San Fracisco, United States, 2050
"Jadi... kau ingin aku mencegah kematian seorang idol yang terjadi... 32 tahun yang lalu?" tanyaku, berusaha mengonfirmasi apa yang baru wanita Asia di hadapanku katakan. Sekali lagi, kubaca dengan saksama dokumen yang kini ada di tanganku.
Nama: Han Jaeha (한 재하)
Tempat dan tanggal lahir: Boseong-gun, 1 Januari 1994
Gol. Darah: O
Tanggal kematian: 5 September 2018
Penyebab kematian: bunuh diri (informasi lebih lanjut ada di halaman berikut.)
Wanita itu pun mengangguk mantap dan menjawab dengan logat Asianya yang khas, "Ya. Bosmu bilang kau yang terbaik di sini, karena itu aku—"
"Maaf, Nyonya," potongku. "Tetapi, apa Anda sudah membaca peraturan pengajuan profil di perusahaan kami?"
Wanita itu tampak ragu. Aku pun membuang napas lelah.
"Orang yang boleh kami cegah kematiannya hanyalah orang yang memiliki andil besar terhadap sejarah, seperti ilmuwan atau seniman. Idol jelas-jelas bukan salah satu kriteria yang memenuhi persyaratan." Kumasukkan kembali dokumen yang kubaca ke dalam mapnya. Lantas kusodorkan map tersebut ke arah wanita di depanku.
"Aku... aku sudah berbicara dengan bosmu," jawabnya. Entah mengapa, suaranya bergetar. "Bosmu bilang, jika kau menyetujui hal ini, masih ada kesempatan untukku."
Seth? Dia mengatakan hal itu? Batinku bertanya-tanya.
"Maaf, tetapi sepertinya ada kesalahan," kataku pada akhirnya. "Aku harus menemui bosku terlebih dahulu untuk membahas mengenai hal ini lebih lanjut."
"Kumohon berikan jawaban yang kumau," lirih wanita itu.
"Kalau boleh saya tahu, apa yang membuat Nyonya ingin mencegah kematian...," aku berusaha mengingat-ingat nama idol yang tertulis di dokumen tadi. Namun, gagal.
"Jaeha," jawab Nyonya itu.
"Ah, betul," jawabku selagi tertawa renyah. "Apa alasan Anda?"
"Aku hanya tidak ingin ayah Han Jaeha memulai sesuatu yang seharusnya tidak ia mulai."
"Apa lebih tepatnya yang dia mulai?" tanyaku.
"Itu sesuatu yang tidak bisa aku jelaskan," jawabnya cepat.
Aku mendesah. "Nyonya, apabila Anda ingin pengajuan profil Anda disetujui, Anda harus melampirkan informasi selengkap-lengkapnya," ujarku selagi memijit pelipis. Ini sudah kesekian kasus bodoh yang tiba di kantorku pagi ini.
"Aku minta maaf, tetapi aku tidak bisa bilang," katanya. "Mengapa kau tidak menerima kasus ini dan mencari tahu sendiri?"
Habis sudah kesabaranku. "Nyonya, dengan 3 tahun pengalaman saya bekerja di perusahaan ini, kasus sepele seperti milik Nyonya ini bahkan tidak akan lolos seleksi pengujian pertama," ucapku, dingin. Kulihat wanita itu tertegun dengan intonasi suaraku. Namun, persetan dengan hal itu.
"Tetapi, aku—"
"Maaf, kasus ini harus saya tolak," selaku. "Anda bisa keluar dari ruangan saya sekarang juga."
Kedua mata wanita itu berkaca-kaca. Aku pun membenamkan punggung ke kursiku dalam-dalam, lalu kembali memijit pelipisku yang mendadak pening. Klien seperti inilah yang paling aku benci. Klien dengan pengajuan profil mengenai kasus kematian sepele yang pada akhirnya malah jadi sentimental ketika kasusnya kutolak.
"Baiklah...," ujarnya kemudian. "Aku bisa memahami mengapa kau menolak kasus ini. Tetapi... hanya untuk jaga-jaga jika kau berubah pikiran...." Wanita itu meletakkan selembar kartu nama ke atas mejaku. Setelahnya, dia berpamitan pergi.
Aku melirik ke arah kartu nama itu sekilas. Tertera sederet nama dengan karakter Korea yang jelas tidak bisa kubaca. Di bawahnya, terdapat huruf alfabet yang bertuliskan: Han Hyun-Ah.
Aku menggelengkan kepalaku dan langsung mencampakkan kartu nama itu ke tempat sampah. Kemudian, aku bangkit dari kursiku dan keluar dari ruangan.
Aku benar-benar harus bicara dengan bosku mengenai kasus ini.
*