Chereads / Di Antara 2 Cinta / Chapter 15 - 14

Chapter 15 - 14

"Angga! Lo ngapain di sini?!"

Angga masih bergeming. Dia tetap berlutut di hadapan Anit dengan wajah menunduk seolah dia pendosa yang berharap permintaan terakhirnya dikabulkan.

"Bangun, Ga!"

Angga mengangkat kepalanya dan menemukan sosok Zuna udah berdiri di hadapannya.

"Bangun, Ga. Jangan begini. Gak pantes diliat orang."

"Gue rela bertekuk lutut selama apapun asal Anit mau maafin gue dan balikan lagi sama gue, Zun. Tolong bujuk Anit, Zun. Gue mau nikahin Anit, Zun."

Zuna menoleh ke sisi kiri dan menemukan Anit dengan wajah yang sulit diartikan. Rahang cewek itu mengeras dan tangannya terkepal. Zuna meraih tangan Anit, membuka kepalan dan menggenggamnya. Lalu tatapannya kembali ke Angga sambil menghela nafas.

"Lo liat Anit baik-baik, Ga. Dia diam karna dia terlalu sakit hati sama lo. Meskipun lo udah minta maaf dan bertekuk lutut kayak gini, sama sekali gak bisa ngilangin rasa sakit yang udah terlanjur lo kasih buat Anit."

"Tapi gue gak bisa kehilangan Anit kayak dulu, Zun."

"Apa lo pernah berpikir gimana Anit dulu waktu kehilangan lo dan nanggung semua bebannya sendirian?"

"Gue rela ngelakuin apa aja, Zun. Asalkan Anit bisa balikan sama gue."

"Lo itu cuma bajingan perusak hidup dan masa depan gue. Dan gue bersumpah, sampe kapanpun gue gak bakal sudi balikan sama lo. Sekalipun lo berulang-ulang kali ngemis-ngemis kayak gini. Detik ini juga, gue tolak lamaran lo, Ga!"

Zuna spontan menoleh dan melotot ke arah Anit begitu mendengar ucapan cewek itu. Dia sama sekali gak nyangka Anit bakal berucap kayak gitu.

"Nit!"

Anit menoleh dan beradu pandang dengan Zuna. "Koko udah melamar Anit, Ka. Dan Anit pastikan, Anit menerima lamaran Koko. Dia udah berkorban banyak untuk Anit dan Yessa. Walopun dia bukan ayah biologis Yessa, tapi Anit yakin dia bakal jadi ayah yang lebih baik daripada bajingan keparat yang sekarang ada di hadapan kita ini!"

Astaga! Zuna mengusap wajahnya berkali-kali. Dia sama sekali gak nyangka Anit bakal berucap kayak gini. Sekarang dia bener-bener paham separah apa luka yang udah Angga kasih ke cewek ini.

Zuna mengalihkan pandangannya kembali ke Angga dan menemukan cowok itu menunduk. Bahunya bergerak naik turun.

"Pulanglah, Ga. Lo udah dapet jawaban dari Anit. Gue harap lo bisa nerima dengan lapang dada. Gue menghormati keputusan adek gue ini karna gue yakin ini emang yang terbaik untuk Anit dan Yessa. I'm sorry, Ga. Walopun kita bersodara, tapi masalah begini gue serahkan sepenuhnya ke Anit. Jadi, gue minta lo pulang. Lo tenangin diri lo."

Angga mengangguk pasrah. Dia beringsut bangun tapi tiba-tiba ...

*

NIT!!!"

Anit tertunduk. Tangannya meraba kaos putih yang dipakainya dan menemukan cairan berwarna merah yang menempel di telapak tangannya.

"Ka Zun, darah.", Anit mengulurkan telapak tanganya ke hadapan Zuna. "Darah."

Zuna kalut. Seumur hidupnya dia takut banget lihat darah, dan sekarang harus dapet kenyataan yang bertolak belakang dari ketakutannya.

Buru-buru Zuna melepaskan kaosnya dan membentuk buntalan lalu ditekannya ke perut Anit. Wajahnya mulai terlihat panik dan pucat. "Tahan sambil ditekan ya, Nit. Kita ke rumah sakit sekarang."

Anit mengangguk. Hawa dingin mulai merambat dari setiap pori-pori di kakinya. Sesaat kemudian pandangannya kabur dan gelap. Dia gak sadarkan diri tepat di gendongan Zuna.

*

Zuna langsung menghentikan mobilnya di depan ruang UGD 24jam. Dengan sigap dia menggendong tubuh lemah Anit yang mulai terasa dingin ke atas brankar dan mendorongnya memasuki ruangan itu.

Di belakangnya, Mama Letta turun dari mobil dengan suara isak tangis. Lalu dengan langkah pelan dia menyusul masuk ke dalam ruangan UGD. Dia sama sekali gak nyangka kejadian malam ini bakal setragis ini. Apalagi ini semua ulah Angga.

*

"Bangun, Nit! Aku mohon!" Suara Angga terdengar putus asa. "Maafin aku. Aku rela nerima hukuman apapun, Nit. Asal kamu bangun. Jangan tinggalin aku kayak gini!!"

Anit terpaku. Entah kenapa lututnya lemas dan lidahnya mendadak kelu. Tatapan pandangannya juga terpusat pada satu titik. Nyatakah ini?

Anit bisa melihat dengan jelas dirinya yang terbaring di ranjang rumah sakit dengan sekujur tubuh yang udah gak berdaya. Di sisi kanan ranjang ada Angga duduk dengan kepala menunduk. Bahunya bergerak naik turun. Tangannya menggenggam jemari Anit dengan erat dan tangisnya pecah.

Begitupun di sisi kiri ranjang, ada Koko dan Mama Letta yang terlihat lemas gak berdaya, sampe-sampe harus berdiri dengan dirangkul Zuna. Mereka juga sama-sama berderai air mata.

Tanpa sadar Anit meneteskan air mata. Sekali lagi dia menggelengkan kepalanya. Gak! Ini pasti cuma mimpi. Ini gak nyata.

"Kembalilah, Anit." Tiba-tiba terdengar suara asing, membuat Anit menoleh ke sana sini tapi gak menemukan si pemilik suara. "Belom waktunya kamu meninggalkan mereka, apalagi dengan cara kayak begini."

"Siapa kamu?!" Anit berteriak putus asa. Cuma dirinya seorang yang ada di situ. "Tunjukin diri kamu!"

"Kamu gak perlu tau siapa saya. Yang harus kamu tau dan kamu ingat, Yessa masih sangat-sangat membutuhkan kamu. Apapun yang terjadi, kamu harus kembali ke duniamu!"

"Ta .. tapi gimana caranya?" lirih Anit pilu. Air matanya mengalir deras.

"Dengan memaafkan orang yang udah nyakitin kamu, Nit."

Anit menghela nafas. Dipandanginya wajah Mama Letta, Zuna, dan Angga satu per satu. Walopun berat, mungkin emang ini keputusan yang harus diambilnya.

*

Anit membuka matanya perlahan dan samar-samar dia melihat wajah cemas Mama Letta. Begitupun dengan wajah Zuna. "Anit dimana sekarang, Ma?"

Mama Letta menghela nafas panjang. Sebuah senyuman mengembang di bibirnya. "Di rumah sakit, Nak. Syukur Alhamdulillah kamu udah siuman."

"Ma, Koko kemana? Koko tau kan kalo Anit di sini?"

Mama Letta tersenyum. Diusapnya perlahan puncak kepala putrinya itu. "Koko tau, Sayang. Dia khawatir banget sama kamu pas tau."

"Koko dimana, Ma? Angga ada di sini, Ma?"

"Koko sama Angga lagi ke lantai bawah. Mungkin ada yang mau mereka omongin. Kamu tenang aja, yang penting kamu istirahat biar cepet sembuh."

Anit mengangguk lemah. "Kalo Mama nanti ketemu Angga, tolong bilangin dia ya. Anit udah maafin dia. Tapi Anit gak mau ketemu dia lagi. Tolong sampaikan ya, Ma."

Mama Letta mengangguk. Dia salut dengan Anit. Sesakit apapun karna ulah Angga, tapi dia bisa selapang dada itu memaafkannya. Padahal kalo jadi Anit, Mama Letta sendiri gak yakin bakal bisa memaafkan Angga.

"Mama panggil Dokter Ryan dulu ya Nak."

*

Koko melangkah mendekati Angga. Sebagai cowok, dia sangat memahami gimana rasanya mencintai tanpa dicintai. Tapi dia juga paham, kenapa sampe saat ini Anit menutup hatinya dari Angga.

"Ini, minum dulu." Koko menyodorkan sebotol air mineral. "Tenangin diri lo dulu. Baru abis itu kita bicara sebagai sesama cowok."

Angga menoleh sambil menerima minuman dsri Koko. "Gue minta maaf. Gue khilaf."

Koko menjatuhkan pantatnya di kursi kosong sebelah Angga. Diteguknya kopi hitam yang dibelinya. "Khilaf dan emosi sesaat gak bisa menyelesaikan masalah, Ga."

"Iya. Dan gue sekarang bener-bener nyesel."

"Kalo boleh tau, sebenernya perasaan lo ke Anit tuh gimana? Maaf nih kalo gue nanya privasi kayak gini. Ya bukan gue mau intervensi atau apa, cuma kan lo tau kalo gue udah ngelamar Anit. Jadi apapun masalah Anit dan Yessa itu bakal jadi masalah gue juga."

Angga menghela nafas dengan berat. Jujur, hatinya merasakan sakit begitu mendengar ucapan Koko barusan. "Kalo lo mau laporin masalah ini ke polisi, gue terima. Gue emang salah, Ko."

"Bukan itu pertanyaan gue.", sahut Koko kesal. "Gimana sebenernya perasaan lo ke Anit?"

"Gue masih sayang. Gue cinta. Dan gue nyesel dengan semua perlakuan buruk gue ke dia sampe-sampe dia menderita kayak gini."

"Lo udah ketemu Yessa?"

Angga menggeleng lemah.

"Yessa saat ini ada di sebuah tempat, Ga. Lo gak pernah tau, udah berapa puluh kali Anit nyoba bunuh diri."

Angga menutup mulutnua dengan tangan, berusaha menahan jerit tangis kesakitannya. Separah itukah luka yang harus ditanggung Anit selama ini?

"Jujur, gue sebenernya marah, kesel, dan gak nerima juga lo tiba-tiba dateng lagi di kehidupan Anit. Apalagi di saat Anit mulai bisa menata hidupnya. Mungkin kalo dibandingin antara gue dan Mama Letta ato Zuna, gue adalah orang yang paling gak rela dengan kehadiran lo sekarang. Apalagi gue sempet denger dari Anit, kalo lo ngemis-ngemis minta kesempatan kedua padahal lo udah tau kalo lo gak pantes dapetin kesempatan kedua itu."

"Gue tau gue salah, Ko. Selama ini gue bukan kabur. Awalnya emang gue sengaja pergi buat nenangin diri. Karna saat itu gue bener-bener gak siap dengan tanggungjawab baru gue sebagai ayah dan suami. Apalagi dengan kejadian kayak gitu. Gue gak mau orang lain tau aib itu. Tapi semakin lama gue pergi, gue malah semakin gak tenang. Jadi gue berusaha balik dan nyari keberadaan Anit. Tapi nihil. Sampe akhirnya setelah sekian tahun, gue ketemu Anit di bandara. Makanya semenjak itu gue berusaha yakinin Anit dan minta maaf sama dia. Gue bener-bener pengen nebus kesalahan gue ke dia selama ini."

Koko menghela nafas dengan berat. "Kalo gitu, gue minta lo buat pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan Anit. Ini demi kebaikan dia, Ga."

"Gue gak bisa. Gue bener-bener gak bisa ninggalin dia."

"Bisa ato enggak, lo harus tinggalin dia. Biarkan Anit hidup bahagia. Gue janji sama lo, gue bakal bahagiain Anit dan Yessa."

Angga menoleh, lalu sebuah gelengan kepala menjadi pengganti lisannya.

*