Chereads / Kisah di SMA / Chapter 4 - 4. Acara HUT Sekolah

Chapter 4 - 4. Acara HUT Sekolah

Semua ini karena dia, cowok menyebalkan itu yang selalu saja menungguku di gerbang membuatku selalu ingin pulang ke rumah lebih cepat.

Baru saja aku membatin, cowok menyebalkan itu langsung datang, menghampiri ke arah kami. Melihat itu, aku langsung pamit pulang lebih dulu pada Sisi dan Yesi.

"Si, Yes, aku balik duluan, ya!" ucapku, lalu berjalan pergi sambil melambaikan tangan.

Mereka berdua hanya mengangguk. Tidak sadar bahwa ada seseorang di belakang mereka dalam jarak beberapa meter lagi. Aku berusaha untuk tidak berlari karena takut terlihat mencurigakan.

"Savira udah pulang, ya?" tanya cowok di belakang Sisi dan Yesi dengan wajah kecewa.

Sisi dan Yesi menoleh ke belakang mereka dan menemukan sosok lelaki idaman mereka, Leon. Yesi tanpa sadar ternganga melihat Leon. Sedangkan Sisi, ia menelan ludahnya. Leon tidak melihat mereka berdua, ia hanya terus memandang ke depan, melihat Savira berjalan kian menjauh.

"Eh, Leon! Kamu mau nomornya Savira, gak? Aku bakal kasih, nih! Gratis, kok!" kata Yesi sesudah tersadar dari lamunannya.

Leon menoleh, menatap bingung Yesi dan Sisi, "Kalian siapa, ya?" tanyanya polos.

Senyuman Yesi langsung menghilang, "Eh?"

"Kita sahabatnya Savira. Aku Sisi, dan ini Yesi." jawab Sisi sambil menunjuk dirinya dan Yesi bergantian, memperkenalkan diri.

"Ohh, sekarang aku ingat. Kalian yang selalu sama Savira itu, ya?" jawab Leon. Ia terlihat kekanak-kanakan saat mengatakannya.

Sisi dan Yesi mengangguk samar. Mereka terkejut melihat sisi childish Leon yang bahkan tidak pernah ditunjukkan kepada Savira karena alasan tertentu.

"Kamu tadi bilang mau kasih nomornya Savira, kan? Bisa kasih tau aku?" tanyanya. Kini sikapnya berbeda 180 derajat, dia mengatakan itu dengan sisi coolnya.

Sisi dan Yesi kembali mematung. Kembali kaget karena perubahan sikap Leon yang bertolak belakang dengan sangat cepat. Leon harus melambaikan tangannya di depan mereka berdua agar mereka tersadar dari lamunannya.

"Eh, iya! Tentu!" jawab Yesi gelagapan. Masih ada rasa kaget yang tersisa.

Dengan begitu, Leon pun mendapatkan hal-hal yang selama ini ia cari dengan susah payah. Tidak terkira kesenangan yang ia dapatkan hari itu. Ia tidak pernah menyangka akan mendapatkannya semudah ini. Padahal, sejak hari pertama mereka bertemu, ia sudah bersusah payah mencari-cari nomor itu. Betapa bodohnya dirinya tidak pernah terpikirkan cara sederhana seperti ini? Mungkin sangatlah bodoh.

***

Hari yang sudah ditunggu-tunggu para murid akhirnya pun tiba. Acara HUT Sekolah akan dimulai pada pukul 4 tepat hingga selesai. Pada pagi harinya, semua murid bersekolah seperti biasa. Bedanya, kami pulang lebih cepat, sekitar pukul 1 siang.

Untung saja aku sudah menemukan solusi tentang gaun yang akan kukenakan nanti sore. Jadi, aku tidak perlu pusing-pusing lagi hari ini. Bukan. Setidaknya, satu masalahku sudah selesai sehingga mengurangi beban pikiran.

Kalian tau? Masalah ini lebih memusingkan dibanding gaun itu. Bagaimana tidak? Cowok menyebalkan itu mendapatkan nomor HP milikku dari Yesi. Kalian tau apa yang terjadi? Kalian pasti tau! Iya, dia selalu saja mengechatku setiap waktu, bahkan menelponku. Lebih mengesalkan lagi, jika aku mengabaikan pesan atau chatnya, dia akan mengespamku hingga membuat HPku terus bergetar dan berisik karena notif darinya. Jika aku menanggapinya, dia selalu saja bertanya ini dan itu. Serba salah! Benar-benar memusingkan, bukan?

***

Seperti biasa, aku pulang dengan berjalan kaki. Selepas bel pulang berbunyi, aku langsung saja pulang, tidak mengobrol lebih dulu bersama mereka. Alasannya aku ingin mempersiapkan diriku untuk sore nanti. Kemarin aku sudah memutuskan akan memakai gaun merah terang, Yesi dan Sisi tetap memakai warna merah maroon. Walau warna gaun yang mereka gunakan berbeda denganku, setidaknya tidak berbeda jauh. Intinya sama-sama merah, kan?

Pukul 3 sore, aku sudah bersiap-siap. Mandi, mengenakan gaun merah itu, make-up, dan mengepang rambut hitam panjangku. Lalu, terakhir memakai high heels yang tidak terlalu tinggi bewarna merah maroon dan tas slempang mini berwarna peach.

Aku mematut-matut diriku di depan cermin sekali lagi sebelum keluar kamar. Bukan bermaksud sombong atau terlalu percaya diri, diriku terlihat cukup cantik di depan cermin. Mungkin bisa dibilang hampir sempurna? Tidak ada yang sempurna di hidup ini, kan?

Saat aku turun, betapa kagetnya aku melihat seorang lelaki yang sangat aku kenal memakai pakaian formal dan sedang duduk sambil berbincang-bincang dengan Ibuku. Wajah sumringahku langsung padam seketika.

"Kamu sudah selesai, sayang?" tanya Ibuku dengan lembut dan menghampiri diriku yang berdiri di dekat tangga.

Cowok itu juga ikut berdiri dan tersenyum lebar melihatku. Apa sih maunya dia? Jangan bilang dia mau mengantarku ke gedung itu, kan?

"Kamu tidak jadi diantar Ibu, ya? Nak Leon bilang akan mengantarmu ke sana." kata Ibuku sambil tersenyum hangat melihatku. "Kalian harus segera berangkat agar tidak telat. Ini sudah jam setengah empat. Acaranya dimulai jam empat, bukan? Ayo! Cepat, cepat!" sambung Ibu.

Entah kenapa, dia terlihat bersemangat sekali sekarang. Aku mengikuti kemauan Ibu karena aku tidak bisa marah kepada Leon di depan Ibu. Ibu mengantarku dan Leon hingga ke depan gerbang dan melepas kami berdua dengan ucapan 'Hati-hati di jalan!'.

Leon mengendarai motor merahnya dan aku duduk di belakangnya, menyamping karena aku sedang memakai gaun.

"Bagaimana kabarmu? Sudah 2 hari kita tidak bertemu. Maunya aku bilang ke kamu kalau aku bakal jemput kamu, tapi kamunya keburu pulang." kata Leon di perjalanan.

Aku hanya diam, tidak menjawab. Tidak peduli dengan tidak bertemunya mereka berdua. Bukankah itu adalah kabar baik untukku?

"Kamu terlihat cantik dengan gaun itu." pujinya sambil tersenyum, menatap diriku melalui spion motor.

"Lebih baik kamu diam dan fokus pada jalan." kataku ketus padanya.

Dia menurut. Selama di perjalanan, dia tidak lagi berkata apa-apa padaku hingga sampai di gedung yang dimaksud.

"Terima kasih sudah mengantarku. Pulangnya aku bisa sendiri." kataku berusaha baik. Aku bukan orang yang tidak tau terima kasih. Sekesal apa pun aku kepada seseorang, aku akan tetap berterima kasih jika dia membantuku.

Kami berdua masuk ke dalam gedung itu bersama-sama. Di dalam sudah ramai sekali orang, mereka sudah duduk rapi di kursi. Aku segera mencari-cari dua sahabatku, Sisi dan Yesi sambil terus berjalan.

Namun, belum sempat aku menemukan mereka, pembawa acara sudah berbicara dengan lantangnya memberitahukan bahwa acara akan segera dimulai. Sudah tidak ada waktu lagi untuk mencari mereka. Di saat rasa panik itu menyergapku, Leon menarik tanganku dan menuju ke tempat duduk yang masih kosong di bagian pinggir, bersebalahan. Mau tidak mau, aku harus duduk di sana bersamanya. Kuharap aku bisa bersabar menghadapi cowok itu.

Tepat setelah aku duduk, pembawa acara itu muncul lagi, menyuruh kami semua berdiri untuk menyanyikan lagu nasional dan berdoa. Dilanjutkan sambutan-sambutan dari kepala sekolah dan yayasan. Setelah itu, satu-persatu pertunjukan pun dimulai. Meriah sekali. Kami semua bertepuk tangan setiap pertunjukan itu selesai. Beberapa dari mereka bahkan merekam penampilan itu lewat HP yang mereka bawa.

Dan sekarang, puncak dari acara ini, yaitu persembahan 'drama instan' dari para siswa yang dipilih secara acak saat ini juga. Aku benar-benar terkejut mendengarnya. Lalu, tiba-tiba saja, semua lampu dipadamkan, hanya ada lampu yang menyorot panggung. Di detik berikutnya, 8 lampu sorot lainnya menyorot acak para siswa yang sedang duduk manis. Salah duanya menyorot diriku dan Leon.

Astaga! Mengapa harus aku yang terpilih? Kenapa bukan orang lain saja? Apa yang akan kulakukan di atas panggung nanti? Bagaimana jika aku melakukan kesalahan fatal di sana? Dan nantinya, orang-orang menertawakanku yang konyol ini. Astaga! Membayangkannya saja sudah benar-benar menakutkan. Apalagi jika itu benar-benar terjadi?

"Nah! Ini dia 8 pemain terpilih yang akan mempersembahkan 'drama instan' karangan mereka sendiri. Bagi 8 pemain, silakan menuju belakang panggung untuk bersiap-siap!" kata pembawa acara itu.

Aku tidak beranjak dari duduk. Aku takut, gugup, cemas. Wajahku mungkin saja sudah mulai pucat karenanya. Bayangkan saja! Kamu yang tidak pandai berakting dan pemalu ini tiba-tiba disuruh melakukan drama mendadak. Apa tidak ingin pingsan saja?