"Nita!! Anita!!! Tunggu !!!"
Angga berteriak sekeras mungkin, berusaha menghentikan seseorang cewek dengan rambut sebahu dan perut membuncit khas hamil tua. Dia bener-bener bersyukur akhirnya dia menemukan seseorang yang selama ini dicarinya.
"Lepasin!! Jangan ganggu kami!" Sang cewek muda itu menghentikan langkah dan memandangi sepasang manik mata Angga dengan tajam. "Kamu gak berhak atas anak ini, Mas! Kamu sendiri yang milih pergi dan lepas tanggung jawab!! Biar aku yang rawat anak ini, Mas!! Dan tolong jangan ganggu kami lagi!!!"
"Nita! Anita!!!"
"Anak ini bukan lagi jadi darah daging kamu semenjak kamu menolak untuk tanggungjawab! Anak ini gak butuh kamu sebagai ayah biologisnya!!"
Angga berusaha menarik tubuh cewek muda itu ke dalam pelukannya. "Nita, please ... Kasih aku kesempatan buat memperbaiki semuanya. Aku mohon."
"Terlambat! Kamu terlambat! Sekarang gak ada lagi yang perlu diperbaiki. Dan sekarang juga waktunya aku yang pergi!"
Angga menggeleng. "No! Jangan pergi!!"
*
"Nita!! Anita!!!"
Tante Letta buru-buru masuk ke kamar tamu begitu mendengar teriakan Angga yang memecah kesunyian malam.
"Nita!! Anita!!! Jangan pergi!!!"
"Ngga! Angga!! Bangun!!" Tante Letta menepuk-nepuk pipi Angga. "Kamu kenapa?"
Mendengar suara Tante Letta, Angga tersadar. Matanya terbuka perlahan dan menemukan Tante Letta di hadapannya dengan wajah cemas.
"Kamu kenapa, Ga? Mimpi buruk?"
Angga menggeleng dan mengusap wajahnya dengan gusar. Dia bermimpi dengan sangat nyata, dan itu udah terjadi untuk yang kesekian kalinya.
"Yaudah, kamu mendingan ambil wudhu trus solat tahajud. Minta sama Allah supaya diberi ketenangan."
"Iya, Tan."
Tante Letta memasang senyum terbaiknya kemudian beranjak meninggalkan kamar Angga, membiaskan sang penghuni kamar menenangkan diri dan melakukan apa yang baru aja disarankan.
*
Angga mematikan puntung rokok yang baru aja dihisapnya. Otaknya bener-bener kalut. Smakin hari semakin dia merasa bersalah ke Anit. Selama itupula rasa bersalah terus menghantuinya dan membunuhnya perlahan.
Segala cara udah Angga lakukan untuk menemukan Anit, tapi di saat udah bertemu malah cewek itu yang kini terus menghindarinya seakan dirinya adalah bajingan pembawa sial.
Ya, penyesalan emang selalu datang terlambat. Tapi gak cukup terlambat bagi Angga untuk menebus kesalahannya. Kali ini, dia rela melakukan apapun agar Anit sudi menerimanya.
"Tunggu aku, Nit. Aku pastiin, aku bukan lagi bajingan yang sama."
*
Angga berusaha keras untuk bisa memejamkan matanya lagi, tapi nihil. Bukannya lelap, justru dia merasa kantuk malah pamit undur diri. Menyadari usahanya untuk bisa tidur kembali sia-sia, Angga perlahan keluar kamar dan memandangi daun pintu kamar Anit yang tertutup rapat tanpa penghuni.
Angga membuka perlahan kamar Anit kemudian menyalakan saklar lampu yang menempel di dinding, melanjutkan pemandangannya dengan mengamati setiap detail kamar cewek yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya walopun masih ada tanda tanya besar yang memenuhi isi kepalanya tentang gimana Tante Letta dan Anit bisa saling kenal dan berhubungan kayak ibu-anak.
Lalu sesuatu tiba-tiba menarik perhatiannya. Tatapannya tertuju ke arah sebuah foto yang terselip diantara barisan buku. Dan tatapannya langsung berubah nanar seketika.
*
Anit melepaskan blazer kerjanya dan menyampirkannya ke senderan kursi kerjanya. Entah kenapa daritadi dia merasa khawatir mengingat keberadaan Angga yang masih berada di sekitarnya. Apalagi cowok itu sekarang menginap di rumah Mama Letta. Bukan gak mungkin kalo cowok itu bakal menemuinya di sini sewaktu-waktu.
"Selamat pagi, Anit." Terdengar suara cowok yang gak asing di telinga Anit, dan langsung membuat bulu kuduknya berdiri. "Aku gak tau harus menyebut ini sebuah kebetulan ato berkah ato apa, tapi aku seneng loh kita ketemu lagi. Di sini pula."
Anit menghela nafas. Nah bener kan tuh? Dipandanginya sosok Angga dalam-dalam. Mood paginya bener-bener hancur berantakan. Aaaaaaaaaaaaaaaarrrrggghhhh!!! Dari semua tempat yang ada di bumi, kenapa sih dia harus ketemu Angga di rumah dan di kantor?!
Angga memasang senyum terbaiknya sambil membungkukkan badan sehinigga tingginya sejajar dengan posisi Anit saat ini. "Kenapa diem aja? Terpesona ya sama aku?"
Damn! Tangan Anit terkepal. Cowok ini bener-bener harus diberi pelajaran biar gak bertingkah seenaknya. Emangnya dia piker dia itu siapa? Putra mahkota?! Halah! Dia cuma seorang bajingan yang sukanya memporakporandakan hati wanita!
"Kamu kerja di sini toh. Wah bener-bener gak nyangka loh aku."
"Menurut lo, apa yang dilakukan sama orang waras di tempat kayak gini?" Anit gak bisa menahan dirinya untuk gak bicara jutek. Level kesal dan emosinya bener-bener udah di ubun-ubun kepala. Ditambah lagi instingnya bilang kalo saat ini dirinya menjadi tontonan karna scene-nya ini. "Gue heran sama lo. Lo gak bisa gitu ya gentayangan ke tempat lain? Hobi banget gentayangan di sekitar gue."
"Well, nanti siang kita lunch bareng ya. Tapi jangan ke tempat junk food. Gak sehat!" sahut Angga sambil menegakan postur tubuhnya dan tersenyum. "Inget loh aku gak nerima penolakan. Jadi mau gak mau, kamu harus nerima ajakan makan siang aku ini."
"Gak bisa! Gue ada rapat dan banyak kerjaan. Jadi gak ada waktu buat makan siang bareng lo!" Anit melanjutkan kegiatannya yang tadi terhenti karna sebentar lagi akan dibawanya ke ruangan Zuna, CEO terkeren sekaligus kakak terbaiknya.
"Kamu tau kan aku gak terima penolakan. Kenapa kamu menolakku?!" Angga meninggikan nada suaranya, membuat semua orang yang berada di sekitar mereka langsung menghentikan aktifikas mereka dan memandangi mereka. Angga dan Anit.
Anit menghela nafas, mencoba bersabar dengan tingkah Angga barusan. "Lo buta ya? Gue kan tadi udah bilang kalo gue lagi sibuk. Dan gue berhak untuk nentuin sendiri gue mau makan siang sama siapa. Jadi, daripada kita juga debat gak karuan dan jadi tontonan satu kantor, mendingan lo balik ke alam baka trus jangan balik lagi ke sini. Gue muak lihat lo!"
Sekali lagi Angga memasang senyum terbaiknya sambil membungkukkan badan sehinigga tingginya sejajar dengan posisi Anit saat ini, dan berbisik pelan tapi menusuk. "Sebegitu bencinya kamu sama aku? Membencilah sewajarnya sebelom kamu mencintai aku lebih dari kewajaran. Karna aku mencintaimu."
Anit mengalihkan tatapannya ke sepasang mata Angga. Sepasang mata yang dulu pernah dicintainya. "Salah. Lo salah. Sampe kapanpun gue gak bakal pernah lagi jatuh cinta sama cowok brengsek kayak lo. Anyway, terima kasih loh udah bikin gue sakit hati."
Angga gak peduli. Dia mendekatkan kepalanya perlahan ke wajah Anit dan ...
Mata Anit spontan terpejam begitu merasakan bibir Angga mendarat di bibirnya dan melumat bibirnya dengan lembut. Anit tau, seharusnya dia menolak. Seharusnya dia menghindar. Tapi kali ini dia gak mengerti. Dia biarkan Angga menciumnya di tengah tontonan temen-temen kerjanya, bahkan sampe setelah cowok itu melepaskan ciumannya!
"Anit!" Terdengar suara Zuna memecah keheningan. "Angga! Apa yang kalian lakuin?! Astaga!"
Anit langsung menutup mulutnya dengan tangan dan bergegas meninggalkan ruangan. Wajahnya memerah. Seumur hidupnya baru sekali ini dia beradegan seintim itu di muka umum, dengan cowok yang notabene adalah mantannya. Dan anehnya, meskipun udah bermenit-menit yang lalu, tapi jantung Anit masih deg-degan.
Oh damn!
*
"Rapat hari ini saya juga menguncang Bapak Angga Pratama sebagai bagian dari perusahaan Gold Enterprise, yang mana dalam waktu dekat ini beliau menjadi Direktur Operasional dan SDM, menggantikan Bapak Suhendar." Zuna membuka rapatnya dengan satu info luar biasa, membuat seluruh peserta rapat mengangguk-anggukan kepala dan bertepuk tangan seiring dengan sosok Angga yang berdiri dari kursinya dengan senyum menawan andalannya. Kecuali Anit.
Apa?! Anit gak salah denger kan? Anit menghentikan kegiatannya dan mengerjapkan matanya berkali-kali ke arah Zuna. Dia bener-bener gak menyangka Zuna bakal mengucapkan kalimat barusan. Dan itu artinya, Anit bakal semakin sulit menghindari cowok menyebalkan itu.
"Dan oleh karena itu, saya menunjuk langsung sekretaris saya, Ibu Anita, untuk kemudian menjadi sekretaris Bapak Angga. Selanjutnya, posisi jabatan Ibu Anita akan digantikan oleh Ibu Arletta."
DUEEER!!! Lengkap udah kejutan gak terduga dari Zuna yang akhirnya sukses membuat jantung Anit berdegup marathon.
*
Berkali-kali Angga melirik Anit. Sekretaris barunya itu tertangkap selalu menghela nafas dengan gelisah. Sangat terlihat kalo cewek itu dalam kondisi yang gak membuatnya nyaman. Untunglah rapat hari ini berakhir dengan cepat, tapi sayangnya secepat itu juga Anit menghilang dari pengelihatan Angga begitu rapat selesai.
Angga berusaha mengejar langkah Anit. "Are you okay? Dari tadi aku perhatiin, kamu gelisah. Ada masalah apa?"
Anit menggeleng dan bersiap meninggalkan Angga, tapi langkahnya tertahan. Angga menggenggam jemarinya erat-erat. Wajahnya serius menuntut jawaban atas pertanyaannya barusan, membuat Anit menghela nafas. "Can you leave me alone for a while?"
Angga mengangguk dan membiarkan Anit membawa langkahnya menjauh.
*
Angga memarkirkan mobil Anit di pelataran parkir sebuah restoran cepat saji asal Amerika berlogo huruf "M". Setelah selesai urusan serah terima jabatan, Anit berulang kali mengatakan kalo dirinya laper. Gak heran sih. Apalagi ini udah melewati waktunya makan siang. Setelah menetralkan perseneling, mereka bergegas memasuki gedung restoran itu.
"Mau pesan apa, Nit?" Angga masih terfokus dengan deretan menu rekomendasi yang terpasang di dinding sebelah atas tepat di belakang meja kasir, sedangkan yang ditanya udah berdiri sigap di depan layar sentuh berisi detail menu yang siap dipesan. Jari telunjuk Anit sigap men-tap layar pada menu yang dipesannya. Dia gak perlu bertanya ato minta pendapat ke Angga, karna dia udah hafal selera lidah cowok itu. Dan selesai!
"Nih tinggal bayar.", sahut Anit sambil menyerahkan hasil cetak menu yang tadi dipesannya. "Gue nyari meja kosong dulu. Lo mau indoor ato smooking area?"
"Indoor aja."
"Oke."
Anit melangkahkan kakinya ke beberapa sisi restoran. Hampir semua meja terisi penuh. Hanya tersisa dua meja di sisi luar resto yang itu berarti meja itu berada di area merokok. Huft. Padahal tadi Angga kan kepengennya di indoor ya. Eh? Apa? Indoor?! Astaga! Anit baru sadar. Dulu bukannya Angga itu perokok berat ya, yang kalo setiap makan di luar dengannya pasti selalu di meja yang berada di smooking area. Apa jangan-jangan cowok itu udah berhenti merokok ya? Anit langsung mempercepat langkahnya begitu menemukan dua buah meja kosong untuk 4 orang yang berada di pojok ruangan. Ya lumayanlah. Daripada harus ke luar.
"Ini pesenan kamu." Angga berusaha ramah sambil menyerahkan paper tray berisi satu porsi paket hemat lengkap dengan scramble egg kesukaan Anit sebelom akhirnya dia duduk di kursi kosong tepat di hadapan Anit. "Kirain aku kamu udah lupa sama selera aku, Nit."
"Makasih", sahut Anit singkat. Dia bener-bener males harus memperpanjang waktu dengan cowok super menyebalkan yang satu ini.
"Nit, ada yang mau aku omongin sama kamu."
"Tadi kan lo udah sepakat ini cuma sekedar makan siang! Lagian, di antara kita udah gak ada yang perlu diomongin lagi. Semuanya udah selesai."
"Gak bisa, Nit. Aku terus kepikiran sama yang mau aku omongin sama kamu ini."
Anit menghela nafas. "Oke. Let's talk."
"Janin yang dulu kamu kandung, apa kamu lahirkan dan kamu titip ke seseorang? Sekarang dia ada dimana?"
Seketika wajah Anit terasa panas. Matanya mulai basah. Dia benci kondisi saat ini. Dia benci Angga. Dia benci dengan hal-hal yang mengingatkannya dengan masa lalu. "Bukan urusan lo!"
"Itu bener anak aku kan, Nit?"
Hening. Anit mengunci mulutnya rapat-rapat. Kristal bening mulai mengalir perlahan di kedua pipinya. Rasanya dia bener-bener pengen kabur dari hadapan Angga saat ini.
"Nit, kok diem? Jawab dong. Itu bener anak aku? Dia ada dimana sekarang?"
Anit mengalihkan pandangannya lalu dipandanginya sepasang manik mata Angga dalam-dalam. Hancur udah benteng pertahanan yang selama ini dibangunnya dengan susah payah. "Apa sebenernya mau lo? Lo masih belom puas liat gue menderita?"
Angga menggeleng. Angga terpaksa harus berdiri dan meraih tubuh Anit ke dalam pelukannya. Dia ingin Anit bisa membagi semua luka yang selama ini ditanggungnya sendirian. Toh biar gimanapun juga, ini semua adalah salahnya. "Maafin aku, Nit. Aku emang udah bodoh banget nyia-nyiain kamu dan calon anak kita. Maafin aku, Nit."
Anit menarik diri dari pelukan Angga. Tangisnya mulai mereda. "Kalo emang lo ngerasa bersalah sama gue, please jangan ganggu hidup gue lagi. Jalan kita dari awal udah beda. Jadi, biar aja kita menjalani jalan kita masing-masing. Begitupun kalo di kantor. Gue harap lo bisa professional dengan memisahkan apapun masalah personal di antara kita dengan masalah pekerjaan. Gue harap juga apapun masalah yang ada di antara kita secara pribadi, cukup kita aja yang tau."
Angga mengangguk pasrah.
"Dan karena kesepakatan kita hari ini cuma makan siang, jadi mari kita lupain semua urusan terkait pribadi kita. Sebagai seorang sekretaris, gue anggap makan siang hari ini sebagai bentuk profesionalitas kerja untuk membangun hubungan kerja."
Sekali lagi Angga mengangguk pasrah.
*
Anit memandangi piring makannya dengan ekspresi datar. Selera makannya lenyap dari tadi siang, ditambah dengan kehadiran sosok Angga tepat di hadapannya. Sedangkan Angga? Gak usah ditanya deh. Itu cowok tetep menikmati makan malamnya dengan tenang. Aaaaaaaaaarrrggghhhh!
"Kok cuma dilihatin makanannya, Nit." Suara Mama Letta membuayrkan lamunan Anit. "Kamu sakit?"
Anit menggeleng. Dipaksakannya seulas senyuman. "Enggak kok, Ma. Anit gak sakit. Cuma kecapekan."
"Tadi di kantor emang banyak kerjaan? Tadi siang Angga telepon Mama, katanya kamu hari ini jadi sekretarisnya Angga. Bener itu?"
Anit mengangguk tanpa minat. "Iya, Ma."
Anehnya, begitu mendengar ucapan Anit barusan, wajah Mama Letta dan Angga langsung terlihat sumringah. Senyum sempurna mengembang menghiasi wajah mereka. "Wah, Mama gak nyangka loh. Ternyata Zuna pinter juga ya buat bikin kalian lebih cepat deketnya. Mama rasa itu bagus buat kalian sih. Karna Mama dan mamanya Angga berencana buat ngejodohin kalian. Biar Yessa bisa cepet punya papa baru."
Hah? What? Anit mengerjapkan matanya berkali-kali. Bener-bener gak nyangka. Ya Tuhan, mimpi apa dia semalem?
"Ma, Anit minta maaf sebelomnya. Tapi saat ini Anit belom berencana untuk menikah. Apalagi dalam waktu dekat.", sahut Anit sambil memandangi wajah Angga dengan tatapan tajam, sebelom akhirnya mengalihkan pandangannya ke Mama Letta. "Anit masih mau fokus ke karir Anit dulu, Ma."
"Haduh, gimana dong ini Nak Angga?" Mama Letta malah melempar topik ucapan Anit ke Angga. "Tante harus bilang apa nanti ke mama kamu?"
Angga tertawa renyah. Tatapan matanya gak lepas dari wajah Anit meskipun cewek itu malah balas menatapnya dengan tatapan tajam. "Tante tenang aja. Angga bakal bikin Anit jatuh cinta sama Angga. Karna Anit udah bikin Angga jatuh cinta dari pandangan pertama, Tante."
"Mohon maaf, ini ruang makan. Bukan ruang buat obral gombalan.", sahut Anit ketus. Iyalah! Siapa juga yang sudi jatuh cinta lagi sama si brengseng cap KW ini?
"Loh, Anit, gak boleh ngomong gitu ke Angga. Omongan Nak Angga ada benernya. Mana tau nanti kamu beneran jatuh cinta sama Nak Angga. Yak an?"
"Emangnya Mama tau, Angga ini gimana aslinya? Dia itu ..." ucapan Anit terputus karna tiba-tiba ditimpal oelh Angga, membuatnya akhirnya membanting sendok dan garpunya ke atas piring.
"I love you, Nit."
Anit gak peduli. Dia meninggalkan ruang makan. Hatinya bener-bener kesel. Sekarang mamanya malah berpihak ke Angga. Kalo aja Mama Letta dan Zuna tau orang macem apa si Angga ini, Anit yakin mereka pasti bakal menolaknya mentah-mentah.
*