Chereads / Di Antara 2 Cinta / Chapter 9 - 8

Chapter 9 - 8

Angga menghentikan aktifitasnya dari lembar dokumen yang daritadi di-reviewnya begitu melihat Anit dari kaca pemisah antara ruang kerjanya dengan ruang kerja Anit. Cewek itu memasang senyum senangnya berhadapan dengan seseorang. Angga gak tau seseorang itu siapa. Yang jelas dia seorang cowok memakai jas resmi.

Pemandangannya itu bener-bener membuat Angga sakit mata. Dia gak suka orang lain, lebih tepatnya cowok lain, melihat senyum Anit yang kayak begitu. Anit gak pernah tersenyum selepas itu di depannya sekarang.

*

Anit masih belom bisa move on dari kejadian tadi. Bayangin aja, di antara luasnya celah dunia, dia sama sekali gak menyangka bakal ketemu Rein di sini. Di kantornya! Malah ternyata Rein juga bekerja di gedung yang sama dengannya!

Anit dan Rein udah berteman akrab satu sama lain dari semenjak masih kecil. Ibu Rein, Tante Lena, adalah supervisor dari Mama Gita - ibu kandung Anit. Bahkan, mereka - Rein dan Tante Lena, tinggal tepat di sebelah rumah Anit.

Anit selalu ingat kenangan masa kecilnya dengan Rein. Bahkan, Anit masih inget dengan jelas, dia selalu tersipu kalo Tante Lena menyebutnya sebagai calon menantu masa depan. Ya walopun saat itu Anit belum mengerti sepenuhnya arti ucapan Tante Lena, tapi Anit kecil tau kalo dia dan Rein mungkin bakal selalu bersama selamanya.

Sayang, beberapa tahun kemudian keluarga Tante Lena pindah. Entah kemana, dan tanpa kabar.

Bipbip

Anit melirik malas ke intercom yang berbunyi barusan. Dan seenggan itu juga dia melangkah masuk ke ruangan Angga.

"Jadwal saya siang ini apa, Nit?"

"Kosong Pak."

Angga mengangguk-angguk kecil. "Kalo gitu, kamu temani saya makan siang ya."

Anit menggeleng pelan sambil memamerkan senyum barisan gigi putihnya yang tersusun rapi. "Mohon maaf, Pak. Hari ini saya ada janji makan siang sama orang lain."

"Dengan?" selidik Angga.

"Rein. Tadi Rein ajak saya makan siang dan saya udah menyanggupinya."

"Oke." Angga mengulurkan tangan di udara, memberi isyarat agar Anit keluar dari ruangannya.

*

"Lo kenapa waktu itu tiba-tiba pindah sih Rein? Gue kan jadi gak punya temen main lagi." Anit mengaduk orange juice nya dengan gerakan lambat.

"Jangankan lo ya, Nit. Gue ampe sekarang aja gak tau kenapa tiba-tiba nyokap gue pindah sekeluarga. Dan sebenernya, kalo lo jeli, kami tuh pindah cuma bawa baju-baju doang Nit. Semua barang-barang ditinggal gitu aja di rumah. Kan aneh!"

Lah iya! Anit baru inget. Dulu, beberapa hari setelah Rein pindah, Anit sempet beberapa kali mengintip ke rumah Rein. Barang-barang yang ada di rumah itu masih lengkap di tempatnya. Waktu itu Anit cuma berpikir kalo barang-barang itu bakal diambil menyusul di lain waktu.

"Trus waktu itu lo sebenernya pindah kemana?"

"Gak lama abis pindah di rumah baru, bokap tiba-tiba pergi gitu aja dari rumah. Dan abis itu gue sama nyokab jadi selalu pindah-pindah rumah. Gak jelas deh pokoknya. Gue sampe sekarang juga gak ngerti kenapanya, Nit."

Air muka Rein berubah suram. Setiap kali ingatannya kembali soal masa kecil, dia merasa sedih. Ada sebuah tanda tanya besar yang terus bergelayut di isi kepalanya tanpa pernah terjawab satupun. Bahkan ketika Mama meninggal.

Anit menarik tubuh Rein ke dalam pelukannya. Dielusnya perlahan punggungnya. Ternyata, gak cuma dia doang yang punya masa lalu suram. Ternyata Rein juga, walopun masa lalu Rein gak sejahat masa lalunya.

*

Angga memukul stir mobilnya dengan kencang setelah mematikan panggilan dari Zuna. Persetan dengan jadwal rapat dengan Perusahaan Noel. Dia gak peduli. Dia bener-bener kesal dan sakit hati. Apalagi dengan pemandangan gak jauh di depannya.

Damn!

Sebenernya dia tadi merasa gak suka dengan penolakan Anit. Dan semakin merasa jengkel begitu melihat kenyataan bahwa Anit gak cuma sekedar 'makan siang' tapi juga bersikap manja dengan teman makan siangnya.

Angga membuka sabuk pengaman kemudian keluar dari mobil. Kesabarannya bener-bener lenyap.

"Kamu menolak makan siang denganku demi makan siang sama cowok ini?!" Angga meluapkan emosinya sambil mencengkram pergelangan tangan Anit dan mengarahkan jari telunjuknya ke Rein dengan tangan kanannya.

"Apa sebenernya mau kamu, Nit?!"

Anit menghela nafas. Ini semua di luar dugaannya. Matanya mulai sembab. Apalagi, dia bisa mendengar bisik-bisik pengunjung cafe di sekitar posisi mereka. Kenapa Angga bisa tau dia ada di sini sekarang bersama Rein?

"Jawab, Nit!! Bukannya malah nangis!!" Wajah Angga semakin memerah.

Kemudian Angga menoleh. Tatapannya beradu pandang dengan milik Rein. "Dan kau! Asal kau tau, Anit ini milikku! Aku gak suka milikku diganggu oleh siapapun. Apapun alasannya!!"

Angga menarik tangan Anit, membawanya keluar. Tapi cewei itu menolaknya dan tetap bertahan di tempat dengan wajah penuh air mata. Angga menghela nafas, mencoba bersabar menghadapi Anit. Berdiri di hadapannya, Angga menggendongnya kemudian dengan gaya newly wedds.

Angga melirik selintas. Cewek itu menyembunyikan wajahnya di leher Angga, membiarkan Angga mendengarkan isaknya.

Setelah memasangkan seatbelt, Angga langsung tancap gas menuju sebuah tempat.

*

Angga menghentikan mobil di gedung apartemen barunya, lalu menggendong Anit kembali. Cewek itu masih terlelap semenjak di perjalanan tadi. Sebenernya Angga merasa gak tega dan udah bersikap keterlaluan kayak tadi.

Angga membaringkan tubuh Anit ke atas kasur, menyingkirkan beberapa anak rambut yang jatuh menutupi sebagian area di wajahnya. Entah kenapa, Angga selalu menyukai kegiatan ini, memandangi wajah Anit. Apalagi di saat terlelap kayak sekarang.

"Aku dimana?" Anit mengerjapkan matanya perlahan, kemudian menarik dirinya bersender di ke kepala ranjang.

"Di apartemenku, Nit." sahut Angga dingin. "Kamu di apartemenku."

Dahi Anit berkerut, berusaha mencerna kata-kata Angga barusan. Dengan nyawa yang belom sepenuhnya terkumpul, bener-bener susah untuk sekedar mencerna semua kata-kata itu. Ditambah lagi dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang dateng tanpa diundang. Apartemen? Apartemen? Apa yang udah terjadi? Apa yang Angga lakukan?

Begitu kesadarannya pulih, Anit langsung turun dari ranjang dan menyambar tas tangannya di atas meja. Dia gak mau berlama-lama satu atap dengan Angga. Tapi baru beberapa langkah udah terhenti. Angga menarik tubuhnya ke dalam pelukan eratnya.

"Please don't ever go again." bisik Angga pelan. "Maaf sikapku yang keterlaluan. Aku ... Aku cuma gak suka siapapun merebut milikku."

Anit meronta melepaskan diri, tapi nihil. Tenaganya gak seimbang dengan pelukan Angga yang semakin kuat. "Lepasin gue!"

"No, Anit. Sampe kapanpun aku gak bakal lepasin kamu lagi."

"Gue bukan barang yang bisa lo milikin seenaknya, Ga! Lepasin!!"

"Hey, listen." Angga melepaskan pelukannya dan mengganti dengan mengurung tubuh Anit dengan kedua tangannya di bahu cewek itu. "I know I was wrong. I know I'm a jerk. A bastard as you said. But, I'm not wrong for still loving you until this moment. You are mine and i'm yours, Nit."

"Lepasin!! Lepasin gue!!" Anit mulai terisak. Dia takut. Adegan demi adegan masa lalunya terus datang memenuhi isi kepalanya. "Tolong lepasin gue. Gue mau pulang!"

Angga menghela nafas sambil menurunkan kedua tangannya dari Anit, mencoba bersabar menghadapi Anit. "Oke, pulanglah. Tapi dengan satu syarat."

Anit langsung terduduk lemas di lantai. Dia bener-bener gak ngerti isi kepala Angga. Kenapa cowok itu belom puas menyakitinya? Bahkan, dia menyuruhnya pulang dengan syarat! Dasar bajingan!

"Kamu boleh pulang, tapi dengan syarat." Angga mengulang ucapannya. "Sleep with me here tonight."

"You're sick! You are crazy!! Lo bener-bener psikopat!" Anit berteriak histeris.

Angga memasukan kedua tangannya ke saku pantofel celana bahannya, menampilkan kesan cool sekaligus ganteng luar biasa. "Terserah apa kata kamu, Nit. Aku udah kasih kamu pilihan."

"Kamu boleh pulang dengan satu syarat. Atau lo bakal lebih lama di sini. Terserah!"

"Lo kenapa sih? Masih belom puas nyakitin gue? Kalo gitu, lo mending bunuh gue sekalian!"

Angga melangkah mendekat sambil menaikan sudut bibirnya beberapa derajat. Aura dingin langsung menguar begitu aja. Dari awal, bukan dia yang mencari masalah. Tapi Anit.

Bulu kuduk Anit meremang. Ini bukan pertama kalinya melihat Angga begini.

"KAMU ITU MILIK SAYA!" Angga berbisik dengan penuh penekanan di setiap kata-katanya. "DAN SAYA SANGAT TIDAK SUKA APAPUN MILIK SAYA DIUSIK ORANG LAIN. APAPUN ALASANNYA. SO, KARNA KAMU SENDIRI YANG MENCARI MASALAH DENGAN MEMBIARKAN ORANG LAIN MENGUSIK SAYA, MAKA KAMU HARUS BERTANGGUNG JAWAB!"

Belum sempat Anit menyahut, Angga udah menyerangnya dengan ciuman panas. Tangan-tangannya bergerilya dari wajah Anit sampai lehernya, kemudian ... Air mata Anit tumpah begitu mendengar suara robekan dari kemeja dan rok yang dipakainya.

Dan malam itu, menjadi malam paling lama yang harus dilalui Anit.

*

Anit melangkah gontai menuju ke kamarnya. Hatinya bener-bener hancur, sehancur semua yang udah dibangunnya sejak bertahun-tahun lalu.

Dia bodoh! Idiot! Dia membiarkan binatang kayak Angga mencincangnya habis-habisan, meninggalkan rasa penyesalah sekaligus jijik. Harga dirinya sebagai seorang wanita lenyap.

Anit menghentikan langkahnya tepat di depan pintu kamar Mama Letta. Pengen rasanya dia menghambur diri ke pelukannya dan melepaskan semua kesakitan yang dirasakannya. Tapi itu gak mungkin.

Siapalah dia sekarang?

Air mata Anit menetes semakin deras. Rasa sakitnya semakin menjadi. Dan untuk kedua kalinya, otaknya berhenti berpikir jernih kecuali satu hal.

*

Dear Ka Zuna. Saat kaka menerima dan membaca surat ini, itulah saat terakhir kita berkomunikasi. Memang, kita bukan saudara sedarah, tapi semua yg udah Ka Zuna dan Mama Letta kasih untuk Anit dan Yessa adalah yg terbaik untuk kami. Maaf jika Anit dan Yessa selalu menyusahkan Kakak dan Mama Letta.

Ka, dulu waktu pertama kali Kakak peluk Anit, kakaklah yang selalu dgn sabar menyeka air mata Anit dan mengajarkan Anit untuk selalu bisa kuat dan tegar. Anit udah berusaha semampu Anit, Ka. Tapi Anit gak sanggup. Anit gak sanggup, Ka. Terlalu banyak luka yang harus Anit tanggung sendiri tanpa Yessa, dan merekalah yang bikin Anit gak kuat untuk terus berdiri tegar.

Ka, dulu waktu Kakak peluk Anit pertama kali, Kakak selalu bilang jangan menyerah. Jangan membenci siapapun dan apapun yang membuat kita jatuh. Tapi Anit minta maaf, Ka. Anit gak bisa memaafkan dia yg udah bikin Anit hancur.

Sesuatu yg selama bertahun-tahun Anit simpen sendiri, bahkan di saat Kakak dan Mama Letta udah berbaik hati menerima Anit dan Yessa menjadi bagian dari keluarga kalian.

Ka, Anit titip Yessa ya. Tolong jaga dan rawat Yessa seperti Kakak dan Mama Letta jaga dan rawat Anit selama ini. Anit gak tau harus mohon ke siapa lagi selain ke Kakak dan Mama Letta. Anit bener-bener gak sanggup. Sekali lagi, Anit bener-bener minta maaf.

Salam,

Anita

*

Zuna melipat surat dari Anit. Wajahnya berubah suram. Apalagi, di hadapannya Mama Letta masih terisak. Ini surat pertama dan terakhir yang Zuna terima dari seseorang yang udah bertahun-tahun dianggapnya sebagai adik. Dan Zuna tau betul karakter adiknya itu.

"Anit pergi dari rumah, Zun. Mama udah cari kemana-mana, tapi nihil."

Zuna menghela nafas panjang. Ada apa ini sebenernya? Anit tiba-tiba kabur dari rumah Angga juga hari ini mendadak absen dari kantor. Ini kebetulan yang aneh!

"Ma, Mama tenang aja. Zuna janji bakal bawa Anit pulang. Zuna yakin, ada sesuatu yang terjadi sama Anit tapi dia gak berani bilang sama kita. Dan tolong jangan sampe Yessa tau soal ini. Dia masih terlalu kecil." Zuna mengelus pelan punggung Mama Letta.

Zuna mengeluarkan ponsel dari saku celananya dan mengetik cepat sesuatu. Kemudian dia masukan lagi ponselnya kembali.

*

Anit menghela nafas berat. Dia udah berjam-jam menghabiskan waktu di sini, membiarkan pecahan ombak mengenai wajah dan tubuhnya. Sendirian. Air matanya udah mengering dari beberapa menit yang lalu.

Harga dirinya bener-bener hancur. Kalo aja Anit boleh milih, mungkin saat ini dia lebih memilih untuk mati tenggelam daripada terus berdiri mematung di sini.

Lalu tiba-tiba ...

"Percuma kamu bersembunyi, Nit!"

Anit menoleh ke arah asal suara. Beberapa meter dari posisinya, terlihat Zuna dengan tampilan kusut. Wajahnya suram.

"Percuma kamu sembunyi, Nit!" Zuna mengulang ucapannya. Kali ini dengan lebih kencang dan emosi.

Anit berlari kencang menghampiri Zuna dan langsung menubruknya dengan sebuah pelukan dan isak tangis. Dia tau, selain Mama Letta, Zuna adalah sandarannya. "Ka Zuna, Anit ..."

Zuna mengelus lembut punggung Anit. "Cerita sama Kakak, apa yang sebenernya terjadi."

Anit menggeleng. Bukan! Bukan dia gak mau menuruti permintaan Kak Zuna, tapi karna dia gak mampu. Dia gak sanggup!

"Nita, tolong cerita sama Kakak, apa yang sebenernya terjadi. Kalo kamu begini, sama aja kamu bunuh Kakak sama Mama. Kamu tau kan, kita semua khawatir sama kamu. Malah Mama masih di kantor Kakak loh."

Lagi, Anit menggeleng. Sebutir air mata pun lolos dari sudut matanya. "Sorry, Ka. I can't. Please let me go."

Di luar dugaan Anit, Zuna tiba-tiba mengangguk setuju. "Kamu mau bilang selamat tinggal? Ayo kita bertiga mati bareng-bareng, dan meninggalkan Yessa sebatang kara. Kalo itu emang mau kamu."

Zuna tau, Anit gak bakal sebodoh itu meninggalkan Yessa sebatang kara. Tapi Zuna juga gak bisa begitu aja membiarkan Anit bertindak bodoh. Diam-diam Zuna berjanji, bakal memberi pelajaran ke orang yang udah memporak-porandakan hidup Anit kedua kalinya!

*