Anit membuka matanya perlahan begitu merasakan sesuatu yang basah dan intens menyentuh dahinya. Awalnya dia pikir itu adalah Bruno, anjing peliharaan kesayangan Mama Letta, tapi ternyata ...
"Selamat pagi, Anit." Terdengar suara lembut Angga, sedangkan wajahnya gak terlalu jelas terlihat karna posisi duduknya membelakangi cahaya. "Gimana tidurmu? Nyenyak?"
Bukannya bangun, Anit malah menarik selimutnya sampe menutupi kepala. Kepalanya masih pusing dan dia masih ngantuk, efek setelah berderai air mata semalem.
Angga memasang senyum mempesonanya. Iseng, cowok keren itu malah menarik turun selimut Anit sampe sebatas bahuny. Kemudian, dia mencium dahi cewek itu untuk lagi. Kali ini dengan lebih lama.
"Bangun yuk. Ini udah pagi loh."
"Angga! Setelah lo bikin huru-hara di hidup gue, sekarang lo bikin huru-hara lagi pagi-pagi begini? Emang bener-bener bajingan lo ya!"
Angga mengulurkan tangannya dan membelai puncak kepala Anit. "Aku tau aku bajingan. Tapi aku gak bakal berhenti jadi bajingan buat kamu sampe kamu maafin aku dan kasih aku kesempatan kedua."
"Woy, ngimpi!!!" Anit memasang wajah datar dan dinginnya. "Udah sana buruan balik ke alam baka. Gue gak mau ketemu lo lagi!"
HAHAHA!!! Angga ketawa dengan sangat keras.
"Kamu pikir aku ini hantu gentayangan apa? Sampe disuruh balik ke alam baka segala!"
"Lo emang hantu gentayangan, karna buat gue lo itu udah mati!"
Senyum di wajah Angga lenyap begitu mendengar ucapan Anit barusan. Walopun agak kaget dan sakit hati, tapi menurutnya itu wajar. Nah sekarang, cewek mana yang gak ngomong kayak gitu setelah semua kehidupannya diacak-acak sama orang kayak dia?
"Nit, gak bisa apa kita damai dan buka lembaran baru? Aku bener-bener udah berubah, Nit. Aku bukan bajingan yang dulu. Aku bener-bener mau memperbaiki semua kesalahan aku ke kamu. Gak bisa apa sekali aja kamu kasih aku kesempatan terakhir buat nebusin semua yang udah aku lakuin ke kamu?"
*
Koko meremas ujung bantal sofanya dengan gemas begitu mendengar curahan hati Anit. Dia sama sekali gak nyangka kalo Angga bakal sejauh itu memohon kesempatan kedua dari Anit.
"Jadi menurut lo, gimana, Ko? Gue harus gimana? Gue masih sakit hati dan gak bisa nerima dia. Jangankan nerima deh, maafin dia aja kayaknya tuh berat banget."
Koko menghela nafas. Dia tau rasanya menjadi Anit. Jangankan Anit, cewek manapun yang mengalami hal yang sama juga pasti tau gimana rasanya.
"Angga udah ketemu Yessa, Nit?"
Anit menggeleng. "Belom. Sampe kapanpun gue gak mau dia ketemu Yessa. Dia gak pantes buat ketemu Yessa, Ko."
"Nit, jauh-jauh hari gue selalu bilang kan sama lo. Cobalah lo berdamai sama masa lalu lo. Berdamai sama diri lo sendiri. Kalo lo udah bisa berdamai sama itu semua, pada akhirnya lo juga bisa berdamai sama Angga. Tapi berdamai juga bukan berarti lo nyerah berjuang. Bukan berarti lo nyerah dengan semua rasa sakit yang selama ini lo pendem sendiri. Berdamai itu cuma sebagai tanda kalo lo udah cukup dewasa dan bijak, buat meninggalkan apapun yang menyakitkan di belakang lo untuk sesuatu yang lebih baik lagi ke depannya."
"Lagian, lo kan gak bisa selamanya juga kayak gini Nit. Lo gak bakal pernah sadar, kalo semakin lama lo benci Angga itu justru bikin semakin lama lo menderita. Lo gak bisa egois juga Nit. Biar gimanapun juga, suatu saat Yessa butuh ayah kandungnya."
Anit menyenderkan kepalanya ke dada bidang Koko. Dia tau, cuma Koko satu-satunya cowok yang paling memahami dirinya. Dan cuma dengannya Anit bisa membagi semua keluh kesahnya tanpa rasa dihakimi.
"Gue gak bisa maksa lo harus maafin Angga ato gimana. Itu hak lo sepenuhnya, Nit. Lo lebih tau apa yang terbaik buat lo sama Yessa kedepannya. Sebagai seorang kakak, gue cuma bisa kasih saran. Dan apapun keputusan lo nantinya, gue harap itu udah lo pikirin baik-baik dan terbaik buat lo."
Anit mengangguk pasrah.
*
"Ma?" Anit menyenderkan kepalanya di bahu Mama Letta yang langsung dibalas dengan belaian lembut di punggung Anit. "Anit mau curhat sekaligus minta saran sama Mama. Boleh?"
Mama Letta mengangguk. "Kapanpun kamu mau curhat, Mama bakal selalu jadi pendengar buat kamu."
"Ini soal Mas Angga, Ma." Anit menundukkan kepalanya. Ada rasa segan yang menjalar di hati Anit. "Sebenernya Anit sama Mas Angga ..."
"Kalian pernah punya masa lalu, iya kan?"
Anit mengangguk pelan. Ada rasa penasaran yang mengusik Anit, gimana mungkin Mama Letta bisa tau soal hubungan mereka padahal dia belum cerita apapun soal Angga. Apa mungkin Koko yang cerita? Ah, gak mungkin!
"Anit, walopun kamu gak terlahir dari rahim Mama, tapi naluri keibuan Mama gak bisa dibohongin. Apalagi Mama melihat langsung reaksi sikap kamu begitu Angga dateng."
Anit mengangguk sedih. "Anit bingung, Ma. Anit harus gimana?"
"Kamu udah curhat sama Koko?"
"Udah, Ma. Dan Koko bilang, Anit harus bisa damai sama masa lalu Anit."
"Anit, dengerin Mama baik-baik." Mama Letta beradu pandang dengan sepasang mata satu-satunya cewek yang udah dianggapnya sebagai anak sendiri. Tatapannya seteduh senja, sangat tersirat betapa Mama Letta menyayangi Anit. "Setiap orang punya salah, entah itu sengaja ato enggak. Setiap orang juga punya masa lalu, entah itu baik atau buruk. Mama, Koko, kamu, bahkan Angga sekalipun."
"Mama emang awalnya sempet bingung, kenapa dulu Tuhan menggerakkan hati Mama untuk menolong dan menerima kamu di keluarga kita. Dan Mama baru tau kenyataan kenapa Tuhan melakukan itu, mungkin karna Tuhan pengen Mama sebagai perantara buat kamu sama Angga sama-sama memperbaiki kesalahan kalian. Mama juga sama kayak kamu, soal marah dan bencinya ke Angga, begitu Mama tau kesalahan apa yang udah dia lakuin ke kamu.Yang harus kamu ingat, Tuhan itu selalu Maha Memaafkan. Jadi, kita juga sebagai manusia biasa, udah sepatutnya memaafkan kesalahan siapapun yang udah melukai kita. Berat, itu pasti. Susah untuk ikhlas, itu juga udah pasti."
Anit mendengarkan setiap kata yang diucapkan Mama Letta dengan baik-baik. Air matanya mulai menetes.
"Setelah itu, kita baru bisa mulai yang namanya berdamai. Artinya gini, Nit. Kita kan udah sama-sama dewasa. Semestinya udah bisa kontrol emosi dengan baik terhadap apapun masalah yang ada. Kalo bisa, gak perlu ditunjukan di depan orang lain. Gak perlu tuh ribut-ribut adu mulut yang gak perlu dan akhirnya bikin orang lain yang melihat jadi tau apa masalah kita. Keep calm aja kalo bahasa sekarang kan?"
"Dan, kamu juga harus ingat, Nit. Setiap orang selalu punya kesempatan yang baru setiap hari, bahkan setiap saat, untuk memperbaiki apapun kesalahan yang udah dia lakuin. Tinggal tergantung orang tersebut mau ato enggak menggunakan kesempatan itu dengan baik. Toh pada dasarnya kesempatan memperbaiki itu ada supaya jadi pribadi yang lebih baik. Keledai aja gak mau jatoh ke lubang yang sama."
"Nah, sekarang karna tokoh utama di masalah kalian itu adalah kalian sendiri, dan Mama lihat ada usaha Angga untuk memperbaiki kesalahannya, ya menurut Mama, kamu juga harus bisa memberikan kesempatan itu untuk Angga. Karna dengan kesempatan itu, kalian jadi sama-sama bisa saling memperbaiki dan melengkapi. Selain itu juga, Mama mohon sama kamu, untuk menyampingkan ego dan amarah kamu. Ada Yessa. Suatu saat dia pasti nanya soal ayah kandungnya. Suatu saat juga dia pasti butuh ayah kandungnya juga. Jangan sampe, di saat itu, malah semuanya terlambat dan kalian, kamu sama Angga, sama-sama menyesal."
"Kamu paham kan, Nit?"
Anit menggangguk pelan.
*
Angga mengerutkan keningnya.
"Oke? Oke apa nih, Nit?"
"Ya oke pokoknya."
"Lah kok gitu? Kamu harus jelasin dong, oke apa?"
"Ya itu permintaan lo. Kesempatan kedua." Anit melipat kedua tangannya di dada. "Tapi dengan syarat!"
Angga membuka dua kancing kemeja putihnya dan menampilkan tulang selangkanya yang kokoh. Walopun terlihat lelah, pesonanya masih tetap bersinar. Apalagi dengan wajah yang mulai tumbuh cambang dan brewoknya. Bener-bener terlihat maskulin sekaligus menggoda.
"Sebegitunya, Nit? Kamu gak percaya kalo aku emang bener-bener udah berubah?"
"Jelas gue gak percaya! Sekali bajingan ya tetep aja bajingan!" Anit melenggang meninggalkan Angga yang mulai terlihat jengkel.
Angga menarik dan menghela nafasnya dengan pelan, sangat kelihatan kalo dia sedang menahan emosinya yang mulai merambat naik.
"Oke, apa syaratnya?"
Anit menghentikan langkahnya dan memandangi sepasang tatapan tajam Angga. "Simpel kok syaratnya."
"Iya, apa syaratnya?"
"Gue gak perlu janji manis soal lo udah berubah ato belom. Lo emang harus bener-bener buktiin kalo emang lo udah berubah dan gak kayak dulu lagi. Dan, apapun sikonnya, gue gak mau semua karyawan di perusahaan tau kalo kita punya hubungan personal. Deal?"
Gak perlu banyak cincong, Angga langsung mengulurkan tangannya sambil memasang senyum sempurna. "Oke, deal!"
Anit menaikan satu alisnya. Dia tau betul, Angga bukan tipikal orang yang bakal menyetujui sesuatu hal kalo gak ada keuntungan yang bisa dia dapat. Jadi, Anit merasa agak aneh kalo Angga bakal segampang itu menyetujui persyaratan darinya.
"Beneran setuju ato ada udang di balik bakwan nih?"
"Ya setuju. Emang kamu maunya gimana? Aku setuju, salah. Nanti aku sanggah, salah juga. Ah, aku emang selalu salah di mata kamu, Nit."
"Lo emang salah sama gue!" Anit berusaha menjaga supaya gak meninggikan nada suaranya.
"Oke, kalo emang lo setuju. Mulai hari ini kita damai dan gue kasih lo kesempatan kedua. Inget, ini berlaku satu kali. Ato lo bakal nyesel seumur hidup." Anit menjabat tangan Angga.
"Ato kamu yang bakal nyesel seumur hidup karna gak dari dulu aja jadi istri aku?" Angga menyahut sambil ketawa, membuat Anit meliriknya sebel.
"Tuh udah gue masakin banyak makanan. Lo yang makan. Gue gak laper. Lagian, Mama Letta lagi pergi ke rumah temennya. Jadi sayang kalo sampe gak kemakan."
Angga menggenggam tangan Anit. "Temenin aku makan ya? Mau kan? Sekali ini aja."
Anit menghela nafas berat. Lagi, dia harus mengalah dari satu-satunya makhluk paling menyebalkan ini.
*