Anit membuka matanya perlahan begitu merasakan sebuah elusan lembut di pipinya. Samar-samar dia melihat sosok seseorang yang sangat dikenalnya. Memandangnya dengan penuh kelembutan kayak biasanya.
"Morning.", sapanya lembut. "Nyenyak tidurnya?"
Anit mengangguk sambil menarik tubuhnya ke kepala ranjang. "Jam berapa sekarang?"
Seseorang itu tersenyum lembut. Tatapannya selalu seteduh embun pagi. "Pesawatku jam setengah dua belas malem. Ke Jakarta."
"Jakarta? Pulang ke Jakarta? Kok dadakan?"
"Enggak dadakan sih. Gue emang kemaren pesen tiket sekalian untuk ke Jakarta. Mau ikut?"
Anit menghela nafas pelan. Jakarta. Ibu kota yang selalu membuatnya rindu. Dia rindu Mama Letta dan Zuna. Dia rindu Yessa. Tapi ...
"Lo gak kangen sama Tante Letta?", tanya Koko seolah membaca isi pikiran Anit. Dan cewek itu cuma bisa mengangguk pasrah. "Gak usah takut. Gue bakal selalu ada di samping lo. Gue tau apa yang lo takutin kalo balik ke Jakarta."
Anit memandangi wajah Koko dalam-dalam. Seulas senyum simpul mengembang mengiasi wajahnya. "Can i?"
Koko mengangguk. "Masih ada waktu kalo emang lo mau ikut ke Jakarta. Nanti biar gue suruh Jenna booking tiket lo juga."
Bukannya mengangguk, Anit malah menggeleng dan itu sukses membuat kerutan di dahi Koko. "Soal yang semalem, Ko. Can I?"
Koko menjulurkan tangannya dan mengelus lembut puncak kepala Anit. Lalu membawa tubuhnya ke pelukannya. "I'll be waiting for it, Nit. Don't worry."
Anit mengangguk. Sekali lagi dia bener-bener bersyukur. Koko selalu bisa menunggu dan menerimanya apa adanya. Tapi kali ini, cowok itu bukan lagi menunggu jawaban dari pertanyaan-pertanyaan Anit, tapi menunggu kesediaan hati Anit untuknya.
"Lo jadi ikut ke Jakarta?"
"Jadi."
"Oke."
*
Koko dan Anit melangkah keluar gedung terminal kedatangan di salah satu bandara tersibuk di Indonesia. Tangan mereka saling bergandengan, sedangkan tangan lainnya menarik trolley mereka masing-masing.
Anit merogoh saku celananya dan melirik jam di layar ponselnya. Ah, masih terlalu gelap untuk disebut pagi. "Kita langsung ke rumah Mama Letta ato ke apartemen lo? Ini baru subuh, Ko."
Koko menghentikan langkahnya yang otomatis juga diikuti Anit. Kepalanya menoleh ke kiri-kanan. Anit bener. Masih terlalu pagi juga sebenernya kalo harus buru-buru ke rumah Tante Letta atopun ke apartemennya.
"Kita solat subuh dulu ya? Baru habis itu terserah kamu mau langsung ke apartemen gue ato ke rumah Tante Letta."
Anit mengangguk. Dan hari ini, untuk pertama kalinya dia kembali.
*
Koko menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah rumah bernuansa minimalis dan menoleh. di sisinya, cewek manis bernama Anit itu masih terlelap. Sepanjang perjalanan tadi dia tidur karna efek kecapekan dan jetlag.
Koko menghela nafas. Anit bener-bener cantik dan polos. Cowok manapun pasti bakal setuju dan bilang kalo pesona Anit bener-bener w-o-w.
Koko menyubit pipinya. Gak! Cukup dia melakukan kesalahan dengan melamarnya. Dia gak mau Anit bakal berubah pikiran. Lagipula, dia emang tulus untuk menjaga dan melindungi Anit dan Yessa.
Koko mengitari mobilnya sebelom membuka pintu depan sisi kiri. Awalnya, dia mau membangunkan Anit, tapi gak jadi. Alhasil Koko menggendongnya ala bride style.
"Eh, Nak Koko!" Terdengar suara khas Mama Letta begitu Koko membuka pintu rumah dan melihat pemandangan romantis antara Koko dan Anit. "Kok gak bilang kalo pulang ke Jakarta? Itu Anit kenapa?"
Koko tersenyum. "Maaf, Tante. Dadakan. Ini Anit kecapekan. Tadi pas landing subuh, kita langsung ke apartemen Koko, Tan. Maaf Koko baru anter Anit pulang sekarang."
Mama Letta mengangguk. "Yaudah, langsung ke kamar Anit aja ya. Kamu kalo mau nginep, kamar tamu juga udah rapi kok."
"Gak usah, Tan. Koko nanti langsung pulang aja. Besok pagi ada rapat penting di kantor."
"Oh yaudah."
Koko meninggalkan Mama Letta yang masih tersenyum memandanginya sambil terus menggendong Anit menuju kamarnya. Kemudian, setelah membaringkan cewek itu di kasur, Koko menyelimutinya dan mengecup pelan keningnya.
Diam-diam Koko merapal doa. Dia bakal mempertaruhkan segalanya untuk melindungi dan menjaga Anit. Apapun yang terjadi. Gak peduli apakah kelak mereka berjodoh ato enggak.
Koko beranjak menuju pintu. Sesaat dipandanginya sosok Anit sekali lagi sebelum menutup pintu. "Sleep tight my princess."
*
그대가 차가워도 나를 또 밀어내도
미운 만큼 울어보고 애써 털어내봐도
마음 한구석엔 가슴 한켠에는
아직도 그댈 그리는 내가 있죠
-----
Angga menghempaskan tubuhnya ke kasur sambil merentangkan tangan dan kakinya membentuk sebuah bintang besar. Perasaannya saat ini persis kayak lagu yang sedang didengarnya.
Dulu, saat bisa dengan mudahnya membuat cewek-cewek yang menyukainya dengan sukarela menanggalkan kain-kain di tubuh mereka demi bisa tidur dan dinikmati Angga, gak pernah sesulit ini melupakan mereka. Meskipun itu berpuluh-puluh kali tiap minggu.
Tapi Anit?
Anit berbeda. Dia gak pernah menawarkan diri dengan sukarela untuk Angga. Bahkan, saat Angga mendekatinya, butuh waktu panjang sebelum akhirnya mereka resmi pacaran. Dan malam itu ... Saat kejadian itu ... Bukan Anit yang menawarkan. Tapi Angga yang memaksa. Dan air mata pertama di malam itu adalah air mata luka di seumur hidupnya!
Huft. Angga menghela nafas dengan berat.
"Anit, tolong jangan siksa aku begini. Aku bisa gila!"
Angga berteriak gak jelas seolah Anit ada di hadapannya. Kedua tangannya menjambak rambutnya sendiri.
"Aku bener-bener nyesel udah nyia-nyia in kamu dan nyakitin kamu!! Kasih aku kesempatan terakhir untuk menebusnya!!!"
Angga mengusap wajahnya berkali-kali sebelom akhirnya dia membanting salah satu bingkai berisi foto Anit.
Angga menyambar kunci mobil dan langsung menekan pedal gas dalam-dalam. Cuma ada satu tempat yang tersirat di otaknya.
Jalanan Jakarta malam ini udah mulai lengang. Gak butuh waktu lama buat Angga akhirnya memarkirkan mobilnya tepat di sebuah bangunan bercat hitam. Cowok itu menarik nafas dalam-dalam dan dihembuskan perlahan.Setelah menetralkan perseneling dan mengunci mobil, Angga berjalan masuk ke bangunan itu.
Angga memencet bel beberapa kali. Sbodo amat sekarang jam berapa. Dia cuma pengen satu hal dan demi itu dia rela melakukan apapun.
*
Anit membuka matanya dengan berat. Tidurnya terusik dengan suara bel berkali-kali. Dia melihat jam dinding. Astaga, jam sepuluh malam! Dan ada orang gak punya otak yang memencet bel secara membabi buta!
Dengan males-malesan Anit beringsut bangun dan menyeret langkahnya ke lantai bawah. Matanya masih setengah terpejam. Dan ...
DEG! Kaki Anit langsung lemas. Matanya nyaris gak berkedip dan merasa de javu. Dia ... Angga berdiri tegap di hadapan Anit, dengan sepasang tangan yang dimasukkan ke saku celana panjang bahannya. Wajahnya yang kebule-bulean semakin terlihat ganteng dengan senyum yang mengembang.
Hati Anit mencelos. Jantungnya berdetak kencang gak beraturan. Untung aja tangannya masih memegang daun pintu.
"Hai, ketemu lagi kita. Aku gak nyangka bakal ketemu kamu lagi. Bener kata orang, kalo udah jodoh gak bakal kemana-mana."
Cih! Apa katanya barusan? Jodoh? Amit-amit jabang bayi. Anit bersumpah gak sudi berjodoh sama makhluk di hadapannya itu.
"LO NGAPAIN DI SINI?!"
Bukannya menjawab, Angga lagi-lagi berlutut di hadapan Anit sambil terus menggenggam kedua tangan Anit. Wajahnya serius dan tegang.
"It's not that I can't live without you. It's just that I don't even want to try. Every night I dream about you. Ever since the day we said goodbye. If I wasn't such a fool. Right now I'd be holding you. There's nothin' that I wouldn't do. Baby if I only knew."
Anit menarik kedua tangannya dan langsung melipatnya di dada. "Lo gila ato gimana sih?!"
"Baby you're the best thing in my life. Let me prove my love is real and make you feel the way I feel."
"Siapa yang dateng Nit?" Terdengar suara Zuna dari balik anak tangga. Anit menoleh berbarengan ke arah asal suara.
Tatapan Zuna langsung melotot begitu melihat pemandangan di depannya. "Angga! Lo ngapain di sini?!"
*