Anit menghela nafas. Ini udah yang kesekian kalinya. Otaknya bener-bener buntu. Dia sama sekali gak bisa berkonsentrasi dengan pekerjaannya saat ini. Semakin dia memaksa bertahan, semakin dia merasa sesak. Dia harus pergi dari sini secepatnya sebelom terlambat dan semakin tersakiti.
Dipandanginya sebuah frame berisi fotonya dan foto Koko di atas meja kerjanya. Untuk pertama kalinya dia membenci pemandangan di frame itu. Rasa rindunya yang membuncah untuk cowok itu harus dipaksanya pergi. Rasa cinta yang mulai bersemi pun harus dipaksanya mati. Dia gak mau menjadi cinta yang cuma bertepuk sebelah tangan. Tapi dia juga gak mau cintanya nanti harus terbagi di kemudian hari.
Anit merapikan barang-barangnya dan memilahnya ke dalam box. Kemudian buru-buru meninggalkan ruang kerjanya menuju parkiran basement tempat mobilnya di parkir. Matanya mulai panas. Dia masih teringat kejadian tadi pagi. Pagi pertama yang mendung untuknya.
*
Angga menghela nafas. Setelah berdebat dengan hatinya sendiri, akhirnya dia melangkahkan kakinya ke pintu keluar Hall Kedatangan. Ini kali kedua dia di sini, di London. Emang sih kedatangannya kali ini bukan untuk urusan bisnis seperti sebelumnya, tapi gak tau kenapa hatinya yang menyuruhnya ke sini. Dan itu tentu aja membuat Angga senang setengah mati.
Angga memasang senyumnya. Dia udah bisa membayangkan wajah Anit dengan ekspresi kesalnya kalo mereka bertemu nanti. Hati Angga selalu bergetar hebat setiap kali dia mengenang cewek itu. Gak peduli seberapa kali cewek itu berusaha menghindarinya atau bahkan memakinya. Dia mencintai cewek itu. Sangat mencintainya.
Anit ... Apa kabarmu? Aku rindu ...
Langkah Angga tiba-tiba terhenti. Pandangannya membulat ke satu objek yang beberapa meter di hadapannya. Senyumnya langsung sirna. Ini dia gak salah lihat kan? Ato ini cuma halusinasinya aja? Perasaan baru aja dia memikirnya Anit dan sekarang cewek itu berada beberapa meter di hadapannya. Angga mempercepat langkahnya.
"Anit?" tanya Angga hati-hati. "Ini beneran Anit?"
Anit menoleh ke arah asal suara yang sangat dikenalnya. Tatapannya datar. Moodnya sedang berantakan, jadi sangat gak memungkinkan dia beradu mulut dengan sosok yang belakangan ini memang dihindarinya. Terutama semenjak kejadian penusukan itu. Alhasil, dia cuma menganggukan kepala.
"Long time no see, Nit.", lanjut Angga sambil duduk di kursi kosong tepat di sebelah Anit. "Apa kabar? Kamu lagi ngapain di sini?"
"Baik.", sahut Anit singkat. "Lo sendiri apa kabar dan lagi ngapain di sini?"
Angga memaksakan seutas senyum, tapi sepasang matanya gak bisa diajak berbohong. Dia tau, pasti terjadi sesuatu dengan Anit. "Kamu baik-baik aja?"
Anit mengangguk pelan. "Yes. I'm fine."
"Trus kamu lagi ngapain di sini? Mau jemput seseorang? Ato mau terbang?" Angga gak salah. Angga bisa melihat dengan jelas barang bawaan Anit yang bejibun. "Ato mau pulang ke Indo?"
Anit menggeleng. Dia sendiri gak tau untuk apa dia ke bandara. Kakinya membawanya ke bandara sedangkan hatinya cuma ingin untuk pergi. "Dunno."
"Kamu bener-bener baik-baik aja? Mau aku anter ke apartemen kamu? Apartemen kamu masih yang lama kan?"
Anit mengangguk. "Masih."
"Yaudah aku anter kamu pulang ke apartemen kamu aja ya. Kondisi kamu kayak gini, gak bakalan aman kalo pergi kemana-mana. Aku khawatir sama kamu.", sahut Angga sambil membantu Anit berdiri dan membawa barang-barang bawaannya.
*
"Halo, Zuna?" Terdengar suara khas Angga membuka percakapan begitu panggilan teleponnya tersambung. "Lo lagi sibuk?"
"Halo. Enggak sih. Ada apa, Ga?"
"Lo bisa ke London sekarang? Ini penting dan darurat!" sahut Angga sambil menolehkan kepalanya dan memandangi Anit yang masih tertidur dari sepanjang perjalanan tadi. "Ini soal Anit."
"Anit? Kenapa sama Anit? Lo lagi sama Anit sekarang di London?"
"Udah gak usah banyak nanya. Gue tunggu lo di London. Tolong lo buruan ke sini ya. Kalo bisa sama Tante Letta. Karna menurut gue, Anit sekarang butuh kalian."
"Gue gak bisa kalo sekarang. Baru bisa minggu depan. Tolong lo jaga Anit dulu sampe gue dateng ke sana."
-KLIK-
Angga melepaskan earphonenya dan menyimpannya kembali ke sakunya. Tatapannya masih lekat-lekat ke sosok Anit yang tertidur. Wajah cewek itu gak setenang biasanya dan Angga berani bertaruh pasti ini ada hubungannya sama Koko.
Angga mengulurkan tangannya dan menyingkirkan beberapa anak rambut yang jatuh menutupi wajah Anit. Kemudian diciumnya perlahan dan lama kening cewek itu. Rasa rindu yang tadi membuncah di dadanya kini berganti rasa cemas. Entah bakal gimana kalo aja tadi mereka gak bertemu.
"Ada apa denganmu, Anit? Jangan lagi kamu berpura-pura kuat, Nit. Aku tau, kamu gak sekuat yang kamu tunjukin ke aku selama ini.", gumam Angga pelan.
Anit membuka matanya perlahan. Anehnya orang pertama yang dilihatnya adalah Angga. Malah, Anit bisa melihat dengan jelas senyumannya. "Lo masih di sini? Lo gak ngapa-ngapain gue kan?"
Angga menyodorkan segelas air putih ke Anit sambil menggelengkan kepalanya. "Aku gak sejahat itu, Anit. Apalagi sampe ninggalin kamu di sini sendirian. Kamu ada masalah?"
Anit menggeleng. "Enggak. Dan lo gak usah belagak peduli sama gue. Gue tau lo pasti ada maksud tersembunyi ke gue."
Angga menghela nafas sebelum akhirnya menggelengkan kepala. "Kamu mau sampe kapan berburuk sangka ke aku, Nit? Aku sengaja ke London karna kangen sama kamu, Nit. Terakhir aku ketemu kamu itu empat bulan yang lalu, sebelom akhirnya kamu masuk rumah sakit gara-gara aku. Aku bener-bener kangen sama kamu, Nit. Pekerjaan dan kesibukan aku selama di Jerman gak bisa bikin aku lupa sama kamu."
Anit turun dari ranjang dan berjalan ke arah jendela besar menghadap taman. Tatapannya lurus ke depan. Mulutnya terkunci rapat-rapat. Hatinya masih terasa sakit karna pemandangan tadi pagi dan bertambah sakit karna kehadiran Angga. Tapi dia juga gak mau Angga sampai tau soal kejadian tadi pagi. Bisa berabe!
"Ayo kita menikah.", sahut Anit tiba-tiba.
HAH? Angga mengerjapkan matanya. Dia gak percaya. Anit barusan bilang apa? Menikah? Ini cewek sadar gak sih sama apa yang barusan diucapkannya?
"Kamu barusan bilang apa?"
"Ayo kita menikah." Anit mengulang ucapannya tadi.
Angga menggeleng. Dia yakin, Anit pasti berhalusinasi. "Kamu gak usah terlalu banyak pikiran. Kamu istirahat aja dulu. Aku gak bakal kemana-mana kok. Aku bakal di sini jagain kamu sampe Zuna sama Tante Letta dateng."
"Lo telepon mereka? Buat apaan sih? Gue kan udah bilang gue baik-baik aja!"
"Nit, kamu gak usah bohong. Kamu itu gak baik-baik aja dan itu bikin aku khawatir. Okelah kamu emang benci setengah mati sama aku. Tapi kali ini aku bener-bener tulus."
Anit meraih gelas dari atas nakas dan melemparkannya ke arah Angga lalu pecah berantakan di lantai. "Pergi! Pergi dari sini!!!"
Angga menggeleng. "Kamu mau usir aku kayak apa juga aku gak bakalan pergi dari sini. Aku khawatir sama kamu, Nit."
"Pergi!!!" Anit berteriak putus asa. Air matanya berurai. "PERGI!!!!!!"
Angga menarik tubuh Anit ke dalam pelukannya. Dibelainya dengan lembut punggung cewek itu. Sekarang dia bener-bener yakin ada sesuatu yang terjadi dengannya dan itu membuat hatinya terasa sakit. Remuk. Hancur. Apalagi dengan tangis Anit yang pecah di pelukannya. Diam-diam Angga bersumpah bakal memberi pelajaran ke Koko.
*
Koko melirik ke meja kerja Anit yang berada tepat diseberang ruang kerjanya. Cewek itu sekarang gak ada di tempatnya, padahal tadi dia melihatnya di sana. Hatinya menjadi gak tenang. Koko tahu, kepulangannya ke London kali ini dadakan tanpa mengabarinya. Plus kejutan lain yang gak pernah diduganya. Koko yakin, Anit pasti sakit hati. Koko menghela nafas. Dia mengeluarkan ponselnya lalu jarinya menekan sederet angka yang udah dihafalnya di luar kepala dan menekan tanda "panggil". Satu detik. Dua detik. Panggilan tersambung tapi gak ada jawaban. Selalu begitu sampai Koko melakukan empat kali panggilan telepon. Bahkan voice call dari pesan instan Whatsapp pun berakhir sama. Not answered.
"Jen, Anit kemana ya?"
Jenna menghentikan aktivitasnya begitu mendengar suara Koko di depan kubikel kerjanya. Lalu dia menggelengkan kepala. "Kurang tau, Pak."
"Anit ada bilang apa gitu gak ke kamu?"
"Enggak, Pak. Cuma tadi saya lihat Mbak Anit packing barang-barangnya trus buru-buru pergi. Mukanya kayak mau nangis gitu sih, Pak."
"Oke. Makasih, Jen."
Koko langsung mempercepat langkahnya menuju parkiran basement kantornya dan menginjak pedal gasnya dalam-dalam. Perasaannya mendadak gak tenang. Ini kali kedua Anit pergi tanpa pesan. Bahkan, panggilan telepon darinya juga gak dijawab. Dan Koko sangat menyadari semuanya itu pasti karna dirinya.
*
"Tingtong!" Angga menoleh ke arah asal suara sambil melirik jarum jam tangannya. Udah hampir jam delapan malam. Kemudian tatapannya beralih ke sosok Anit yang masih terlelap di hadapannya setelah berderai air mata tadi. Angga yakin, tamu Anit kali ini adalah Koko.
Dan dugaannya benar!
"Mau ngapain lo ke sini? Mau ngancurin Anit?" tanya Angga sinis.
"Harusnya gue yang nanya. Lo ngapain di apartemennya Anit?!"
"Kalo kedatengan lo cuma buat bikin Anit depresi, mending lo gak usah ke sini. Lagian, Anit juga baru tidur dan gak bisa diganggu."
Koko mendengus. Peduli amat dan amat juga gak peduli kok. "Lo belagak sok peduli sama Anit. Jawab dulu pertanyaan gue. Lo ngapain di apartemen Anit?!"
"Bukan urusan lo! Dan ya, gue peduli sama Anit. Karna gue sayang sama Anit. Gue masih cinta dia. Jelas?! Sekarang lo mendingan pergi, sebelom gue emosi!"
Koko gak peduli. Dia nekat masuk ke dalam apartemen Anit dan langsung bergegas ke kamar Anit. Dia bisa melihat dengan jelas kalo cewek yang selama ini dilindunginya itu bener-bener terlelap. Tapi kali ini dengan wajah yang murung. Bahkan jejak kering air matanya masih membekas di pipinya.
Koko melangkah mendekat. Dibelainya pipi Anit dengan lembut dan dikecup keningnya. Betapa dia rindu dengan wajah ini. Sangat. Tapi dia bisa apa? Keegoisan udah membuatnya menjadi serakah. "I miss you, Nit."
Anit membuka mata perlahan. Dia bisa melihat dengan jelas wajah Koko dengan senyum penuh kelegaan yang mengembang sempurna menghiasi wajahnya. Dan untuk pertama kalinya, Anit justru membenci wajah Koko.
"Kamu kenapa gak bilang kalo gak enak badan, Nit? Kan aku bisa anter kamu pulang." Tangan Koko masih setia membelai wajah Anit. Senyum terbaiknya masih mengembang menghiasi wajahnya. Dan itu benar-benar membuat Anit gak habis pikir, ini cowok pura-pura atau gimana.
Anit mengalihkan pandangannya. Dia benar-benar sakit hati. Empat bulan mereka putus komunikasi. Bahkan ratusan telepon dan pesan yang dikirimkannya gak ada satupun yang direspon Koko sampai-sampai dia berpikir kalo Koko mengganti nomor ponselnya. Lalu, tiba-tiba cowok itu muncul di hadapannya dengan cewek lain dan menyebutnya dengan sebutan HONEY. Bayangkan, HONEY. Sebutan yang sama persis dengan yang diberikan Koko beberapa bulan sebelumnya. Bajingan kan si Koko ini? Buaya darat!
"Loh, Anit? Kamu udah bangun toh?" Tiba-tiba terdengar suara Angga dari balik daun pintu yang berbarengan dengan sosoknya yang juga muncul, membuat Anit diam-diam menghembuskan nafas lega. "Aku udah masak bubur kesukaan kamu. Kamu mau buburnya dibawa ke sini ato aku gendong kamu ke ruang makan? Kamu dari tadi belom makan loh."
"Gendong gue ya?" sahut Anit manja. Ah ini juga! Sebenernya Anit ingin meninju wajah Angga karna cowok itu masih aja berkeliaran di dalam apartemennya, tapi kali ini Anit memaafkannya. Malahan, dia harus berterima kasih kepadanya karna sudah menyelamatkannya dari hadapan Koko. "Kayak yang biasa lo lakuin. Lo mau kan?"
Angga mengangguk. Gak butuh waktu lama buat Angga untuk menggendong Anit dengan posisi ala bride style. Bahkan, Anit seolah tanpa ragu melingkarkan tangannya di lehernya dan menempelkan kepalanya di dada bidangnya, membuat jantung Angga berdegup seribu kali lipat lebih cepat. Sepasang mata Angga beradu pandang dengan manik mata Anit dan senyumnya merekah.
"Terima kasih, Ga.", lirih Anit yang kemudian dijawab dengan anggukan kepala pelan.
Sedangkan Koko masih diam di posisi semula. Dia hampir gak mempercayai pengelihatannya. Dia gak habis pikir sejak kapan Anit jadi akrab kembali dengan Angga? Entah kenapa dia merasa cemburu. Dia gak suka Anit dan Angga berhubungan lagi. Hey, bukannya dia pernah katakan ya, kalo dia juga mencintai Anit?
Dengan kesal Koko meninggalkan apartemen. Lalu dibantingnya pintu apartemen dengan sangat kencang. Peduli amat. Salah sendiri bermesraan di hadapannya, padahal dia jauh-jauh datang ke sini karna dia bener-bener khawatir.
"Gak usah dipikirin. Kamu makan aja yang banyak, abis itu istirahat.", sahut Angga sambil mendudukan Anit di kursi makan. "Kesehatan kamu lebih penting daripada mikirin cowok brengsek kayak dia. Kamu berhak bahagia atas hidup kamu sendiri."
Anit mengangguk pelan sambil mengalihkan pandangannya ke atas meja. Sebuah mangkok berisi bubur kuning khas Bandung lengkap dengan topping kesukaannya dan segelas air putih sudah tersaji di atas meja makan. Ini adalah satu-satunya bubur kesukaan Anit yang selalu dimasak oleh Angga setiap kali dia menginginkannya. Kali ini sepertinya dia benar-benar harus berterima kasih ke Angga karna udah membuatkannya bubur terenak ini dan menyelamatkannya dari Koko.
*