Jika dipikir-pikir lagi, percuma saja jika aku berusaha menghindari Jaeha. Toh, dia sudah melihat wajahku. Maka dari itu, aku pun mengiakan ajakannya untuk sekadar duduk dan minum minuman kaleng dari mesin otomatis.
Ketika kami berdua sudah duduk bersebelahan, aku masih tenggelam dalam pikiranku. Hingga saat ini pun aku masih berharap bahwa aku tidak pernah berlari ke arahnya tadi. Sekarang, aku harus menanggung konsekuensi dari cerobohanku sendiri.
Bisa saja aku dipecat dengan tidak terhormat dari pekerjaanku. Aku tahu sebentar lagi aku akan pensiun, tetapi tetap saja, aku tidak ingin meninggalkan kesan buruk. Selain itu, jika aku sudah mencegah kematian Jaeha di waktu yang salah, bukankah itu berarti masih akan ada waktu kematian sebenarnya yang masih harus aku cegah?
Itu berarti, aku harus tinggal di zaman ini lebih lama lagi.
Aku mendesah resah dan mengusap wajahku kasar. Tanpa kusadari, aku mencengkeram kaleng minumanku yang masih penuh. Tak memedulikan tangan kananku yang kini ternodai, aku mengeram kesal dan segera melempar kaleng itu sekuat tenaga.
"Sialan, sial!" umpatku. Aku benar-benar bodoh. BODOH!
"Kau baik-baik saja?" tanya Jaeha tiba-tiba.
Aku langsung menoleh ke arahnya. Sial. Aku hampir lupa bahwa dia masih berada di sebelahku. Canggung, aku membuka mulut, "Uh, yeah, tentu. Aku baik-baik saja."
"Dari mana kau mendapat kekuatan itu?" tanyanya disertai senyuman kecil.
"Eh? Kekuatan apa?" Aku menatapnya dengan sorot mata tak mengerti.
"Kau barusan meremas kaleng minumanmu. Kurasa kaleng minuman itu sekarang sudah tidak berbentuk," jawabnya. "Kau tidak suka minumanmu?"
Aku tertawa kecil. "Tidak, bukan begitu. Maaf, bukannya aku ingin membuang-buang minuman yang sudah kau beri, hanya saja... jika aku marah, kadang aku bisa merusak barang-barang di sekitarku."
Ia mengangkat alis. "Sungguh?"
Aku mengangguk. "Masih beruntung bukan mesin minuman itu yang kuserang."
Kemudian, untuk pertama kalinya, Jaeha tertawa. Kali ini, bukan tawa yang dipaksakan seperti sebelumnya. Dapat kulihat perlahan dia mulai santai di sekitarku. Ia menyandarkan punggungnya ke belakang, lalu membuang napas.
"Kau menarik," jawabnya.
Aku mengangkat satu alisku. "Kau orang pertama yang bilang begitu," ujarku. Aku turut menyandarkan punggungku. "Kau tahu, tidak ada yang menarik dari seorang wanita yang nyaris membunuh 3 preman pasar sekaligus ketika dia sedang marah."
Dengan raut wajahnya yang terkejut—sekaligus geli, kurasa?—Jaeha berkata, "Kau serius? Kau pernah melakukan itu?"
Aku mengangguk dan tertawa lepas. "Itu benar. Aku melakukan itu ketika aku berumur 17 tahun," terangku. "Aku hampir saja dipenjara."
Jaeha terkikik. "Sulit dipercaya," komentarnya. "Kusimpulkan bahwa kau pandai berkelahi?"
Aku tertawa sarkastik. "Berkelahi itu sarapanku."
Mendengar ucapanku, kami berdua terbahak. Hingga aku menyadari, apa-apaan yang sedang kulakukan? Bersenda gurau dengan salvaged-ku di saat hancur tidaknya dunia di masa depan berada di tanganku? Aku pasti sudah kehilangan pikiranku.
"Kalau aku boleh tahu, apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku kemudian, berpura-pura tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Ada jeda di mana aku melihatnya berpikir. Akhirnya, dia pun menjawab, "Aku punya satu kebiasaan buruk. Aku terbiasa berjalan dalam tidurku."
Bohong.
"Jika itu benar, bagaimana kau bisa tidak mendengar ketika kereta tadi membunyikan klakson?" tanyaku. "Seharusnya kau terjaga begitu kau mendengar keributan di sekitarmu."
Jaeha temenung mendengar perkataanku. Intonasi suaraku memang berubah. Namun, aku memang tidak punya waktu untuk berbasa-basi. Aku harus menyadari bahwa misi yang kutangani ini jauh lebih berat daripada apa yang pernah kukira.
"Aku... aku mendengar bunyi kereta itu," jawabnya, tergagu. "Itu sebabnya aku melangkah mundur. Kau tahu sendiri, kan?"
Bohong. Lagi. Cukup sudah. Aku sudah muak.
"Kau pikir aku cukup bodoh untuk mempercayai ucapanmu barusan?" tanyaku sarkastik. Jaeha terbelalak. Namun, aku tidak berencana untuk menahan diri. "Kereta itu sudah membunyikan klakson belasan meter sebelum dia sampai di hadapanmu." Jaeha membuka mulut, tetapi aku sudah menyela, "Kau mau bilang kalau kau tidak mendengarnya?"
Jaeha terdiam.
"Kau benar-benar berpikir aku akan percaya dengan hal itu?" Aku menatapnya skeptikal. Kemudian, aku menjorokkan wajah ke arahnya. Dengan kedua mataku yang menyipit penuh kecurigaan, aku berkata, "Kau... tidak sedang mencoba untuk bunuh diri, kan?"
Jaeha terkesiap mendengar hal itu. Lantas, ia membuang pandangan dan bangkit dari kursinya. "Itu pemikiran yang menarik," katanya sambil membuang kaleng minumannya ke tempat sampah. "Aku harus pergi sekarang. Senang bertemu denganmu."
Lelaki itu berjalan menjauh dariku. Gejolak amarah seolah bedenyut-denyut dalam darahku. Oleh karena itu, aku melangkah cepat ke arah Jaeha dan segera mencengkeram lengannya kuat-kuat. Sepersekian detik kemudian, aku sudah menemukan diriku sendiri mencampakkan lelaki ini ke arah mesin minuman itu.
Punggungnya membentur kaca mesin itu dengan keras. Ia sampai merintih lirih karenanya. Namun, aku tak peduli. Aku segera menguncinya dengan tangan kananku. Aku pun baru menyadari bahwa tinggi kami hampir sama.
Aku berpikir, jika lelaki sialan ini memang cukup berani untuk mati, maka seharusnya dia juga cukup berani untuk menghadapi kemarahanku.
"Kau benar-benar tidak tahu apa yang sedang kau lakukan," desisku geram.
"Bisa kau biarkan aku pergi sekarang?" Ia mendorong tubuhku. Namun, aku tak goyah. "Apa yang kau inginkan? Apa kau ini paparazi?"
Aku tertawa sarkastik. Lelaki ini benar-benar menguji kesabaranku. "Sayangnya, aku masih punya pekerjaan yang jauh lebih baik daripada menguntit kehidupan idol-mu yang tidak menarik itu."
Tak kusangka, dia tersenyum miring. "Rupanya kau tahu siapa aku? Awalnya aku hampir berpikiran kalau kau tidak mengenaliku."
Bagaimana bisa aku tidak mengenalimu? Kau itu salvaged-ku!
Aku ingin memberitahunya bahwa aku ini datang dari masa depan. Aku ingin memberitahunya bahwa aku datang untuk menyelamatkannya dari tindakan bodohnya sendiri. Aku ingin meneriakkan hal itu tepat di samping telinganya. Namun, yang bisa kulakukan adalah membalikkan badan dan menarik-narik rambutku sendiri dengan frustasi.
"Sialan! Brengsek! Keparat!" Aku sengaja mematikan Receiver-ku. Jadi, sekarang aku mengumpat dalam bahasa ibuku. Rasanya jauh lebih melegakan.
"Kurasa urusan kita sudah selesai?" tanya Jaeha dari balik punggungku.
Aku memutar badanku dan segera kembali mengaktifkan Receiver. "Kau bilang apa...?"
Ia menghela napas panjang. "Aku bilang, kurasa urusan kita sudah selesai?"
"Belum, urusan kita belum selesai," ujarku selagi tersenyum lebar. Kukepalkan tangan kananku. "Nyatanya, urusan kita tidak akan pernah selesai."
Sebelum sempat aku menyadari apa pun, tangan kananku sudah melayang di udara. Satu tinjuan telak kudaratkan ke atas pipi kiri Jaeha. Lelaki itu langsung dengan mudahnya tumbang ke atas tanah.
"Itu sebagai balasan karena kau sudah menghancurkan misiku!" teriakku nyaring. Aku menendang kakinya pelan. "Kau harus bersyukur karena aku tidak mematahkan hidungmu."
Aku mengibaskan tangan kananku yang mendadak berwarna kemerahan. Kurasa aku sudah meninjunya dengan terlalu keras. Namun, aku tidak peduli. Aku pun menoleh ke arah Jaeha yang hingga kini masih tersungkur di atas tanah, sama sekali tak bergerak.
"Hey," panggilku. Kutendang kakinya sekali lagi. "Jangan berpura-pura pingsan, oke? Urusanku denganmu masih belum selesai."
Namun, lelaki itu masih tak bergeming. Aku pun berlutut di dekatnya. Kuguncang pundaknya dengan lembut.
"Hey," panggilku lagi. "Kau boleh bangun sekarang, Idiot. Aku tidak akan memukulmu lagi, yah, walaupun aku ingin."
Jaeha masih tak menjawab. Membuka mata pun tidak.
Apa lelaki ini benar-benar tidak sadarkan diri...?
*