Anit memasang senyum terbaiknya sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Lukanya belum mengering, membuatnya harus meringis menahan sakit.
"Udah siap?" tanya Zuna sambil menyerahkan buket bunga berukuran besar.
"Dari siapa ini, Ka?"
"Dari Kakak.", sahut Zuna sambil melebarkan senyumnya.
"Bohong. Kakak kan alergi bunga."
Mendengar ucapan Anit membuat Zuna menggaruk tengkuknya yang gak terasa gatel sama sekali. Dia tau, Anit bukan tipikal cewek yang gampang dibohongi.
"Itu dari Angga. Salam perpisahan katanya. Hari ini dia terbang ke Jerman katanya, mau menerima tawaran bisnis di sana sekalian mau move on dari kamu."
Anit mengangguk. Ada secuil rasa lega di hatinya. "Trus kok ini Kak Zuna yang malah jemput Anit?"
Zuna duduk di tepian ranjang Anit. Dipandanginya Anit dalam-dalam. Raut mukanya langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Gak sesantai tadi. "Kamu udah maafin Angga?"
"Udah. Anit juga udah bilang ke Mama buat sampein ke Angga pas Anit siuman kemaren."
"Kamu yakin?"
"Insya Allah, Ka. Anit gak mau nyimpen dendam kelamaan. Lagian juga Anit udah ikhlas. Karna biar gimanapun, Angga kan ayah kandungnya Yessa dan suatu saat nanti Yessa butuh ayahnya. Nah kalo Anit belom bisa maafin Angga dan masih dendam sama dia, itu sama artinya Anit mengajarkan Yessa secara gak langsung ngebenci ayahnya sendiri dan itu bakal menyulitkan dia suatu saat nanti buat ketemu Angga."
"Kalo gitu, itu kamu buka laci sebelah ranjang kamu."
Anit menurut. Ekspresi wajahnya langsung berubah begitu menemukan dua kotak transparan berisi cincin. "Ini cincin dari siapa, Ka?"
"Di dalam kotaknya ada namanya. Pilih sesuai hati kamu." Ka Zuna benar! Masing-masing cincin itu berisi nama dari pemberinya. Satu dari Angga, satu lagi dari Koko. "Tadi pagi Koko izin ke Kakak sambil ngasih cincin itu. Katanya ada klien dari Guangzhou yang dateng mendadak ke London. Jadi dia harus buru-buru terbang ke London. Trus gak lama abis itu, Kakak ketemu Angga. Dia titip cincin juga ke aku. Katanya ini adalah sesuatu yang gak sempet dikasih ke kamu."
Anit menyodorkan kotak berisi cincin dari Angga ke Kak Zuna. Dia gak mau lagi memberi harapan atopun membuka hatinya untuk cowok itu. Dia gak mau mengulang kesalahan yang sama. Hatinya udah cukup terluka gara-gara cowok itu. Jadi, biarkanlah dia tetap ada demi Yessa. "Tolong sampein ke Angga, aku gak bisa nerima ini."
Kak Zuna mengangguk. "Jadi kamu nerima cinta Koko?"
Anit mengangguk. "Kan aku udah bilang sama Kakak. Walopun Koko bukan ayah kandung Yessa, tapi dia jauh lebih baik untuk Anit dan Yessa daripada Angga. Toh lagipula selama ini cuma Koko yang ada di samping Anit. Sesulit apapun kondisi Anit."
"Kamu cinta sama Koko?"
"Slowly but sure, Ka. Sembari berjalannya waktu, Anit yakin bakal mencintai Koko."
Sekali lagi Kak Zuna mengangguk. "Yaudah yuk turun. Kakak sengaja jemput kamu gak pake driver."
*
Anit membolak-balikkan posisi tidurnya. Entah kenapa dia merasa gak tenang. Ada rasa cemas yang terus menderanya seakan dia bakal mengalami satu perpisahan panjang. Gak pernah Anit merasa seperti ini sebelumnya. Bahkan, rasa cemasnya ini mengalahkan rasa sakit dari bekas lukanya.
Anit menegakan posisi duduknya dan menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang. Diraihnya ponselnya dari atas nakas lalu dibukanya album foto. Dipandanginya satu per satu fotonya ketika bersama Koko. Lalu tiba-tiba air matanya menetes begitu melihat satu foto mereka. Foto ketika Koko memandangi wajahnya dari jarak yang sangat dekat dengan kedua tangannya yang menggenggam jemari Anit.
"I miss you, Ko", lirih Anit. "Cepet pulang ya."
*
Koko melebarkan senyum terbaiknya begitu langkah kakinya meninggalkan Hall Kedatangan di Bandara Internasional Baiyun Guangzhou, China. Beberapa langkah di hadapannya berdiri seorang wanita muda yang tengah menggendong seorang anak laki-laki berumur tiga tahun. Untuk merekalah sebenarnya selama ini dia bekerja keras di negeri orang lain.
"Ayah!" Sang anak laki-laki itu langsung turun dari gendongan dan berlari secepat yang dia bisa ke arah Koko. Lalu tubuh mungilnya langsung menghambur ke pelukan Koko. "Lezvan kangen Ayah."
Koko menggendongnya sambil menciumi pipinya. "Ayah juga kangen sama Rezvan. Rezvan nakal gak selama Ayah kerja?"
Rezvan kecil menggeleng. "Lezvan gak nakal kok, Yah. Lezvan cuka bantu Momi."
Koko mengangguk. Pandangannya beralih ke sosok wanita yang beberapa saat tadi terabaikan. "Halo Sayang. Do you miss me?"
"Alot!" sahut Yunesha sambil berjalan mendekati Koko dan Rezvan. "Gimana kabar kamu? Akhirnya kamu bisa pulang juga ke sini. Kami kangen banget loh sama kamu, Love."
Koko mengangguk sambil meraih tubuh langsung Yunesha ke dalam pelukannya. "Me too."
"Kamu udah makan? Gimana tadi penerbangannya?"
"Udah, tadi di pesawat. Ya kayak biasa, Love. Walopun sempet beberapa kali kena turbulensi, tapi akhirnya aku mendarat dengan selamat. Semua ini berkat doa kalian."
Yunesha tersenyum. Gak ada hal yang lebih membahagiakan baginya selain kepulangan Koko, walopun dia tau kepulangan satu-satunya cowok yang dicintainya setelah ayahnya itu adalah karena pekerjaan. Ya gak apa-apalah sesekali sambil menyelam minum air. Seenggaknya rasa rindunya bisa terobati.
"Kita langsung ke rumah Amma aja ya. Amma dari kemaren nanyain kamu terus."
Koko mengangguk.
*
Anit memanaskan mobil kesayangannya sambil menekan sederet angka. Dari semenjak dirinya keluar rumah sakit sampe sekarang, Koko masih belom menghubunginya padahal cowok itu biasanya justru yang paling rajin meneleponnya ketimbang Mama Letta.
"Nomor yang Anda tuju sedang di luar jangkauan." Lagi, cuma suara sang operator jaringan yang menjawab panggilannya dan membuat Anit gondok setengah hidup! Huft. Kemana sih ini orang? Tumbenan amat!
-TOK-TOK-
Anit menoleh sambil membuka kaca mobil. Zuna berdiri tegap di sisi kanan mobilnya, tepat di sisi Anit sebagai pengemudi. "Kenapa Ka?"
"Kamu mau kemana pagi-pagi begini? Kamu kan belom sembuh bener."
"Anit cuma mau panasin mobil aja kok, Ka. Udah lama banget kan ini mobil gak dipanasin."
"Ya kan kamu bisa bilang sama Kakak. Gak perlu kamu naik-turun tangga cuma buat manasin mobil kan."
Anit melebarnya senyumnya. Kak Zuna bener. Dia emang gak perlu naik-turun tangga dari kamarnya ke garasi rumah cuma demi memanaskan mesin mobil. Toh dia gak perlu pergi kemana-mana dalam beberapa hari ini. Tapi ... ini sebenernya cuma pengalih pikirannya aja semenjak Koko pergi ke Guangzhou dan gak ada kabar dari cowok itu!
"Kamu sarapan dulu gih. Kakak udah siapin pasta carbonara kesukaan kamu.", lanjut Kak Zuna.
Anit mengangguk sambil turun dari mobil. Dipeluknya Zuna sesaat. Cowok itu emang bener-bener kakak terbaik yang Tuhan kasih untuknya.
*
Angga menghela nafas. Dilonggarkannya dasi merah menyala yang dikenakannya. Dia sengaja langsung meninggalkan ruangan begitu rapat dengan klien selesai. Raganya boleh aja berada di Jerman, tapi pikirannya terbang jauh ke Jakarta, kota dimana Anit berada. Dan itu adalah sesuatu yang sangat-sangat dibencinya! Gimana mungkin dia bisa tenang membangun relasi dan bisnis baru di Negara lain kalo dia gak bisa berhenti memikirkan Anit.
Angga masih ingat jelas ucapan Zuna di whatsapp tadi. "Anit menolak cincin dari lo, Ga. Cincin lo dikembaliin, dan sampe sekarang masih gue simpen. Bisa lo ambil pas lo balik ke Jakarta. Lo tenang aja. Anit baik-baik aja dan sekarang udah di rumah." Angga menghela nafas. Cewek itu bener-bener menutup hati untuknya. Bahkan, satu-satunya benda kenangan yang dari dulu belom sempat diberikannya pun ditolak!
Sakit hati? Ya you know lah gimana. Tapi itu semua diterima Angga dengan lapang dada. Bukan sesuatu yg mudah untuk meluluhkan hati seseorang yang pernah tersakiti. Termasuk Anit.
"Hey! What's up dude?" Suara khas Riano tiba-tiba membuyarkan lamunan Angga. "Miss your home?"
Angga mengangguk. Home? Ah yang bener aja kau bung! Manakah yang kamu sebut rumahmu? Anit? Semesta aja gak yakin kalo cewek itu juga menganggapnya sebagai sebuah rumah. Ternyata emang sesakit ini ya rasanya cinta bertepuk sebelah tangan dan diabaikan. Duh Angga! Kemana aja lo kemaren-kemaren?!
"Kamu tidak ingin pulang ke rumah? Pulanglah kalau memang kamu rindu.", lanjut Riano.
Angga memasang senyum terbaiknya. Sebuah gelengan kepala menjadi pengganti bahasa lisannya. Ya iyalah! Gak mungkin dia bisa pulang kalo gak ada orang istimewa yang bakal merentangkan kedua tangannya saat melihat kedatangannya. Kecuali Mama Letta dan Zuna. Diam-diam Angga merapal sebuah doa.
"Running up bisnis kita baru akan berjalan seratus persen di bulan keenam. Menurutku, kamu bisa pulang dulu ke kampung halamanmu. Untuk semua urusan di sini, percayakan ke aku. You know me better than anyone else, like I do."
"Nope. Keluargaku sudah kuberitahu, aku mungkin butuh waktu lama untuk kembali pulang. Dan mereka memahaminya kok."
"Baiklah kalo begitu." Riano menyahuti ucapan Angga barusan sambil menepuk bahu Angga sebelum meninggalkan cowok itu.
*
Koko menghela nafas. Ini udah yang kesekian kalinya. Entah kenapa dia merasa resah sekaligus rindu. Dia rindu Anit. Dia rindu kemanjaan dan kecengengan cewek itu. Tapi dia juga resah atas kebohongan yang selama ini dirajutnya di atas segalanya. Bahkan, istrinya sendiri gak tau kalo selama ini apa yang udah dilakukannya nun jauh di sana.
"Lagi ngelamunin apa?" Yunesha memandanginya dengan lembut. Sebagai seorang istri, feeling Yunesha yakin kalo kali ini yang mengganggu pikiran suaminya bukanlah soal pekerjaan. "Ada masalah? Ceritalah. Siapa tau kamu bisa merasa lebih ringan."
Koko tersenyum. Diraihnya tubuh Yunesha ke dalam pelukannya. "Aku lagi gak mikirin apa-apa kok. Aku cuma lagi mikir, ternyata kota ini udah jauh lebih berkembang dari waktu terakhir aku pulang ke sini ya."
Yunesha mengangguk. "Dan itu yang selalu membuatku rindu kamu. Maafkan keegoisanku."
"Enggak, Sayang. Kamu gak perlu minta maaf. Aku paham. Aku ninggalin kalian di sini berhari-hari. Bahkan bertahun-tahun demi karirku. Tapi itu semua aku lakuin untuk kebaikan kalian. Untuk masa depan anak kita."
Yunesha mengangguk setuju. Ah ... betapa beruntungnya dia bersuamkan Koko. Seorang laki-laki pekerja keras yang selalu berjuang untuknya dan buah hati mereka. Tapi, mungkinkah hati suaminya itu masih tertuju padanya dan Rezvan? Kenapa hatinya terus menerus gelisah, bahkan di saat Koko sedang bersamanya?
"Anyway, Rezvan udah tidur kah?"
Yunesha mengangguk. "Udah. Baru aja. Makanya aku ke sini. Mungkin kamu butuh teman ngopi?"
Koko mengangguk. Seutas senyum merekah di bibirnya. Inilah salah satu keuntungan dari menikahi sahabat sendiri. Dia udah tahu semua kesukaanmu. Bahkan luar-dalam karakter dan sifatmu.
"Kita ngopi di cafe langganan aja yuk. Biar sementara ini Rezvan sama Amma. Kita pacaran dulu. Oiya, mulai besok aku mau kalian ikut aku ke London ya."
*
Langkah Anit mendadak berhenti. Tatapannya nanar. Dadanya sesak sampe-sampe rasanya dia sulit bernafas. Otaknya berusaha kerja keras memahami pandangannya saat ini, tapi sia-sia. Nyata tanpa halusinasi!
Koko terlihat keluar mobil dan berjalan mengitari sisi depan mobilnya ke arah sisi kiri mobilnya serta membuka pintu penumpang. Kemudian keluarlah sosok seseorang dengan senyum merekah sempurna dan tatapan hangat penuh cinta. Tak lama kemudian kedua tangan Koko memegangi kedua bahu sang wanita dan mendaratkan kecupan di dahinya. "Welcome to my real world, Honey."
Wait! APA?! HONEY?! Anit mengejapkan matanya berkali-kali. Dia barusan gak salah dengar kan? Koko menyebut sang wanita itu dengan sebutan honey. Hello... apa kabar dirinya?! Beberapa waktu lalu cowok itu juga memanggilnya dengan sebutan yang sama.
Anit membalikkan badannya sambil menyeka air mata yang tiba-tiba mengalir di pipinya. Ini kali kedua hatinya disakiti karna seorang cowok. Bahkan, kali ini satu-satunya cowok yang menyakitinya adalah cowok yang selama ini sangat dipercayanya. Anit sama sekali gak mengerti apa salahnya sampe tiba-tiba harus begini. Dia sama sekali gak punya persiapan untuk menahan rasa sakit hatinya. Apalagi dia mulai mencintai Koko dan siap mengatakan ke cowok itu tentang perasaannya sekarang.
Anit menghela nafas dengan berat. Gak. Dia gak boleh lemah. Ini belom seberapa. Dia harus menunjukkan ke Koko kalo dirinya setegar karang di lautan dan dunianya gak bakal berakhir cuma karena kenyataan ini. Alhasil, Anit melangkahkan kakinya lebar-lebar meninggalkan gedung kantornya.
*