Chereads / Di Antara 2 Cinta / Chapter 20 - 19

Chapter 20 - 19

Anit masih memandangi pantulan dirinya pada kaca di meja riasnya. Entah udah berapa kali dia mengganti baju hanya untuk berkunjung ke panti asuhan seperti yang direncanakannya bersama Angga beberapa hari yang lalu. Sudah lebih dua jam lebih Anit sibuk menyiapkan diri, tapi tetap aja Anit merasa ada yang kurang.

"Kamu mau berapa lama lagi liatin cermin, Nit?" tanya Angga yang tiba-tiba udah ada di balik punggung Anit. "Kamu gak perlu dandan juga udah cantik kok."

Angga mengelus puncak kepala Anit lalu melingkarkan kedua tangannya di kedua bahu cewek itu. "Yuk, nanti keburu kesorean. Malah macet jalanan loh. Ini kan malem minggu."

"Lo yakin, Ga, mau ketemu Yessa?" tanya Anit yang langsung dijawab dengan anggukan kepala Angga. "Lo tunggu di luar dulu ya, ngobrol sama Mama Letta ato Ka Zuna. Aku masih belom siap."

"Kamu mau nunggu sesiap apa lagi? Kamu udah siap, Anit. Serius deh. Kamu udah kelihatan cantik, pake banget malah." Angga melepaskan rangkulannya dan berusaha untuk memutar tubuh Anit menghadap dirinya. "Beresin baju-baju di kasurnya nanti aja, setelah kita pulang jemput Yessa."

"Ga, gue beneran belom siap," lirih Anit. Cewek itu gak berbohong. Dia memang belom siap untuk bertemu Yessa dan belom siap juga kalo-kalo dirinya ditolak oleh Yessa.

"Aku janji, gak bakal ada penolakan. Yessa bakal menerima kamu dengan bahagia dan tangan terbuka, walopun aku yakin pasti di awal-awal nanti dia bakal takut ato ragu ketemu kamu. Dan aku rasa itu sesuatu yang wajar. Karna dia gak pernah ketemu kamu sebelumnya, Nit."

Anit memberanikan diri memandangi sepasang mata Angga. Tatapan cowok itu menenangkan dan sangan tersirat ketulusan dan keyakinan seperti ucapannya barusan. Alhasil, Anit mengangguk.

"Ayo kita jemput anak kita, Nit."

Bagaikan ada sebuah dorongan tak kasat mata pada tubuh Anit, membuatnya langsung menghambur diri ke pelukan Angga. Sebuah pelukan yang dulu selalu membuatnya nyaman. Ada rasa syukur yang menjalar di hati Anit saat mendengar pengakuan Angga yang ditujukan untuk Yessa. Anak yang dia lahirkan dengan sejuta hinaan dan cacian.

Walopun akal sehatnya menolak untuk mempercayakan mimpi indah pada hubungannya dengan Angga dan sebuah keluarga kecil yang bahagia, namun hatinya menerima dengan lapang dada.

*

Perjalanan menuju panti asuhan terbilang lumayan jauh. Belom lagi ditambah dengan kemacetan yang mengular dimana-mana, membuat perjalanan ke sana serasa dua kali lipat lebih jauh. Sepanjang perjalanan Angga selalu menggenggam tangan kanan Anit dan berusaha untuk menghapus ketakutan dan kecanggungan Anit.

"Everything will be fine, Nit. I promise," ucap Angga begitu Anit turun dari mobil setibanya mereka di depan panti asuhan Bunda Nelia. "Jangan takut. Ada aku di sisi kamu."

Angga dan Anit melangkahkan kakinya memasuki ruang kerja Bunda Nelia. Wajah Anit menunduk, sedangkan Angga gak melepaskan genggaman tangannya dari tangan Anit. Wajah cowok itu tetap tegak dengan pandangan lurus mantap ke depan meskipub jantungnya berdebar-debar.

"Akhirnya waktunya tiba," ucap Bunda Nelia setelah selesai mendengarkan penjelasan dari tujuan mereka datang ke panti asuhan itu. "Kalian tunggu di sini dulu ya. Bunda panggil Yessa dulu. Kebetulan, hari sabtu begini sekolah Yessa biasanya libur."

Angga dan Anit kompak mengangguk dan diam-diam Anit menghela nafas pelan. Berharap cara itu bisa menghapus kegelisahan di hatinya.

Gak lama kemudian, pintu ruangan Bunda Nelia kembali terbuka. Anit dan Angga secara refleks menoleh dan bangun dari kursi. Angga masih mampu tersenyum melihat Bunda Nelia sudah berdiri di ambang pintu dengan seorang gadis kecil berambut coklat kepirang-pirangan, persis seperti rambutnya. Gadis itu terlihat memakai tas selempang bergambar Hello Kitty, favoritnya.

Sedangkan Anit cuma bisa berdiri mematung dan membiarkan air matanya membasahi kedua pipinya. Lidah Anit terasa kelu.

"Mereka siapa, Bunda?" Yessa menoleh ke wajah Bunda Nelia, satu-satunya wanita yang merawatnya sejak baru dilahirkan dulu.

"Mereka orang tua kamu," sahut Bunda Nelia sambil mengarahkan jempolnya ke arah Anit dan Angga. "Yang pake jas hitam dan berwajah ganteng itu ayah kamu. Yang disebelahnya itu ibu kamu. Ayo Yessa, temui mereka dan kasih salam ke mereka. Bukannya selama ini kamu pengen ketemu mereka?"

Yessa menggeleng cepat. Reaksi gadis kecil itu spontan membuat Anit, Angga, dan Bunda Nelia agak kaget dan membuat air mata Anit semakin deras mengalir.

"Yessa gak boleh begitu, Nak. Bunda kan pernah bilang, kamu masih punya seorang ibu yang sangat-sangat sayang saya kamu. Dan selama ini ibu kamu sangat merindukan kamu. Tapi beliau juga bingung karna terlalu banyak kesibukan, takut kamu jadi kurang kasih sayang. Makanya, mama kamu mempercayakan Bunda untuk merawat kamu di sini."

"Apa Yessa gak jauh lebih penting dari segala kesibukan ibu aku?" Yessa gak bisa menahan dirinya untuk mempertanyakan hal krusial seperti itu.

Bukan apa-apa. Banyak teman-teman Yessa yang juga penghuni panti di sini, kalo anak sepertinya memang sengaja dibuang oleh orang tua karna ada hal lain yang jauh lebih penting dan berharga selain kehadirannya di dunia ini.

Bunda Nelia mengambil posisi berjongkok di hadapan Yessa lalu dielusnya perlahan punggung gadis kecil itu. "Hey, kamu gak boleh bilang begitu Nak. Tuh lihat, ibu kamu sampe nangis. Ayo sana peluk ibu kamu."

Sekali lagi Yessa menggeleng sebelum akhirnya berlari meninggalkan ruangan.

*

"Yessa berulang kali bilang pengen bertemu ayah dan ibunya dan sering bertanya tentang ayah ibunya, bagaimana wajah ayah ibunya? Apa ayah ibunya orang baik? Dan banyak pertanyaan lain." Bunda Nelia berusaha menenangkan Anit yang terus menangis dengan mengelus pelan punggungnya. "Kita beri pemahaman perlahan ke Yessa secara bertahap."

Anit masih menangis di pelukan Angga. Dia cuma sanggup mengangguk pelan. Dia bener-bener gak tau harus berbuat apa lagi.

Angga melepaskan pelukannya dan membiarkan cewek itu menatapnya pilu. Jauh di lubuk hatinya Angga juga merasakan kesakitan yang sama. Bahkan mungkin lebih menyakitkan. Ini semua salahnya dan cukup udah Anit merasakan kesakitannya. Jadi, biarlah kali ini cukup dirinya aja yang merasakan kesakitan atas penolakan dari Yessa, anak kandungnya sendiri.

Angga berjalan meninggalkan Anit dan Bunda Nelia, berusaha mencari keberadaan Yessa di sekitar panti, dan gak lama kemudian usahanya berhasil. Beberapa meter di depannya, Yessa duduk menyendiri di sebuah rumah pohon besar dan tinggi. Angga menaiki pohon dengan pelan, berusaha agar gadis itu gak kabur lagi.

"Hei, anak cantik," ucap Angga sambil mengambil posisi duduk di sebelah Yessa, sedangkan gadis itu sendiri memandangi Angga dengan tatapan yang sulit diartikan. "Gak usah takut. Aku bukan orang asing. Aku bukan penjahat. Aku juga bukan penculik. Jadi kamu tenang aja."

Yessa mengalihkan pandangannya sambil menggeser bokongnya beberapa jengkal menjauhi Angga. "Om beneran ayahku?"

Angga terkesiap. Dia memandangi Yessa dengan tatapan lembut. Pertanyaan sederhana tapi entah kenapa Angga merasa nyeri di hatinya ketika mendengar Yesaa menyebutnya dengan kata "Om".

"Aku ayah kamu, Yessa. Ayah kandung kamu," sahut Angga lembut.

"Kalo emang Om adalah ayah kandung aku, enapa ayah sama ibu ninggalin aku di sini?" Sekali lagi Yessa mempertanyakan hal paling krusial itu. "Apa karna ayah sama ibu gak sayang sama aku? Aku pengen kayak Kakak dan Adik lain di sini yang punya orang tua baru yang utuh."

"Ibumu sangat sayang sama kamu, Yessa. Percaya deh sama Ayah, ibu kamu sangat menderita karna harus tinggal berjauhan dari kamu. Sebenernya, ibu kamu gak salah. Yang salah itu Ayah."

Yessa bergeming. Tatapannya lurus menerawang. Jauh di lubuk hatinya, sebenernya dia merasa bahagia karna doanya selama ini kini terkabul, tapi entah kenapa dia merasa canggung untuk langsung mengakui Om-om yang disebelahnya ini sebagai ayah kandungnya.

"Kalo kamu mau marah, marahnya sama Ayah aja. Jangan marah sama Ibu. Ibu kamu gak salah. Semua salah Ayah karna Ayah terlalu egois dan ninggalin kalian."

Yessa menoleh. Dipadanginya sosok Angga dalam-dalam. Wajah gantengnya berubah seratus depapan puluh derajat, lebih kusut dari sebelomnya. Malahan, terlihat penuh penyesalan dan kesedihan. "Yessa gak marah kok sama Ayah sama Ibu. Yessa takut dosa kalo Yessa marah sama Ayah sama Ibu."

"Kamu mau kan pulang bareng Ayah sama Ibu?" tanya Angga hati-hati.

*

Anit langsung menoleh begitu mendengar suara pintu ruangan Bunda Nelia terbuka dan tatapannya terpaku. Gadis kecil yang tadi sempat lari dan menolak kehadirannya itu kini berdiri beberapa meter di hadapannya. Tangannya menggenggam erat tangan Angga dan wajahnya tersenyum. Bahkan, Angga juga ikut memasang senyum terbaiknya dan mengangguk pelan.

Anit memberanikan diri berjalan mendekat menuju mereka. Air matanya yang tadi sempat mongering kini mulai perlahan mengalir lagi membasahi kedua pipinya sambil memaksakan seutas senyuman. Jantungnya berdebar-debar. Ada rasa haru yang menyeruak dari hatinya. Lalu ..

Bagaikan ada sebuah dorongan tak kasat mata pada tubuh Yessa, membuatnya langsung menghambur diri ke pelukan Anit. Sebuah pelukan yang selama ini dirindukannya. "Yessa kangen sama Ibu," bisik Yessa pelan. "Jangan tinggalin Yessa lagi ya, Bu."

Anit mengeratkan pelukannya. Air matanya semakin deras mengalir membasahi kedua pipinya. Mulutnya masih terlalu terasa kelu untuk berucap. Rasa haru, pilu, dan bahagia semuanya bercampur menjadi satu di hatinya. Sesaat dia sempat mengalihkan pandangannya ke arah Angga dan cowok itu cuma bisa mengangguk sambil tersenyum. Air matanya juga mengalir membasahi kedua pipinya.

"Kamu mau kan pulang bareng Ibu sama Ayah?" tanya Anit pelan begitu melepaskan pelukannya dari tubuh Yessa. Tatapannya beradu pandang dengan tatapan Yessa. "Kamu mau kan?"

Yessa mengangguk pelan. Gadis kecil itu pun memasang senyum terbaiknya sesaat setelah menghapus air mata yang berhasil lolos dari sudut matanya.

*