Angga menyesap kopinya perlahan. Pikirannya bener-bener gak terpusat ke materi rapatnya soal rencana akuisisi perusahan baru. Pikirannya terpusat ke Anit. Apalagi perubahan sikap Anit yang sangat mencolok ketika ada Koko di apartemennya membuatnya semakin yakin kalo dibalik teriakan putus asa dan wajah muram Anit sangat berkaitan dengan Koko. Entah kenapa keduanya sekarang seperti lebih penting dari persoalan akuisisi perusahaan yang udah lama diimpikannya. Ambisi dan obsesinya sekarang bukan lagi tertuju ke rencana strategis terpenting bagi perusahaannya, tetapi ke Anit.
"Morning, Ga.", sapa Anit yang sukses membuat Angga membulatkan matanya.
"Are you okay?" Angga barusan gak salah dengar kan? Anit menyapanya pagi-pagi begini. Benar-benar sesuatu! "Gimana tidur kamu, nyenyak?"
Anit mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih ya. Gue gak tau bakal gimana kalo kemaren gue gak ketemu lo. Ya walopun gue masih benci sama lo."
Angga meletakkan cangkir kopinya ke atas meja. Dipandanginya sosok Anit dalam-dalam. Dahinya berkerut. Ini beneran Anit yang dikenalnya? Jujur, Angga lebih suka Anit yang selalu berkata ketus setiap kali mereka bertemu seperti sebelumnya. Dengan begitu Angga yakin, kalo cewek yang masih dicintainya ini baik-baik aja. Bukan Anit yang ramah seperti sekarang tapi sebenernya dia sedang menahan kesakitannya sendiri.
"Ada yang mau kamu ceritain ke aku? Kamu boleh cerita apapun ke aku, daripada kamu kelamaan nunggu Zuna ato Tante Letta."
Anit menggeleng. Seutas senyuman masih mengembang menghiasi wajahnya. "Nope."
"Bener? Aku tau, kamu lagi berusaha nyembunyiin sesuatu dan itu pasti berhubungan sama Koko. Ya kan?"
Anit menghela nafas. Selain Zuna, adalah Angga yang merupakan satu-satunya orang yang paling gak bisa dibohonginya. Mau sekeras apapun dia menyembunyikan, mereka selalu jago menebak dan tebakan mereka selalu benar. Anit memberanikan diri memandangi sepasang mata Angga dalam-dalam. Dia ingin tahu isi hati Angga. Kata orang, biasanya kata hati yang gak terucap di bibir bisa tampak dari matanya.
"Cerita aja, Nit. Gak usah sungkan. Aku janji gak bakal bersikap gila ato gimana-gimana ke Koko. Malah mungkin, lebih baik kamu ceritain masalah kamu ke aku daripada ke Zuna. Kamu tau sendiri kan gimana karakter Zuna?"
"Gue ... gue sakit hati sama Koko, Ga.", sahut Anit lirih. Akhirnya. "Sakit hati banget. Dia yang selama ini gue percaya, ternyata berkhianat. Dan menurut gue, semua cowok itu sama. Bajingan. Brengsek."
"Aku enggak. Dan aku bukan bajingan, Nit. Sumpah.", sahut Angga sambil menahan senyumnya.
"Ya lo kan cowok. Dan lo juga sama bajingannya kayak si Koko. Ninggalin gue gitu aja tanpa penjelasan. Tanpa kabar. Tanpa tanggungjawab."
"Ya kan aku udah minta maaf, Nit. Masa masih belom dimaafin?"
"Udah gue maafin.", sahut Anit sebal. Ih beneran ya si Angga ini. Ngeselin!
"Oke, lanjut. Jadi intinya si Koko ninggalin kamu gitu?"
"Dunno. Yang pasti, dia gak ada kabar selama empat bulan, dari semenjak gue keluar rumah sakit sampe tiba-tiba hari ini gue ... gue ngeliat dia dateng ke London bareng cewek dan dia nyebut itu cewek pake sebutan honey."
"Trus kamu cemburu?" Angga gak bisa menahan dirinya untuk gak bertanya begitu. Dia gak suka kalo Anit cemburu ke Koko. "Gitu?"
"Enggak cemburu sih.", sahut Anit yang berbarengan dengan hebusan nafas lega dari Angga. "Kan tadi gue udah bilang. Gue sakit hati. Padahal maksud gue, toh semua kan bisa diomongin. Gak perlu lah dia begitu. Kalopun misalnya dia gak bisa nunggu lebih lama lagi, dia kan bisa bilang. Gue gak masalah kok. Gue bisa mundur, tapi bukan begini caranya."
"Trus kamu mau balas dendam gitu, Nit?"
Anit menggeleng. Bukan Anit namanya kalo harus mendendam. Mungkin emang udah menjadi takdirnya untuk selalu tersakiti karna cowok. Apalagi di saat dia mulai mencintai si cowok itu. Tapi kan biar gimanapun juga, dia berhak bahagia dengan hidupnya. Lah sekarang, gimana mau hidup bahagia kalo cintanya aja selalu dikhianati? Gimana mau hidup bahagia kalo hatinya selalu dikecewakan? "Biar karma yang bicara, Ga."
Angga meraih tangan Anit dan menguncinya dalam genggamannya. "Kamu tau gak kenapa aku ke London? Aku kangen sama kamu, Nit. Perasaan aku ke kamu gak berubah. Aku masih cinta sama kamu, tapi aku gak mau menyakiti kamu lagi. Aku pikir kamu udah bahagia sama Koko. Karna terakhir aku ketemu Koko, justru Koko yang minta aku untuk ngejauhin kamu. Dia janji sama aku, dia bakal bahagiain kamu. Tapi ternyata aku salah. Dan jujur, hati aku sakit banget lihat kamu sampe seputus asa semalem."
"Ga ..." Angga meletakkan jari telunjuknya di bibir Anit, isyarat untuk menyuruhnya diam.
"Aku tau ini bukan waktu yang tepat untuk bilang ini ke kamu. Aku masih menunggu kamu, Nit. Aku mohon, menikah sama aku. Aku janji bakal bahagiain kamu. Aku janji bakal lakuin apa aja untuk kebahagiaan kamu. Selama empat bulan ini aku hidup gak tenang. Aku selalu mikirin kamu. Aku selalu khawatir sama kamu. Aku selalu kepo sama kehidupan kamu. Dan aku tau, semakin lama aku begitu aku bisa gila. Aku gak bakal berhenti minta kamu buat nikah sama aku sampe kamu mengiyakan, walopun aku juga tau kalo kamu udah nolak cincin pemberian dari aku. Asal kamu tau, cincin yang aku kasih ke kamu lewat Zuna adalah cincin lamaran yang gak sempet aku kasih ke kamu di saat kamu pergi dulu. Kalo aja dulu aku gak sebodoh itu, mungkin kamu gak bakal menderita begini."
"Lo habis makan apa tadi? Gila kok diumbar-umbar?"
"Nit, I love you.", sahut Angga lirih. "I love you so much."
Anit mengangguk. "Sana mandi. Trus temenin gue ke bawah beli sarapan. Gue laper!"
Angga mengangguk sesaat sebelum mencium kening Anit. "Dari dulu kamu gak pernah berubah. Selalu punya cara buat ngalihin topik pembicaraan."
*
Sepasang kaki Anit melangkah menyusuri area pusat kuliner. Sesekali Anit menghentikan langkah dari satu stand ke stand lain sambil membeli beberapa jajanan.
Di belakangnya, ada Angga yang juga mengikuti langkah Anit. Sesekali dia mengulum senyumnya sambil memperhatikan tingkah cewek itu yang agak kekanak-kanakan.
"Nit, cobain ini yuk?!" tanya Angga sambil mengarahkan jari telunjuknya ke sebuah rumah makan.
Anit menghentikan langkahnya sambil menoleh ke objek yang ditunjuk Angga. Sudut alisnya terangkat. Yailah, masih pagi begini malah ngajaknya makan nasi padang. Lutung .. eh tulung!
"Gak ah. Masa pagi-pagi makan nasi padang? Gendut tar gue."
"Ayolah. Aku laper banget nih. Ngikutin kamu daritadi yang ada cuma makan angin."
Anit menggeleng. "Yaudah. Lo makan aja di situ. Gue mau nyari lagi makanan yang pas buat perut gue."
"Ayolah, Nit. Aku laper nih."
Huft. Anit menghela nafas. Yaudah deh, dia harus mengalah. Ucapan Angga tadi ada benernya juga sih. Toh dia juga lapar. Jajanan yang daritadi dibelinya cuma sanggup numpang lewat di lidahnya. Alhasil, dia mengangguk setuju.
"Uni, saya pesan nasi sama ayam bakar dua porsi ya. Minumnya es teh manis.", sahut Anit sambil mengarahkan jari telunjuknya ke piring berisi tumpukan ayam bakar. Kemudian, dia mendekat ke meja makan dimana Angga berada.
"By the way, aku boleh nanya sesuatu?" Angga buka suara begitu Anit duduk di kursi kosong di hadapan Angga. "Apa kamu bakal menghindar dari Koko sama kayak kamu ngehindar dari aku?"
"Lo mau ketemu Yessa gak?" sahut Anit pelan. Dia bener-bener gak mood untuk bahas apapun yang berhubungan dengan Koko. "Lo gak kepengen tau kayak gimana Yessa?"
"Nit, jawab dulu dong pertanyaan aku. Apa kamu bakal ngehindar dari Koko sama kayak kamu ngehindar dari aku?"
Anit menghela nafas. Sepasang matanya lekat-lekat memandangi manik mata Angga. "Harus banget gue jawab ya?"
"Iya dong.", sahut Angga sambil menyenderkan punggungnya dan melipat kedua tangannya di dada. "Dan kamu cuma tinggal jawabnya Ya ato Enggak. Gampang kan?"
"Trus kalo gue gak mau jawab gimana?"
"Ya gak gimana-gimana. Tapi kan kalo bisa ya kamu jawab."
"Sebisa mungkin, ya gue bakal ngehindar dari dia. Daripada gue makin sakit hati."
"Trus kalo gitu gimana sama kerjaan kamu kalo kamu ngehindar dari dia? Kan kamu sekretarisnya?"
"Lo tau darimana kalo gue sekretarisnya Koko?", tanya Anit sambil mengunyah makanannya dan mengacungkan garpu yang dipegangnya. "Lo gak capek apa stalking gue mulu?"
"Temen aku kan ada yang kerja di kantor kamu juga, Nit. Dan ya ... aku cukup kaget juga kalo ternyata kamu terkenal ya di kantor."
"Ya iyalah gue terkenal. Kan gue corporate secretary."
Anggs menggeleng. Ada rasa cemburu yang menyusup di celah hatinya.
"Kamu itu dikenal sebagai pacarnya Angga."
Sekarang giliran Anit yang menggeleng. Digenggamnya tangan Angga, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun lalu.
"Gue emang jatuh cinta sama Koko dan mulai mencintainya. Tapi gue udah mutusin untuk mundur teratur. Ada orang lain yang harus gue bahagiain. Dan lo, biarpun gue benci setengah hidup sama lo, lo tetep ayah biologis Yessa. Jadi gue harap, lo bisa nerima kenyataan ini karna suatu saat Yessa bakal butuh lo sebagai ayah kandungnya."
Angga tersenyum. Hatinya terharu. Apalagi ini pertama kalinya cewek itu menggenggam tangannya lagi. "Tapi Yessa juga butuh ayah dan ibunya yang lengkap, Nit. Bukan pincang kayak sekarang. Sedangkan kamu dulu pernah bilang bakal nerima lamaran Koko karna dia jauh lebih baik dari aku."
"Lo tulalit ato apa sih? Gak nyimak omongan gue barusan. Auk ah! Gue mau balik. Lo bayar aja nih makanan yak, trus balik ke alam lo!" sahut Anit sambil menarik tangannya dari genggaman Angga dan bergegas meninggalkan cowok itu.
Tapi gerakannya terhenti. Angga langsung menarik tubuh Anit ke dalam pelukannya lalu dikecupnya perlahan puncak kepala cewek itu. "Terima kasih, Nit. Terima kasih karna kamu udah kembali."
Anit berusaha mendorong tubuh atletis Angga, tapi tenaganya kalah kuat dengan pelukan cowok itu. Alhasil, dia cuma bisa pasrah. Habis mau gimana lagi?
"Makasih buat apa?" tanya Anit terbata. Nafasnya mulai sesak karna pelukan Angga yang semakin erat.
"Terima kasih karna kejutekan kamu udah kembali. Jujur, kalo kamu jutek kayak begini aku bisa tenang. Itu artinya kamu baik-baik aja."
"괜찮지가 않네.", sahut Anit lirih.
Angga menggangguk. Dia tahu maksud ucapan Anit barusan. Makanya, dia semakin mengeratkan pelukannya. "I'm with you. This I promise you, now and forever."
"Lo bisa lepasin pelukannya? Gue sesek nafas lama-lama."
Angga mengangguk sambil melepaskan pelukannya dan tersenyum.
*