"Aku hamil, Mas." Terdengar suara lirih dan bergetar dari seorang cewek muda. Di tangan kanannya masih tergenggam sebuah stik dengan dua garis berwarna pink. "Kamu harus tanggung jawab, Mas!"
Hening. Di hadapannya, seorang cowok dengan penampilan rapi dan wajah ganteng kebule-bulean terlihat agak panik dengan bibir yang terkunci rapat-rapat.
"Kamu mau kan tanggung jawab?" Seorang cewek muda itu dengan wajah berderai air mata, menggenggam erat lengan sang cowok. Bukan untuk memaksa, tapi untuk memastikan. "Janin ini butuh kamu. Ini darah daging kamu."
Sang cowok menepis tangannya dengan kasar dan beranjak meninggalkannya. Tanpa peduli. Tanpa belas kasihan.
"Mas!! Jangan tinggalin aku, Mas!!" Cewek muda itu terus berteriak, berharap cowok itu kembali. Tapi sia-sia. Dan dia terlalu lemah untuk mengejarnya.
*
Seorang cewek melangkahkan kakinya dengan pelan, menyusuri koridor sebuah klinik. Siap gak siap, inilah keputusannya. Dia gak mungkin membiarkan kehamilannya terus berkembang dan mencoreng arang di wajah sepasang orang tua yang udah memberinya kasih sayang semenjak dirinya diadopsi.
Tangannya gemetar membuka knop pintu sebuah ruangan serba putih dengan peralatan medis cukup lengkap. Keringat dingin mulai membanjiri keningnya. "Selamat siang, Dokter Rika."
Dokter Rika, adalah dokter keluarga Handoyo. Walopun sempat ragu, dia yakin dokter Rika bisa membantunya dan menyembunyikan masalah fatal ini dari keluarganya.
"Silakan masuk, Nit. Kamu udah siap?"
*
Koko melirik ke arah jarum jam yang tergantung di dinding ruang makan dan ke arah pintu kamar Anit secara bergantian. Semenjak datang tadi, Anit langsung mengunci dirinya di kamar.
Koko mengambil koran terbitan hari ini, membaca untuk beberapa saat sebelom akhirnya sebuah suara jeritan membuatnya kaget setengah mati dan berdiri dengan kondisi panik.
"Nit! Anit! Lo kenapa?" Koko panik sambil mengetuk pintu kamar Anit. Gak ada jawaban dari dalam, panik Koko semakin menjadi. "Anit! Lo kenapa?!!"
Koko membuka pintu kamar perlahan dan menemukan Anit dengan kondisi kayak mayat hidup. Muka pucat dan rambut acak-acakan.
Koko langsung menghambur diri memeluk Anit. "Pasti ada sesuatu yang bikin lo sampe kayak gini. Cerita sama gue, lo kenapa?"
Gak pake aba-aba, tangis Anit langsung pecah. Dia bener-bener beruntung memiliki Koko. Satu-satunya orang yang tetap menemaninya semenjak kejadian itu, selain Mama Letta tentunya.
Anit menyandarkan kepalanya ke tubuh Koko, membiarkan cowok itu memeluknya lebih erat lagi.
"Dia kembali, Ko." Anit mulai bersuara dengan sangat lemah. "Dia kembali setelah sekian lama pergi gitu aja ninggalin gue. Lo tau kan gimana rasanya?"
Koko memeluk Anit lebih erat lagi, merasakan guncangan dalam jiwa Anit kembali datang. Walaupun gak sebesar guncangan pertama bertahun-tahun lalu, tapi Koko yakin rasanya gak bakal jauh beda dari yang pertama dulu. "Tau. Trus? Kalo boleh tau, Emang awalnya gimana, kok lo bisa ketemu dia?"
"Tadi pagi Mama Letta nyuruh gue jemput orang di Bandara. Gue pikir kan temennya ato sodara Mama Letta. Gak taunya dia dong, Ko." Tangis Anit pecah lagi. "Sakit banget, Ko. Rasanya gue pengen bales ke dia, biar dia tau."
"Mama Letta tau soal Angga?"
"Enggak, Kok."
Koko mengelus rambut Anit. Dia menyayangi Anit selayaknya kakak yang sayang ke adiknya. "Hey, don't cry. Semua yang udah terjadi biarin terjadi. Tinggalin semua rasa sakit lo di belakang sana. Lo harus bisa bangkit dan damai sama diri lo sendiri."
Anit semakin menenggelamkan kepalanya ke dada bidang Koko, berusaha mengenyahkan rasa sakitnya kayak yang dibilang Koko barusan.
"Gue telepon Tante Letta ya? Gue kabarin kalo lo malem ini nginep di sini dulu sampe lo agak tenang."
Anit mengangguk lemah. Ucapan Koko barusan ada benernya juga. Toh gak mungkin dia pulang dalam keadaan kacau balau begini.
Koko melepaskan pelukannya, menuntun Anit kembali ke tempat tidurnya.
"Hari ini lo istirahat aja di sini. Lo mau tidur kayak beruang hibernasi juga gak apa-apa. Pokoknya lo harus bener-bener istirahat. Gak usah pikirin apapun dan siapapun. Lo harus tenangin diri lo sendiri. Oke?"
Anit mengangguk pasrah. Gak banyak bantah, Anit langsung melepaskan sendal tidurnya, kemudian merebahkan tubuhnya ke kasur empuk, memiringkan tubuhnya dan kembali memandangi Koko.
"Ko? Apa gue keliatan bahaya?"
"Lo tau zombie kan?" Bukannya menjawab, Koko malah menyahut dengan pertanyaan baru. "Menurut lo, zombie tuh gimana?"
"Kokoooo!!!"
Koko meninggalkan kamar Anit sambil tertawa keras-keras.
*
Angga memasuki kamarnya dengan perasaan gak karuan. Apalagi tadi Tante Letta sempat menanyakan keberadaan Anit. Rasa bersalahnya pun meningkat berkali-kali lipat.
Angga juga sama sekali gak nyangka, kalo Anit yang Tante Letta maksud adalah Anit dari masa lalunya. Bahkan, dia sama sekali gak curiga saat Tante Letta menyebut nama cewek itu untuk pertama kalinya.
Tapi untunglah Tante Letta belom tau soal kejadian mereka di masa lalu. Hal itu sedikit membuat Angga merasa tenang, walopun dia tau kebenaran pasti terungkap cepat ato lambat. Sekalipun dirinya mengunci rapat-rapat masalah itu.
*