Satu tahun kemudian .....
"Good morning, Anit!!"
Terdengar suara khas Koko dari interkom yang terpasang di pintu apartemen Anit. Udah menjadi kebiasaan barunya semenjak dirinya dan Anit semenjak memutuskan untuk memulai hidup baru di London.
Anit langsung menghabiskan potongan cheese cake terakhirnya dan menenggak susu putih rendah kalori sebelom akhirnya berlari ke arah pintu.
"Good morning my guardian man!" Anit memasang senyum terbaiknya. "Are you ready?"
Koko memasukan kedua tangannya sambil menyenderkan punggungnya ke dinding sebrang pintu apartemen Anit dan memasang senyum terbaiknya. "I'm ready. Yuk!"
Anit mengangguk dan kembali ke dalam sebentar lalu menyambar tas tangan plus ransel berisi laptop kerjanya. Setelah semuanya siap di tangan, Anit dan Koko turun berbarengan ke lantai basement tempat Koko memarkir mobil SUV nya.
Sebenernya, Anit gak pernah sekalipun menyangka, keputusannya untuk resign dari perusahaan Zuna bakal merubah banyak hal di hidupnya. Memang sih awalnya Zuna gak setuju saat Anit menyerahkan surat pengunduran dirinya tepat sehari setelah kejadian Zuna menghajar Angga di apartemen bajingan itu. But yeah, well, semua berkat Koko akhirnya Zuna setuju. Dan Anit bener-bener berhutang banyak dengannya.
Suhu udara kota London hari ini lumayan dingin. Mungkin karna udah mulai masuk ke musim dingin. Musim yang sangat-sangat gak disukai Anit karna dia harus selalu membawa mantel tebal demi menghindari hipotermia.
"Grogi gak, Nit?" Koko dari tadi memandangi wajah Anit dan jalan raya secara bergantian. "Lo mau mampir ke coffee shop dulu?"
Anit menggeleng. "Nope. Gak ada kata grogi di kamus Anit, Ko. And you knew it. Tapi gue yakin, mungkin malah lo yang grogi. Ya kan?"
Koko mengangguk pelan. "Ya siapa sih yang gak bakal grogi kalo harus bediri di podium, trus ngasih pidato di jutaan pasang mata. But, thanks to you who always support me."
"No, Ko. Gue yang seharusnya berterima kasih sama lo. Gue selalu nyusahin lo dan gue berhutang banyak sama lo. Smoga Tuhan membalas semua kebaikan lo, Ko.", sahut Anit tulus.
"Tapi lo betah kan tinggal di London?"
"Betah. Sangat betah. Gue punya kehidupan baru, harapan baru, pekerjaan baru. Dan yang pasti, gue punya masa depan baru yang jauh lebih baik untuk gue dan Yessa."
Koko mengangguk-angguk. "Tapi lo udah damai kan sama masa lalu dan masalah lo yang terakhir itu?"
Anit mengalihkan pandangannya. Tatapannya lurus ke depan setengah menerawang. Pertanyaan yang simpel tapi sulit untuk dijawab.
"Sorry, Nit. Gue gak bermaksud buat bikin lo keingetan sama soal lalu itu. Beneran deh. Ya jujur, gue seneng kalo lo betah tinggal di sini. Toh biar gimanapun juga, lo sama Yessa kan udah gue anggep keluarga sendiri. Jadi kalo ada apa-apa sama kalian, gue orang pertama yang bakal pasang badan buat lo, khususnya selama lo di sini."
Anit mengangguk. "Makasih banyak ya Ko. Tanpa pertolongan lo, mungkin gue udah metong bunuh diri kemaren-kemaren itu."
"Bunuh diri itu bukan solusi, Anit. Itu cuma bisikan setan karna pikiran lo terlalu pendek dan lo lupa satu hal. Yessa masih butuh lo sebagai ibunya. Dari awal, Yessa cum tau lo sebagai orang tuanya dan gue, Mama Letta sama Zuna sebagai keluarganya. Ya kan?"
Anit mengangguk pelan. "Iya sih. Omongan lo bener. Makasih banyak, Ko."
"No worries, Nit." Koko menghentikan mobilnya tepat di lobby kantor cabang pertama Koko di London. "Turun yuk. Udah sampe.", lanjut Koko sebelum menyerahkan kunci mobil ke petugas Vallet.
*
Angga menghentikan langkahnya dan mengedipkan matanya beberapa kali, memastikan apa yang barusannya dilihat. Di sini, di London, Angga menemukan kembali sosok Anit?
Angga menghela nafas panjang. Beribu pertanyaan tak terjawab mulai hilir mudik di otaknya. Apa yang terjadi? Apa yang sedang Anit lakukan di sini? Dan lain sebagainya.
Andaikata sosok yang barusan dilihatnya adalah benar Anit, maka Angga yakin bahwa memang Tuhan menakdirkan mereka.
Angga mempercepat langkahnya menuju lift. Namun sayang ...
*
Sekali lagi Anit menoleh. Ia merasa seseorang mengikutinya dari belakang. Entah siapapun itu. Tapi menurut feelingnya, orang itu adalah Angga.
Gak! Gak mungkin! Berkali-kali Anit menyangkal pikiran negatifnya. Dirinya udah sejauh ini, bahkan sampe ke London. Masa iya masih ketemu si keparat itu?
"Kenapa, Nit?" Koko menyadari sikap gelisah Anit.
Anit mengalihkan pandangannya ke manik mata Koko. "Gue ngerasa kayak ada yang ngikutin deh, Ko. Kalo kata feeling gue, orang itu Angga.
Koko mengulurkan tangannya dan menarik tubuh Anit ke dalam pelukannya. "Jangan yakut. Ada gue. Gue yang bakal selalu ngelindungin lo."
Anit mengangguk pelan sambil tersenyum.
Hari ini Anit ditugaskan untuk menemani Koko rapat di kantor cabang pertama mereka di London. Anit sendiri sebenernya gak terlalu asing dengan suasana rapat. Bahkan, dia pun pernah ikut rapat serupa sebelomnya. Koko, sang atasan, mengatakan bahwa rapat ini tergolong rapat yang penting. Makanya, Koko secara khusus memintanya untuk berdandan ekstra. Dalam artian, gak kayak Anit yang biasanya cuma memakai BB cushion dan lipbalm.
Ting!
Pintu lift terbuka. Anit dan Koko berbarengan keluar lift dan langsung menuju ke Ruang Rapat Samudera, salah satu ruang rapat terbesar di gedung itu. Setelah bersalaman sebentar, Anit dan Koko langsung masuk ke ruangan lalu mengambil posisi tempat duduk masing-masing.
Anit menoleh ke kanan atas. Posisi duduknya terlalu dekat dengan AC. Berani bertaruh, dia pasti bakal kebelet pipis kalo berada di ruangan ini dalam waktu yang lama.
*
Anit langsung melangkah cepat sambil membawa tas-tasnya melesat ke toilet. Dugaannya pas, suhu udara yang super dingin selama rapat berlangsung bikin Anit kebelet pipis bukan kepalang. Untungnya, gak jauh dari ruang rapat ada toilet cewek tepat diujung koridor di lantai yang sama.
Anit merasa lega setelah menuntaskan rasa kebelet pipis yang daritadi ditahannya. Begitu tersadar, Anit melongo kagum dengan pemandangan di toilet ini. Walopun cuma sebatas toilet di gedung perkantoran, tapi dekorasi dan nuansa di toilet ini bener-bener mewah dan alami. Bahkan ada beberapa pot berukuran mini yang sengaja diletakan dan ditata di antara wastafel, plus dua pot tanaman berukuran sedang yang menghiasi pojokan toilet. Bener-bener selera Koko banget ini sih!
Setelah cuci tangan, Anit memandangi pantulan dirinya di cermin. Secara selintas, dia memang kelihatan jauh lebih baik. Bahkan, kedua pipinya mulai terlihat chubby. Tapi ...
Anit menggeleng. Dia gak mau memikirkan apapun soal masa lalunya. Dia udah sejauh ini melangkah, bukan untuk mengingat-ingat lagi masa lalu yang sangat menyakitkannya.
Anit kemudian bergegas keluar toilet dan tiba-tiba sesuatu menabraknya, membuat tubuhnya mau gak mau harus mendarat mulus di lantai. Dan tatapannya nyaris gak berkedip. Ini dia lagi gak salah lihat kan?
"Hai, Nit!" Angga mengulurkan tangannya, bermaksud membantu Anit untuk berdiri, tapi langsung ditarik kembali karna cewek itu justru langsung bangkit berdiri dengan tatapan yang sulit diartikan. "Long time no see. Apa kabar?"
Anit menggeleng pelan. Sekarang dia yakin gak salah lihat. Yang berdiri tegap di hadapannya adalah satu-satunya orang yang amat sangat dihindarinya. "Lo ngapain di sini?"
"Meeting." Angga menyahut dengan santai. "Nah kamu ngapain di sini?"
"Bukan urusan lo!"
Belom sempat Angga menyahut ucapan Anit barusan, tiba-tiba terdengar suara seseorang, membuat Anit dan Angga menoleh berbarengan. "Pak Angga!"
Seorang wanita muda dengan wajah blasteran sempurna datang menghampiri Angga. Senyumnya merekah sempurna, menampilkan deretan barisan gigi putihnya yang tertata rapi. Tapi Anit bisa mengkap tatapannya yang gak suka kepadanya. Ah apalah Anit kalo dibandingin sama wanita ini? Yang satu produk impor, yang satu lokal.
"Kita udah ditunggu di bawah." lanjutnya.
Angga mengangguk dan beralih pandang ke arah Anit lagi. Senyumnya mengembang, tapi bagi Anit itu gak lebih dari seringai serigala kelaperan. Anit bener-bener harus ektra waspada tiga kali lipat setelah ini.
"Aku balik dulu ya, Nit. Seneng akhirnya bisa ketemu kamu lagi dan sampe jumpa!"
Anit diam. Buru-buru dia melesat pergi meninggalkan sepasang makhluk astral yang gak bakal lagi-lagi ditemuinya abis ini.
*
Koko yang baru aja selesai berbincang dengan beberapa manajer, langsung tersadar Anit kembali dari toilet dalam kondisi yang gak biasa. Raut wajah cewek itu berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. Dan Koko yakin pasti ada sesuatu hal yang terjadi dengannya.
"Nit? Are you okay?" Koko langsung menembaknya dengan pertanyaan begitu Anit duduk di kursi kosong di sebelah Koko dengan wajah penuh keringat dan ekspresi ketakutan. Bahkan bibir dan tangannya ikut gemetaran. "Ada masalah?"
Anit menoleh. Lalu sebuah gelengan pelan menjadi pengganti jawaban lisannya.
"Kita pulang aja ya, Nit. Daripada lo kenapa-kenapa." Angga langsung memapah Anit berdiri dan bergegas meninggalkan ruang rapat menuju parkiran.
Koko bisa melihat dengan jelas, tatapan Anit kosong. Nyawanya kayak baru aja pamit permisi sebentar. Wajahnya pucat penuh keringat dingin. Bahkan, saat Koko memasangkan seatbelt, cewek itu tetap diam.
Sampai akhirnya ...
"Dia ... Dia kembali, Ko."
Dahi Koko berkerut. Dia sama sekali gak menangkap maksud ucapan Anit barusan. Dia? Dia siapa coba?
"Angga ... Dia kembali, Ko."
Koko menarik nafas lega tapi sedetik kemudian wajahnya menegang. Apa? Barusan Anit bilang apa? Angga kembali?!
Koko menghela nafas dengan berat, mencoba menenangkan dirinya. Dia harus memikirkan cara supaya Anit gak ketemu lagi dengan Angga. Memulangkan Anit ke Indonesia jelas bukan ide yang bagus. Apalagi kantor cabang di sini baru banget beroperasi dan biar gimanapun, dia butuh Anit. Tapi keberadaan Angga sekarang di kota yang sama justru membuatnya gak tenang.
"Gue anter lo balik ke apartemen aja ya Nit?"
"Jangan tinggalin gue sendirian. Gue takut.", lirih Anit memohon.
Koko mengangguk pelan.
*
Koko menghentikan mobilnya tepat di sebuah parking lot salah satu apartemen mewah di pusat kota London. Wajahnya masih terlihat cemas. Apalagi dari sepanjang perjalanan tadi, Anit lebih banyak diam sambil melamun memandangi jendela mobil.
"Lo yakin mau di apartemen? Perlu gue temenin?"
"Jangan tinggalin gue sendirian. Gue takut, Ko."
Koko meraih tangan Anit dan digenggam erat-erat, membuat Anit mengalihkan pandangannya ke wajah ganteng Koko. "Pertanyaan gue cuma satu. Kapan gue pernah setega itu ninggalin lo? Gak pernah kan? Begitupun sekarang. Gue gak bakal kemana-mana dan tetep nemenin lo, sampe lo siap buat bediri kuat lagi."
"I'm just scared, Ko. He's back. Dan lo pasti tau, gue bener-bener merasa terancam."
Koko mengangguk sambil menggandeng tangan Anit dan melangkah bersama menuju apartemennya. Dia tau, ini semua emang gak gampang buat Anit. Cewek itu udah melalui badai terberat dihidupnya. Entah apa yang bakal terjadi kalo sampe ada badai ketiga nantinya.
Koko membuka pintu apartemen dan membiarkan Anit masuk duluan baru kemudian dirinya. Setelah mengunci pintu, Koko merebahkan dirinya di sofa panjang berwarna merah marun, sedangkan Anit beristirahat di kamarnya.
*
Koko melirik ke arah jarum jam yang tergantung di dinding ruang makan sambil melipat koran hari ini yang baru aja dibacanya dan ke arah pintu kamar Anit secara bergantian. Semenjak datang tadi, Anit langsung mengunci dirinya di kamar. Entah kenapa, bayangan peristiwa Anit melakukan percobaan bunuh diri langsung terlintas di benaknya.
"Nit, are you okay" Koko mengetuk pintu kamar Anit berkali-kali, tapi gak ada jawaban sama sekali dari dalam. "Nit? Anit?"
Koko menarik nafas dalam-dalam lalu dihembuskan perlahan. Gak ada jalan lain. Dia harus mendobrak pintu. Satu. Dua. Tig ...
Belom sempat Koko membenturkan tubuhnya di pintu, pintu kamar tiba-tiba terbuka dan Anit nongol dengan wajah sembab plus pucat. "I'm fine."
Koko menarik nafas lega dan langsung menarik tubuh Anit ke dalam pelukannya. "Jangan kayak gini lagi. Gue khawatir.", bisik Koko pelan sambil mengelus punggung Anit.
Alhasil, Anit cuma bisa mengangguk lemah.
*