"Lo yakin, Nit?" Koko menyandarkan punggungnya di pintu kamar. Beberapa meter di hadapannya Anit sibuk mengemasi barang-barangnya. Dari beberapa jam yang lalu, Anit udah di rumahnya. Kayaknya cewek itu sengaja memajukan jam pulang kerjanya lebih cepat.
"Jangan maksain diri, Nit. Gue gak mau lo hancur buat yang kedua kali."
Anit mengancingkan kopernya sambil memasang senyum samarnya. Dia tau, Koko bener-bener mengkhatirkannya dan itu jelas beralasan. Tapi mau gimana lagi? Toh apapun masalahnya kan harus dihadapi dan dia gak bisa selamanya sembunyi di sini. Lagian, percuma juga kan kalo dia sembunyi di sini tapi di kantor malah mau gak mau terus berhadapan dengan Angga.
"Gue gak bisa maksa kalo ini emang udah keputusan lo. Pokoknya, lo harus tau, kapanpun lo butuh gue, gue usahain bakal selalu ada buat lo." Koko menghampiri Anit kemudian mengelus punggung cewek yang selama ini dikasihi dan dianggapnya sebagai adik.
"I know, Ko." Anit memasang senyumnya. Dia bener-bener terharu sekaligus bersyukur dengan kehadiran Koko yang sangat menyayanginya. "Makasih ya dan maaf gue selalu ngerepotin elo."
"Hey, you are my sister. Ngejagain elo adalah kewajiban gue."
Anit menghambur diri ke pelukan Koko. Gak ada cowok lain yang bisa membuatnya senyaman dengan Koko.
"Gue pulang ya, Kok." Anit berbisik lembut di kuping Koko yang kemudian dijawab dengan anggukan.
*
"Ma, Anit pulang!"
Mama Letta yang daritadi sibuk menyirami tanaman-tanaman anggreknya langsung menghentikan aktivitasnya dan merentangkan kedua tangannya, menunggu Anit memeluknya kayak biasa.
Dan bener aja, gak butuh waktu lama buat Anit berada di pelukan Mama Letta. "Anit kangen Mama."
Mama Letta mengangguk sambil mengelus punggung Anit. Semenjak kejadian itu, dia udah berjanji bakal menyayangi Anit kayak anak sendiri. Apapun yang terjadi.
Mama Letta melepaskan pelukannya dan memandangi wajah Anit lekat-lekat. Dia tau, ada sesuatu yang terjadi, tapi dia enggan bertanya. Dia cuma perlu menunggu sampe Anit sendiri yang bercerita.
"Kamu udah makan, Nak? Mama masak sayur tumis kangkung kesukaan kamu. Kebetulan Mama juga belom makan. Gimana kalo kita makan bareng?"
"Iya, Ma. Tapi Anit mandi dan ganti baju dulu ya. Sekalian beberes koper."
"Iya, Nak."
*
Anit masih memandangi sebuah potret usang yang selalu diselipkannya diantara barisan koleksi bukunya. Mata Anit selalu basah setiap memandangi potret itu seiring segala rasa yang menyatu. Dia yang terlukis sempurna di potret itu adalah sang tokoh yang hadir di waktu dan tempat yang salah.
"Yesaa itu anakku kan, Nit?"
Tiba-tiba terdengar suara khas Angga membuyarkan lamunan Anit. Entah sejak kapan cowok menyebalkan itu berdiri di balik punggungnya dan berbagi pandangan dengan potret yang dipegang Anit.
"Dia darah daging aku kan, Nit?"
Anit menghela nafas dengan berat. Sebuah anggukan kepala perlahan menjadi jawaban atas pertanyaan Angga barusan.
"Dimana dia sekarang? Aku pengin ketemu, Nit. Aku pengen minta maaf. Aku pengen peluk dia, Nit. Tolong, Nit, kasih aku kesempatan untuk ketemu dia."
Air mata Anit menetes. Tangisnya pun perlahan pecah. Hatinya jauh lebih sakit dari sebelumnya.
"Nit, tolong." Angga tiba-tiba bertekuk lutut di hadapan Anit dan menggenggam kedua tangan Anit. "Tolong cerita sama aku, kondisi yang sebenernya. Tolong kasih tau aku cerita yang sebenernya."
Anit menghela nafas dengan berat. Kalo boleh jujur, sebenernya Anit pengen mengubur masa lalunya dalam-dalam. Kalo perlu dikubur bersama jasadnya. Anit bener-bener gak kuat dan gak siap kalo harus mengulang kisah masa lalunya.
*
"Dulu lo yang milih pergi gitu aja, ninggalin gue dengan kondisi paling parah di hidup gue. Lo ngeraguin janin yang ada di perut gue. Dan gara-gara lo, nyokap gue meninggal. Bokap gue ngusir gue karna malu dan bokap gak mau ngakuin gue sebagai anaknya lagi."
Angga terduduk lemas. Dia bener-bener gak menyangka, Anit bakal semenderita itu dan semua penderitaan itu ditanggung sendiri sama itu cewek.
"Gue benci banget sama lo. Gue sampe pernah bersumpah gak mau lagi ketemu lo di hidup gue. Karna sampe kapanpun, semua kehancuran dan kesakitan yang lo kasih buat gue itu semua gak bakal gue maafin."
Angga langsung menarik tubuh Anit ke dalam pelukannya.
"Segala cara udah gue lakuin buat ngegugurin, tapi takdir Tuhan berkata lain. Dia terus melekat di rahim gue sampe akhirnya gue harus berjuang sendiri di batas ambang hidup dan mati."
"Saat itu, udah hampir tengah malem dan gue bener-bener udah gak kuat. Gue ngemis minta tolong di sebuah klinik 24 jam, dan satu-satunya dokter jaga yang ada di klinik itu cuma Mama Letta."
Angga menutup mulutnya. Bahunya terguncang seiring tangisnya yang pecah. Segala kemarahan dan umpatan dia sematkan ke dirinya sendiri. Gimana mungkin, dia udah sejahat itu ke Anit sedangkan cewek itu memperjuangkan hidup dan matinya demi darah daging yang gak diakuinya?!
"Beberapa hari kemudian, Mama Letta mengajak kami yang hina ini tinggal bersamanya. Mama Letta memberikan semua kasih sayangnya sebagai seorang ibu untuk gue dan Yessa di saat gak ada seorang pun yang sudi menerima kami. Mama Letta kasih kehidupan baru buat kami. Malah, Mama Letta kasih segala yang terbaik untuk Yessa yang selama ini gak bisa gue kasih. Makanya, semenjak kejadian itu, gue berutang budi sama Mama Letta."
"Maafin aku, Anit." Tangis Angga sempurna pecah. "Maafin aku!"
Tangis Anit mulai mereda, menyisakan isak-isak kecil. "Seberapa banyakpun lo minta maaf, itu gak bakal bisa ngembaliin apapun yang udah lo ancurin. Dan semua yang udah terlanjur hancur, gak bakal pernah bisa lo perbaiki dengan cara apapun."
Angga menggeleng. "Semua pasti bisa diperbaiki, Nit. Aku yakin."
"Percuma, Ga. Lo mau berusaha kayak apapun buat memperbaiki, semuanya udah terlambat! Gue terlanjur sakit hati sama lo dan selamanya gue gak akan pernah percaya sama lo!"
"Nit, aku emang salah sama kamu. Tapi tolong kasih aku kesempatan buat memperbaikinya. Tolong kasih aku kesempatan kedua untuk peluk cium Yessa. Aku yakin, Tuhan menakdirkan kita buat ketemu lagi supaya aku bisa menebus kesalahan aku ke kamu dan aku bisa memperbaiki kesalahan aku ke kamu. Aku mohon, Nit."
Anit menggeleng. "Udah malem, gue capek. Tolong tinggalin gue sendirian."
Angga mengangguk pasrah dan meninggalkan Anit.
*
Angga menghisap rokoknya kuat-kuat sambil terus memandangi sosok Anit yang terlelap dari balik jendela kaca besar. Batinnya bergejolak setelah mengetahui kisah pilu yang selama ini udah dilewatinya begitu aja.
Tapi, di sisi lain juga dia bahagia. Dia adalah seorang ayah! Seorang ayah dari seorang anak yang gak pernah dilihatnya. Seorang ayah dari seorang anak yang dulu gak pernah diakui kehadirannya.
Tekad Angga bulat. Dia bakal melakukan apapun demi Anit dan Yessa. Dia bakal melakukan apapun demi kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahannya di masa lalu. Apapun itu. Sekalipun dia harus menghadapi seribu penolakan dari Anit dan seribu purnama agar Anit sudi membuka pintu hatinya lagi untuknya.
*
Tanpa sadar, Mama Letta memperhatikan kedua anak manusia itu dari kejauhan. Sebagai seorang wanita dewasa, dia juga merasa marah luar biasa dengan kenyataan yang barusan di dengarnya. Dia sama sekali gak nyangka, kalo ternyata justru sang keponakanlah dalang di balik semua penderitaan Anit.
Tapi kemudian, dia mulai merasa tenang. Angga udah berubah dan mau memperbaiki kesalahannya. Bahkan sampe memohon-mohon kesempatan kedua ke Anit. Padahal Mama Letta tau betul, jangankan meminta-minta kesempatan kedua, meminta maaf aja hampir gak pernah dilakukan Angga!
Semoga aja Angga bener-bener bakal menepati ucapannya. Karna kalo sampe enggak, entah gimana nasib Anit. Cewek itu udah terlalu menderita karna keponakannya sendiri!
*