berdua tanpa berkata apa-apa lagi. Mood ini sudah lebih dulu dihancurkan. Aku langsung ke kamar dan merebahkan tubuh ke tempat tidur. Kutarik selimut dan kupeluk gulingku sambil berbicara dengan diriku sendiri dan mengkhayal hingga jatuh tertidur. Ini adalah ritualku setiap malam sebelum tidur.
***
Paginya, aku merasa lebih baik dan kejutannya, aku tidak merasa sedang demam. Kejadian yang sangat-sangat langka. Aku menjadi sangat semangat sekolah, juga telah melupakan (belum sepenuhnya) kejadian semalam.
Seperti biasa, aku berangkat sekolah pagi-pagi. Sampai di kelas, aku melihat Sisi dan Yesi duduk di bangkuku. Ini mengingatkanku tentang kejadian kemarin. Apa yang harus kulakukan sekarang? Mereka pasti akan tahu kehadiranku di sini. Aku diam di tempat, tidak berani melangkah. Tempat dudukku dekat dari tempatku berdiri. Mau berjalan selambat apapun, pasti akan cepat sampai. Bahkan, bisa-bisa belum sempat aku berada di depan mereka, mereka sudah menyadarinya. Aku takut nanti suasananya jadi canggung. Tiba tiba saja, ada suara yang aku kenal meneriakkan namaku.
"Savira, sini dulu!" kata Leon dari depan pintu kelas.
Aku yang masih berada di depan kelas langsung menoleh ke arah pintu dan tanpa pikir panjang langsung mendekatinya. Teriakannya tadi cukup untuk menyelamatkanku, tapi dengan teriakannya, Sisi dan Yesi menyadari keberadaanku.
"Ada apa?" bisikku.
Tanpa merasa perlu menjawab, dia menarik tanganku untuk mengikuti dirinya. Entah mau dibawa kemana? Ikuti saja dulu. Sesekali aku melihat ke belakang dan melihat Sisi dan Yesi mengejar. Untung saja, kami berdua masih lebih cepat. Semakin lama, Leon berlari semakin cepat seakan tahu situasi yang sedang kami alami. Dia juga berlari berkelak-kelok untuk mengecoh mereka berdua.
"Mau kemana, sih? Kok malah ke sini? Capek tau!" protesku sambil terengah-engah. Kami berhenti sesaat di sebuah lorong sempit. Tempat di sekitar ini benar-benar sepi, Sisi dan Yesi juga tidak terlihat. Padahal, kami sudah diam lama di lorong ini. Aku tidak sempat menoleh ke belakang saat berlari tadi karena harus mengimbangi kecepatan lari Leon yang terus memegang tanganku sampai sekarang.
"Aku mau kenalin temen-temenku. Gara-gara Sisi dan Yesi ngejar, harus ke sini dulu. Karena mereka udah gak ada, ikut aku!" jawabnya santai dan mulai menarikku. Napasnya sudah kembali teratur.
"Tunggu dulu! Kenapa Sisi sama Yesi gak boleh ikut?" tanyaku menghentikan langkah Leon.
"Bukannya kamu lagi ada masalah sama mereka? Jadi, kita lari aja tadi."
"Aku masih bawa tas, nanti aja. Udah mau masuk juga, gak bakal sempat."
Leon melirik jam di pergelangan tangannya dan berkata, "Yah, gara-gara mereka, nih! Yaudah, istirahat aku ke kelas kamu, kita ke kantin! Aku kenalin di sana sekalian makan." katanya takzim, "sekarang, aku antar kamu balik ke kelas." sambungnya sambil kembali menggenggam tanganku erat dan mulai bergerak