"Jika kau memang ingin mempublikasikan hal ini... silakan," ujar Jaeha. "Aku tidak akan mencegahmu."
Aku terkesiap. Apa yang lelaki ini bicarakan? Seharusnya dia ketakutan. Seharusnya dia memohon padaku agar aku tidak melakukan itu. Namun, mengapa dia terlihat begitu tenang...? Reaksi Jaeha jelas berlawanan dengan apa yang aku harapkan.
"Kau... kau bisa menulis artikel apa pun yang kau mau, aku tidak peduli," katanya. Ia berjalan melaluiku. Lantas, dia membuka pintu apartemennya lebar-lebar. "Jika urusanmu sudah selesai, kumohon keluar dari ruanganku. Sekarang juga."
Aku masih berusaha untuk menjelaskan, "Tetapi, aku hanya—"
"Jangan buat aku memanggil petugas keamanan untuk membawamu pergi," selanya. "Jadi kumohon kau keluar. Sekarang."
Pada akhirnya, dengan setengah hati aku mematuhi apa yang Jaeha perintahkan. Ketika aku sudah berada di luar, aku hendak memberitahunya beberapa hal lagi, tetapi pintu itu sudah ia tutup keras-keras tepat di depan wajahku.
Bagus, Erisha. Kau sudah menyia-nyiakan kesempatan terakhirmu menyelamatkan Jaeha. Bagus. Benar-benar bagus.
Baiklah, apa yang harus aku lakukan sekarang? Meskipun aku tahu apa kata sandi ruangannya, aku tidak ingin diseret keluar dengan petugas keamanan. Berpikirlah, Erisha, berpikir. Kemudian, satu ide cemerlang melintasi otakku. Receiver.
Receiver tidak hanya bisa menerjemahkan kata-kata, tetapi perangkat ini juga bisa membuat pendengaranku lebih tajam. Maka, aku langsung meningkatkan tingkat kepekaan Receiver terhadap suara. Seketika, telingaku diisi oleh dengungan suara-suara yang berada di sekitarku. Dari suara orang bercakap, suara kucuran air, bahkan sampai suara langkah kaki. Awalnya aku berusaha fokus ke suara-suara yang hanya berasal dari dalam ruangan Jaeha, tetapi aku gagal. Terlalu banyak suara yang bisa diterima oleh Receiver ditingkat kepekaan ini.
Kehabisan akal, aku kembali menyetel Receiver kembali kepengaturan semula. Oke, sekarang apa?
Aku berpikir untuk memasang beberapa perangkat kamera mini milikku di ruangan Jaeha. Dengan begitu, aku bisa memantaunya langsung melalui ponselku. Namun, bagaimana caraku untuk kembali ke dalam tanpa diseret keluar oleh petugas keamanan?
Aku juga berencana untuk menempelkan sebuah cip pelacak di tubuh Jaeha. Dengan begitu, aku akan dengan lebih mudah mengetahui keberadan lelaki itu ketika aku sedang tidak bersamanya. Yang menjadi pertanyaannya adalah, bagaimana aku bisa menempelkan benda ini? Kugenggam cip super kecil yang ada di tanganku itu erat-erat.
Tidak peduli bagaimana pun caranya, aku harus memastikan bahwa Jaeha baik-baik saja di dalam sana. Kemudian secara tiba-tiba, suatu ide cemerlang memasuki kepalaku. Aku segera membuka kembali tasku dan mencomot sebuah kacamata dari dalam sana.
Kacamata ini bukan kacamata biasa. Aku bisa menggunakannya untuk melihat menembus dinding. Bisa dibilang, kacamata ini memiliki kemampuan perpaduan sebuah kamera x-ray.
Tanpa pikir panjang, aku langsung memakai kacamata itu. Begitu aku melihat sekeliling dengan mengenakan kacamata ini, semua jadi tampak putih dan abu-abu. Aku pun segera menatap lurus-lurus ke arah ruangan Jaeha. Sekarang aku mampu melihat perabotannya dari sini. Sofa, televisi, kabinet dapur... tetapi di mana dia?
Sepersekian detik kemudian, aku langsung mendapat jawaban dari pertanyaanku sendiri. Kusaksikan Jaeha—dalam efek putih dan abu-abu—kini sedang benar-benar telanjang bulat dan tengah mengenakan pakaian di dalam kamarnya. Secepat kilat, langsung kutanggalkan kacamata x-ray itu.
Spontan, aku segera membalikkan badanku, seakan-akan hal itu bisa membuatku lupa dengan apa yang baru saja kulihat. Apa-apaan yang baru saja itu?!
Tanpa kukehendaki, jantungku sudah bermaraton di dalam dadaku. Sialan. Sial! Mengapa aku harus melihat hal yang sama sekali tidak ingin kulihat? Bisa kurasakan wajahku sendiri menghangat.
Ini bukan pertama kalinya aku melihat pria telanjang dalam hidupku. Sebelum menjadi seorang preventer, aku adalah seorang dokter. Aku sudah berulang kali berurusan dengan pasien-pasien lelaki yang tak berbusana di hadapanku. Namun, mengapa sekarang aku malah merasa seperti ini?!
Belum sempat aku memproses apa yang baru saja terjadi, tiba-tiba saja pintu di balik punggungku terbuka. Aku langsung terjengit kaget dari tempatku berdiri. Ketika aku membalikkan tubuh, aku sudah di hadapkan dengan Jaeha yang saat ini tertegun sesaat begitu melihatku. Lelaki itu memakai jaket berwarna biru tua, ripped jins, topi, dan sudah pasti, masker wajah.
Wajahku memanas. Irama detak jantungku jadi semakin tak karuan. Jaeha yang ada di depanku kini sudah berpakaian lengkap, tidak seperti apa yang beberapa saat lalu kulihat.... Oh, tidak. Apa-apaan yang baru saja kupikirkan?! Kendalikan dirimu, Erisha!
Ketika aku berpikir bahwa dia akan mendampratku karena aku tak kunjung enyah dari apartemennya, Jaeha malah dengan mudah berjalan melaluiku. Seakan-akan dia sama sekali tidak melihatku, padahal aku yakin jika tadi kami sempat melakukan kontak mata.
"Hey," panggilku selagi berusaha menyejajarkan langkahku dengannya. Tangan kananku menepuk punggung Jaeha lembut. "Aku minta kau pertimbangkan lagi tawaranku."
Namun, Jaeha sama sekali tak menjawab. Melirik ke arahku saja tidak. Lelaki itu dengan cepat berjalan meninggalkanku dan memasuki lift. Aku pun berhenti mengejarnya. Aku membuang napas lelah, tetapi tersenyum kecil setelahnya.
Aku berhasil menempelkan cip itu di balik hoodie jaket Jaeha.
Aku langsung memeriksa ponselku untuk memastikan bahwa cip itu memang bekerja sebagaimana mestinya. Aku pun bernapas lega ketika mengetahui bahwa cip itu bekerja. Saat ini Jaeha sedang berada di depan apartemen dan berjalan ke utara.
Untuk sekarang, aku bisa sedikit lebih tenang. Hal berikut yang harus aku lakukan adalah masuk ke dalam apartemen Jaeha dan memasang kamera-kameraku. Selagi menekan kode itu, aku harap-harap cemas. Kuharap Jaeha belum mengubah kata sandi apartemennya.
Setelah memasukkan kombinasi angka itu, beruntung, pintu itu bisa terbuka. Sebagian diriku masih terheran-heran. Bagaimana bisa lelaki itu tidak mengganti sandinya begitu dia tahu bahwa aku ini menjadi ancaman baginya? Apa dia lupa bahwa dia memberitahuku kombinasinya?
Aku menggelengkan kepala dan segera masuk ke dalam. Ini bukan saatnya untuk terlalu banyak berpikir. Yang harus aku lakukan sekarang adalah memasang kamera-kamera di titik-titik yang tidak akan disadari oleh Jaeha. Aku memutar otak. Di mana harus kutempelkan kamera ini...?
Pada akhirnya, aku berhasil menemukan titik-titik tersembunyi di seluruh ruangan yang ada. Namun, aku ragu. Apa aku juga harus memasang satu kamera di dalam kamar mandi...?
*