Anit mengeratkan genggaman jemarinya di antara jemari Yessa. Dia masih menitikan air mata sepanjang perjalanan dari kantor Bunda Nelia. Rasa haru dan bahagia bercampur menjadi satu memenuhi ruang hatinya. Malah Anit merasa semua yang terjadi ini hanyalah sebatas mimpi, dan jauh di lubuk hatinya dia juga merasa takut kelak ini semua cuma sebatas khayalan semu.
Diam-diam Angga memasang senyum simpul. Dia berulang kali mencuri pandang ke arah Anit dan Yessa, dua wanita yang kini menjadi cinta terakhirnya, dari kaca spion. Seumur hidupnya, setelah bertahun-tahun dihantui rasa penyesalan dan bersalahnya pada Anit, untuk pertama kalinya dia merasa bahagia.
"Kamu bahagia, Nit?" tanya Angga sambil meliriknya dari kaca spion.
"Sangat. Terima kasih banyak, Ga.", sahut Anit tulus sambil membetulkan posisi kepala Yessa di pelukannya karna gadis itu mulai terlelap. "Maaf kalo tadi gue agak baper. Ini semua masih terasa mimpi. Please, don't you dare to wake me up."
Angga menggeleng. Tanda bahwa dirinya menyetujui ucapan Anit barusan. Andaikata ada kesempatan lain, Angga rela memberikan semua kebahagiaan di sisa hidupnya untuk Anit dan Yessa. Apapun itu.
"Kamu mau langsung pulang ke rumah Tante Letta ato mau makan dulu? Dari tadi kan kita belom makan dan aku laper."
Anit memasang senyum terbaiknya. "Terserah lo aja. Gue sih bebas."
Begitu mendengar ucapan Anit barusan, air muka Angga langsung berubah keruh. Telinganya merasa gatal dan hatinya terasa sedikit terkoyak. Setelah semua usahanya hari ini, gak bisakah Anit membuka hatinya sekali lagi dan membiarkan Angga membahagiakannya? Minimal mengubah panggilannya, dari Lo-Gue menjadi aku-kamu. Bukan apa-apa juga. Sekarang di antara mereka ada Yessa dan gadis itu bukan lagi anak kecil berumur tiga-empat tahun. Dia pasti bakal berpikir aneh kalo sepasang manusia yang mengaku sebagai ayah ibunya tetapi saling memanggil dengan sapaan lo-gue.
"Nit …", sahut Angga pelan. "Aku mau bicara, boleh?"
"Sure. Sok manga."
Angga menarik nafas dalam-dalam lalu dihembuskan perlahan. "Gini, mulai sekarang kan kita gak cuma berdua, Nit. Ada Yessa di antara kita dan dia bukan lagi anak kecil berumur tiga-empat tahun. Dia pasti bakal berpikir aneh kalo kita saling panggil dengan sebutan lo-gue, karna kita sebagai orang tua kandungnya. Jadi menurutku, apa gak sebaiknya aja kita ngobrol dengan selayaknya? Dengan bahasa yang lebih wajar, dengan sebutan panggilan yang lebih wajar. Pake aku-kamu, salah satunya."
Sekali lagi Anit memasang senyum terbaiknya. Ucapan Angga barusan ada benarnya, dan alhasil Anit mengangguk setuju. Dia gak boleh lagi seegois dulu yang selalu menomorsatukan emosi.
"Terima kasih, Ga.", sahut Anit tulus.
"Oiya, mulai sekarang, kamu gaknusah lagi mikirin soal Kokoroyok. Gak usah mikirin kerjaan apapun. Kamu cukup pikirin diri kamu sendiri sama Yessa. Urusan materi dan lain-lain, itu biar aku yang mikirin."
Anit menggeleng. "Kokoroyok siapa, Ga?"
"Onoh yang di London. Kalo aku sebutin namanya, tar kamu marah."
"Oh, I see. Anyway, gak bisa, Ga. Biar gimanapun gue harus kerja. Gue harus siapin semuanya buat masa depan Yessa, Ga. Gue juga gak mau ngebebanin lo dengan sesuatu yang bukan lagi jadi tanggungjawab lo."
Angga memarkirkan mobilnya di sebuah parkir lot restoran cepat saji berlogo huruf "M" dan menetralkan perseneling, lalu membalikan badan ke belakang dan memandangi wajah Anit lekat-lekat.
"Kamu dan Yessa adalah tanggungjawabku. Aku tau ini emang udah terlambat banget, tapi menurutku lebih baik terlambat daripada enggak sama sekali. Andaikata pun misalnya, kamu tetep gak kasih aku kesempatan buat memperbaiki kesalahan aku dan ngebiarin aku terus tersiksa karna rasa bersalah dan penyesalan, buat aku gak masalah. Jujur dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku pengen kalian bahagia. Aku mohon sama kamu, Nit, kamu jangan lagi menolak tanggungjawab aku ke kalian."
Anit menghela nafas dengan pelan. Sebuah anggukan kepala menjadi pengganti jawaban lisannya.
"Kita makan di sini aja ya?" Angga melanjutkan ucapannya. "Aku udah laper banget."
*
Koko menyambar pakaiannya dari gantungan lemari dan memasukkannya ke dalam dua koper bersarnya. Dia bener-bener udah gak tahan lagi untuk tinggal di London lebih lama lagi. Satu-satunya hal yang membuatnya bertingkah begini cuma satu orang, Anit. Gila! ini bener-bener gila!
Sepanjang umurnya, ini pertama kalinya Koko merasa tersiksa karna merindukan Anit. Cuma nama itu yang terus mengusik isi kepalanya. Ditambah lagi udah hilangnya segala rasanya pada Yunesh gara-gara kejadian tempo hari saat istrinya itu melabrak Anit di kantornya dan merendahkannya.
"Kamu tega ya! Demi pelacur itu kamu tega ninggalin aku sama Rezvan!" Yunesh berteriak emosi. Air matanya mengalir deras.
Koko langsung menghentikan kegiatannya mengancingkan koper begitu mendengar Yunesh lagi-lagi merendahkan Anit. Hatinya terasa sakit dan gak terima. Yunesh gak tau apapun soal Anit. Lagipula, ini semua bukan salah Anit. Ini salahnya.
"Apa bagusnya si pelacur itu sampe kamu segininya tergila-gila sama dia, huh?! Bilang sama aku, Ko!!"
Koko menghela nafas dan membalikan badannya menghadap ke Yunesh. Rasa hormatnya pada Yunesh bener-bener hilang total dan berganti dengan rasa sakit hati yang luar biasa.
"Aku berkali-kali bilang sama kamu, ini semua salah aku!! Kenapa kamu masih menghina Anit?! Dia bukan pelacur, Yunesh."
Yunesh mendengus. Sudut bibirnya terangkat, membuat seutas senyum sinis. "Bukan pelacur katamu?! Trus kalo gitu disebut apakah cewek yang kegatelan menggoda suami orang?!"
ASTAGA!! Koko mengusap wajahnya dengan gusar. Dia bener-bener gak menyangka Yunesh bakal sekasar itu menilai Anit. Koko menghela nafas dengan berat. Lalu,
"Mulai detik ini juga, saya ceraikan kamu. SAYA CERAIKAN KAMU, YUNESH ADDARA ALITZA BINTI HUSEIN! Dan mulai sekarang, jangan pernah lagi kamu temui saya! Saya bener-bener kecewa dan muak sama kamu, Yunesh. Gak ada lagi maaf buat kamu atas kelakuan kamu yang merendahkan orang lain kayak begini!!!" Koko menarik turun koper-kopernya dan meninggalkan Yunesh yang berdiri mematung dengan berderai air mata.
*
Anit mengulum senyumnya. Beberapa meter di depannya, untuk pertama kalinya dia menikmati pemandangan saat Angga menggendong tubuh mungil Yessa, membaringkannya ke ranjang, dan menyelimutinya. Anit malah sama sekali gak pernah tahu, Angga bisa sebegitu sabar dan telatennya mengurus anak kecil.
"Terima kasih," sahut Anit begitu Angga membalikkan badannya dan bersiap meninggalkan kamar Yessa.
"Terima kasih untuk apa, Nit?"
"Terima kasih buat semua yang udah kamu lakuin buat Yessa hari ini."
Angga berjalan menghampiri Anit dengan seutas senyum. Lalu diraihnya tubuh Anit ke dalam pelukannya dan dielusnya puncak kepala cewek itu.
"Don't say it, Anit. Aku yang seharusnya berterima kasih sama kamu karna udah izinin aku ketemu Yessa. Dan semua yang aku lakuin untuk kalian inilah yang seharusnya. Karna Yessa anakku."
"Anak kita, Ga." Anit mengoreksi ucapan Angga barusan.
Kemudian, Anit mengangguk. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dia mulai merasa nyaman berada di pelukan Angga lagi. Rasanya seperti kehangatan sebuah rumah yang selama ini dirindukannya.
"Kasih gue waktu untuk memperbaiki semuanya, Ga."
Angga melepaskan pelukannya dan menggelengkan kepala sesaat sebelom mencium kening Anit. "Kasih aku waktu, Nit, buat memperbaiki semuanya. Kasih aku waktu buat meyakinkan kamu lagi. Aku mungkin emang bukan cowok yang baik, tapi aku bakal berusaha sebaik mungkin jadi ayah terbaik buat Yessa."
Anit mengangguk pelan. Gak tau kenapa, Anit mulai mempercayai Angga. Malah Anit juga percaya dengan ucapan cowok itu barusan.
*
Koko langsung bergegas cepat keluar dari Terminal Hall Kedatangan. Dia gak mau membuang waktu lebih lama lagi. Rasa rindunya pada Anit udah memuncak di ubun-ubun kepalanya yang membuatnya ingin memeluk cewek itu erat-erat dan mengatakan bahwa saat ini cuma namanya yang bertahta di hatinya.
Koko menghentikan langkahnya dan merogoh saku celana jeansnya lalu mengeluarkan ponselnya. Sedetik kemudian dia menekan sederet angka yang udah dihafalnya di luar kepala, lalu menempelkan benda itu ke telinganya. Tapi baru beberapa detik sambungan telepon itu diputusnya.
Koko mengulum seutas senyum. Ah, biarkan. Dia ingin memberikan Anit kejutan dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Koko yakin, cewek itu bakal menyambutnya dengan tangan terbuka dan pelukan hangat, sama seperti yang dulu cewek itu lakukan.
*
Angga terpaku. Tatapan matanya nyaris gak berkedip dan gak bisa lepas dari wajah Anit yang sedang tertawa bersama Yessa. Entah kenapa ada rasa haru dan bahagia yang membuncah di hatinya. Apalagi selama ini yang diberikannya untuk cewek itu cuma luka, luka, dan luka.
"Ayah!"
Lamunan Angga buyar seketika. Angga menoleh ke arah asal suara. Apa? A ... Ayah?
"Ayah kenapa ngelamun?" tanya Yessa manja sambil mendaratkan pelukannya ke tubuh Angga. "Ayah ngelamunin Ibu ya? Ibu cantik ya Yah?"
Angga memasang senyumnya. Dirangkulnya pinggang anak gadisnya itu lalu menganggukan kepalanya. Tatapannya kembali ke wajah Anit. Cewek itu tersipu.
"Ibu kamu adalah wanita yang paling cantik yang pernah Ayah kenal, Yes. Dan kamu beruntung memiliki wajah secantik Ibu." sahut Angga tanpa melepaskan pandangannya dari Anit.
"Yessa sayangku, ini udah malam loh. Ayo tidur, besok main lagi sama Ayah." sela Anit sambil memberikan isyarat pada Angga lewat pandangan matanya.
Yessa menggeleng. "Ah Ibu. Yessa masih mau manja-manjaan sama Ayah. Setengah jam lagi ya?" tanya Yessa yang langsung dijawab dengan gelengan kepala oleh Anit, membuat Yessa memonyongkan bibirnya beberapa senti dan berjalan meninggalkan mereka.
"Kamu jangan galak-galak sama Yessa, Nit. Dia kan masih kecil." sahut Angga sambil menarik tubuh Anit ke pelukannya begitu Yessa menutup pintu kamarnya.
"Galak sama tegas itu beda, Ga." sahut Anit gak mau kalah dan membiarkan Angga memeluknya. "Jangan mentang-mentang kamu ayahnya trus malah manjain dia."
Angga memasang senyum terbaiknya. Dibelainya perlahan puncak kepala Anit sambil mendekatkan bibirnya ke bibir cewek itu.
"Marry me, Nit." Untuk yang kesekian kalinya Angga melamarnya, tapi tiba-tiba ...
"Anit?" Terdengar suara khas Koko dari arah pintu, membuat Angga dan Anit menoleh berbarengan. "Angga?"
Anit memasang wajah datarnya. Dia bener-bener gak mau ketemu Koko lagi setelah apa yang dia dan istrinya lakukan. Alhasil, Anit cuma bisa menggenggam erat jemari Angga.
"Lo ngapain di sini?" tanya Angga datar. Dia tahu, Anit merasa gak nyaman dengan kedatangan Koko. "Lo mau bikin Anit nangis lagi?"
"Gue gak ada urusan sama lo, Ga.", sahut Koko sombong. "Urusan gue cuma sama Anit."
"Gue gak mau ketemu lo lagi, Ko. Tolong lo keluar dari sini dan jangan pernah balik lagi."
"Nit, marry me." pinta Koko tiba-tiba. "Demi Yessa dan kebahagiaan kamu."
Anit menggeleng. Air matanya menetes dan tangannya semakin erat menggengam jemari Angga. "Selama ini gue salah nilai lo, Ko. Lo jauh lebih bajingan dari Angga. Gue bener-benee kecewa sama lo."
"Nit! Aku udah ceraikan istriku. Sekarang aku single. Aku siap nikahin kamu, Nit."
"Pergi!" Anit berteriak histeris. Air matanya semakin deras mengalir membasahi kedua pipinya. Bahunya bergerak naik turun. "Pergi!!"
Angga reflek membalikan tubuh Anit dan langsung memeluknya erat-erat, berusaha menenangkan sekaligus meredakan tangisnya. Dibelainya perlahan punggung Anit. Entah kenapa hatinya terasa sakit melihat Anit sebegitu terlukanya dari satu-satunya orang yang selama ini dipercaya dan menjadi tempatnya bersandar. Dan ini semua juga karna salahnya yang meninggalkannya dulu. Alhasil, Angga cuma bisa memejamkan matanya dan membiarkan air matanya berhasil meloloskan diri dari sudut matanya.
*