Chereads / The Idol's Bodyguard / Chapter 9 - Missed Chance

Chapter 9 - Missed Chance

Aku sama sekali tidak berniat untuk melakukan hal mesum. Namun, jika dipikir-pikir, bagaimana jika Jaeha berniat membunuh dirinya sendiri di dalam kamar mandi? Tidak ada salahnya berjaga-jaga, bukan? Lagipula, aku tidak memiliki niat apa pun selain menjaga Jaeha agar dia selalu aman. Maka, aku pun memasang satu kamera di dalam kamar mandi. Setelahnya, aku segera keluar dari apartemen.

Aku kembali mengecek ponselku dan memantau posisi Jaeha. Rupanya, saat ini dia sedang berada sebuah gedung betingkat di tengah kota. Gedung apa itu?

Ketika aku mencari di internet berdasarkan alamatnya, rupanya itu adalah gedung yang biasa digunakan untuk latihan menari bagi para idol. Kubaca melalui beberapa artikel, gedung itu dijaga dengan ketat sejak banyak idol yang beraktivitas di dalamnya pada hari-hari kerja. Jika begitu, aku ragu aku bisa masuk dengan mudah ke dalam gedung tersebut untuk memantau Jaeha secara langsung.

Aku mengusap wajah kasar. Lelaki itu akan baik-baik saja di sana, kan? Dia tidak berniat untuk menghabisi nyawanya di gedung itu, kan?

Aku berusaha untuk menenangkan detak jantung yang entah mengapa berdegup lebih cepat. Aku menegaskan pada diriku sendiri, Jaeha pasti baik-baik saja. Dia pasti baik-baik saja.

Agendaku berikutnya untuk hari ini adalah... mencari tempat gym dan mandi di toilet umum. Mungkin, juga membeli beberapa pakaian untuk beberapa hari ke depan.

Dengan perasaanku yang masih harap-harap cemas, kukenakan hoodie jaketku dan mulai melangkah menyusuri jalanan Kota Seoul.

*

Satu-satunya hal yang kusukai dari pergi ke tempat gym adalah... aku bisa meluapkan amarahku di sini.

Tidak, tidak. Aku tidak berbicara mengenai aksi vandalisme yang kulakukan dengan cara menghancurkan fasilitas yang ada di sini. Namun, yang kumaksud adalah... melampiaskan amarahku kepada samsak.

Setelah melakukan pendaftaran, tanpa ba-bi-bu, aku langsung masuk ke dalam dan menakuti semua orang yang ada di sini dengan geraman yang kukeluarkan selagi aku mempraktikkan jurus bela diri andalanku. Knee kick, uppercut, straight punch.... Kucurahkan segala amarahku pada samsak yang sama sekali tak berdosa ini.

Kumatikan Receiver-ku sebelum aku memulai latihan agar tidak ada orang yang mampu memahami apa yang sedang kugumamkan. Seperti sekarang ini, aku sedang menyumpah serapahi idol sialan bernama Han Jaeha itu.

"Lelaki sialan! Kau pikir kau bisa dengan seenaknya membunuh dirimu tanpa memikirkan konsekuensi apa yang akan terjadi setelahnya?" Kutonjok samsak di hadapanku dengan tangan kananku yang sudah berlapis sarung tangan tinju. "Nyatanya, dengan mumbunuh dirimu sendiri, kau juga akan menghabisi nyawa nyaris ribuan orang di masa depan!"

Setelah puas membuat samsak itu babak belur, aku beralih ke treadmill. Ketika aku marah, aku akan memiliki jumlah tenaga berlebihan yang harus aku keluarkan. Kurasa, dengan menghabiskan kekuatanku di gym ini, aku tidak akan punya kekuatan lagi untuk marah-marah setelahnya. Aku harap saja begitu.

Aku pun berlari dengan kecepatan yang sangat tinggi. Bahkan, treadmill yang kugunakan sekarang sampai terguncang lembut saking cepatnya aku berlari.

"Bahkan, lelaki itu berani mengabaikanku meskipun aku memiliki niatan baik!" aku melanjutkan gumamanku. "Yang benar saja!"

Setelah selesai dengan treadmill, tanpa lelah, aku pun beralih ke bench press. Aku mengangkat beban itu sekuat tenaga. Otot-ototku yang keras itu bercokolan di sepanjang lenganku. Anehnya, aku masih belum lelah. Amarah benar-benar membuatku memiliki banyak tenaga. Ah, aku harap aku bisa berkelahi dan meninju beberapa wajah orang sekaligus. Rupanya, kemurkaanku terhadap Jaeha mampu mempompa adrenalinku sampai ke ubun-ubun.

"Lelaki sialan kau!" jeritku. "Akan kubuktikan kalau aku tidak akan gagal lagi dalam rencanaku kali ini!"

Tiba-tiba, satu suara membuatku berhenti melakukan aktifitasku. Nyaris seperti gerakkan spontan, terduduk tegak. Aku langsung kembali mengaktifkan Receiver-ku. Setelah beberapa saat menajamkan telinga, rupanya itu adalah suara wanita berteriak-teriak.

"Sudah kubilang jangan ganggu aku!"

"Hey, dengarkan aku. Aku hanya ingin berbicara denganmu," suara seorang pria menyahut.

Lalu, karena rasa penasaranku yang semakin membuncah, aku memutuskan untuk berkemas dan mencari sumber suara itu. Rupanya keributan yang kudengar berasal dari ruang ganti pakaian wanita. Seketika, aku menyernyitkan dahi. Lelaki hidung belang macam apa yang mengganggu wanita di ruang ganti tempat gym?

Awalnya aku hendak masuk ke dalam ruangan itu, tetapi tiba-tiba saja pria dan wanita keluar dari sana. Aku langsung bersembunyi di balik salah satu tembok yang ada di dekatku. Aku mengamati mereka dari kejauhan.

Si pria mencengkeram pergelangan wanita itu. "Dengarkan aku dulu," ujarnya.

"Sudah aku bilang aku tidak ingin bicara lagi denganmu!"

Aku menggelengkan kepala heran. Apa aku sedang menonton drama Korea atau semacamnya?

"Kau selalu begini. Berhentilah bersikap egois!" seru si pria.

Di saat aku hendak turun tangan, tiba-tiba saja ada seorang lelaki lain yang sudah menengahi perkelahian mereka. Aku menyipitkan mata. Sepertinya aku pernah melihat lelaki itu di suatu tempat. Namun, di mana...?

"Berhenti menggaggunya." Lelaki itu mendorong pria yang tadi berteriak-teriak.

"Hey, jangan ikut campur. Ini urusan kami berdua!" sahut pria itu murka.

"Jika ini memang urusan kalian berdua, jangan berkelahi di tempat umum," jawab si Penengah dengan tenang.

"Sudah kubilang, jangan ikut campur!"

Sepersekian detik kemudian, mereka berdua sudah terlibat baku hantam. Si pria yang bertubuh lebih besar menghujani lelaki itu dengan tinjuan yang dengan mudah ia layangkan. Aku masih memerhatikan mereka berdua dengan kepala penuh dengan tanda tanya. Memang apa yang harus diperbedatkan? Mereka itu sudah dewasa, kan? Mengapa malah berkelahi karena hal yang sesepele ini?

Pada akhirnya si wanita itu berseru, "Hey! Kalian berdua! Berhenti!"

Dia berusaha menarik si pria itu, tetapi, ia malah didorong ke belakang hingga kepalanya terbentur tembok. Wanita itu pun tersungkur ke atas tanah selagi memegangi kepalanya. Aku berdecak geram. Cukup sudah. Aku sudah muak.

Dengan langkah yang cepat dan lebar-lebar, aku menghampiri kedua pria yang sedang terlibat baku hantam itu. Kutarik kerah bagian belakang pria itu hingga dia terpisah dari lelaki yang sedari tadi menjadi target pukulannya. Hidung lelaki ini mengeluarkan darah. Jika dia memang tidak bisa berkelahi, mengapa malah melibatkan diri?

Kemudian, dengan wajah yang kemerahan menahan amarah, pria tadi memekik, "Apa urusanmu?! Jangan ikut campur—"

Ucapannya terpotong karena aku sudah melayangkan tinjuanku tepat ke arah tulang iganya. Pria itu memekik kesakitan dan mundur beberapa langkah ke belakang. Merasa belum puas, akhirnya aku memutuskan untuk kembali memberinya pukulan tepat ke hidungnya. Dapat kudengar suara retakan tulang. Ah, Receiver membuat suara tulang hidung yang kuretakkan itu menjadi lebih nyaring di telingaku.

Setelah menerima pukulanku, hidung pria itu mengalami pendarahan hebat. Darah meleleh dari hidungnya yang sudah kuretakkan. Dia menatapku dengan sorot mata penuh amarah. Namun, aku hanya mengangkat alis.

"Pergi dari sini sekarang," perintahku.

Pria itu tak bergeming.

Aku membuang napas jengah. "Dengar, saat ini aku sedang berusaha untuk sopan di depanmu," ujarku. "Tetapi, jika kau menyerangku, jangan salahkan aku jika aku tanpa sengaja mematahkan tulang belakangmu."

Setelah mendengar ucapanku, pria di hadapanku tampaknya malah semakin murka. Dia hendak melawanku lagi, tetapi tanpa aba-aba, di ujung koridor berdatangan beberapa petugas keamanan. Dia langsung terhenti dan menatap ke ujung koridor dengan sorot mata penuh teror.

Ketika para petugas itu sampai, mereka bertanya, "Apa yang sedang terjadi?"

"Pria ini mengganggu Nona ini," aku menjelaskan sambil menunjuk dengan jariku. "Lelaki ini berusaha untuk melerai, tetapi malah dipukuli oleh pria ini."

"Bagaimana dengan Anda? Apa Anda baik-baik saja?" tanya petugas itu.

Sambil tersenyum kecil, aku mengangguk. "Aku baik-baik saja."

Setelahnya, pria itu dibawa pergi oleh petugas keamanan. Lelaki yang menjadi pelerai sempat ditawari untuk diantar ke rumah sakit, tetapi dia menolak. Aku pun memandangi kedua orang di dekatku itu selagi berkacak pinggang.

"Kalian baik-baik saja?" tanyaku.

Mereka berdua mengangguk secara bersamaan.

Tiba-tiba, lelaki itu bertanya kepada wanita di sebelahnya, "Seoyeon, apa kau terluka?"

Wanita yang ia panggil 'Seoyeon' itu mengangguk lemah. "Aku tidak apa-apa," jawabnya. "Harusnya aku yang bertanya padamu, Eunso. Lihatlah itu, hidungmu berdarah-darah."

Tunggu. Eunso?

Lelaki yang ia panggil Eunso ini mengelap hidungnya dengan punggung tangan. "Ini bukan masalah serius," katanya diserati tawa kecil.

"Tunggu," selaku. "Kalian saling kenal?"

Eunso mengangguk, lalu tersenyum lebar. "Ya. Bisa dibilang begitu."

Hingga kini aku masih berpikir. Aku rasa aku pernah mendengar nama Eunso di suatu tempat. Wajah lelaki ini juga familiar. Namun, siapa dia? Aku sama sekali tidak bisa mengingatnya.

"Maaf, apa kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyaku pada lelaki bernama Eunso ini.

Ia mengangkat alis. "Kurasa tidak," jawabnya. "Aku yakin ini pertama kalinya aku bertemu denganmu."

"Lalu, apa kau... orang yang terkenal?" tanyaku, ragu-ragu.

Mendengar pertanyaanku, Eunso bungkam. Mungkin, aku memang salah orang. Aku pun menggelengkan kepala.

"Ah, sudahlah. Lupakan," ucapku pada akhirnya. Sebelum beranjak pergi, aku kembali menoleh ke arah mereka berdua. "Pastikan bahwa lain kali kau hati-hati." Aku menatap Seoyeon. Kemudian, beralih kepada Eunso. "Dan kau, pastikan kau kompres hidungmu dengan sekantung balok es. Aku pergi duluan."

Selagi melangkah, aku melirik ke arah ponselku. Ini sudah jam 1 siang. Tak kusangka aku menghabiskan hampir seharian di gym. Kemudian, aku segera memeriksa keberadaan Jaeha. Rupanya, dia masih berada di gedung yang tadi. Aku membuang napas lega. Aku yakin kalau dia baik-baik saja.

Aku sudah berada di luar gedung gym begitu aku menyadari bahwa Eunso mengikutiku. Ketika aku hendak menyebrang jalan, lelaki itu meraih lenganku.

"Hey, tunggu," panggilnya.

Aku berhenti melangkah dan menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Ya?" jawabku singkat.

"Kalau aku boleh tahu, di mana kau belajar bela diri? Yang barusan itu keren sekali!" ujarnya, dengan kedua mata berbinar-benar. "Apa kau ini pelatih di salah satu organisasi bela diri? Martial arts? Taekwondo? Cabang mana yang kau pelajari?"

Aku benar-benar tidak mengerti dengan apa yang dia ucapkan. Martial arts? Taekwondo?

"Maksudmu... kau bertanya padaku dari mana aku bisa bela diri?" aku balik bertanya.

Dengan semangat menggebu, Eunso mengangguk. Baiklah, aku mulai tidak nyaman dengan antusiasme yang dia tunjukkan.

"Satu-satunya hal yang membuatku pandai bela diri adalah... pengalaman, mungkin?" Aku mengidikkan bahu. "Aku tidak pernah terlibat dengan organisasi tertentu. Aku mempelajari sebagian besar gerakkanku dari pengalaman langsung."

Tampaknya, ucapanku semakin membuat Eunso menggila. Namun, sebelum dia sempat berucap, teleponnya berdering.

"Maaf," ujar Eunso selagi mencomot ponselnya dari kantung celana. Setelahnya, aku terpaksa mendengarkan percakapannya yang terjadi dengan orang yang ada di seberang telepon. "Oh, Jae! Ada apa?"

Lagi-lagi, nama itu membuat dahiku berkerut. Jae? Aku bersumpah aku pernah mendengarnya sebelum ini. Namun, di mana?

Sialan! Mengapa aku jadi pelupa begini?

"Sudah kubilang aku akan pergi ke gym dulu," lanjut Eunso. "Ah, jadi semua sudah datang? Apa? Oh, untuk video dance yang mau diunggah ke Youtube?"

Otakkku berputar-putar memikirkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di dalam kepalaku. Siapa Eunso? Mengapa wajahnya terlihat familiar? Dan, siapa Jae? Mengapa kurasa aku pernah tahu nama itu?

Sebelum aku sempat mengatakan apa pun, Eunso sudah menepuk pundakku dan berkata, "Aku harus pergi. Omong-omong, namaku Eunso. Dan kau?"

"Uh, Erisha," jawabku, setengah sadar. Sebagian dari diriku masih larut dalam lamunan.

"Kalau begitu, aku pergi dulu. Pastikan besok kau datang ke sini lagi. Aku ingin tahu lebih banyak tentang kemampuan bela dirimu!" ujarnya. "Senang berkenalan denganmu, Erisha."

Eunso segera berlari-lari kecil meninggalkanku di tepi jalan depan gedung gym. Aku menoleh untuk memanggilnya, tetapi lelaki itu sudah hilang dari pandanganku. Mendadak, aku jadi resah. Ada sesuatu yang salah di sini.

Aku pun meraih ponsel yang ada di dalam tasku. Aku cepat-cepat mencari nama Eunso di internet. Setelah hasil pencarian itu keluar, aku langsung mendelik lebar ke arah layar ponselku.

Rupanya, Eunso adalah salah satu anggota DREAM OVERDOSE! Yang berarti, dia mengenal Jaeha. Dan, setelah aku periksa, Jae adalah julukan yang diberikan para anggota untuk Han Jaeha.

Astaga. Aku benar-benar bodoh!

Jika aku menyadari hal ini lebih awal, aku bisa meminta Eunso untuk membawaku masuk ke dalam gedung itu agar aku bisa memantau Jaeha secara langsung. Namun, karena aku lupa, jelas kesempatan emas ini kulewatkan begitu saja.

Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Aku pun berlari-lari kecil ke arah di mana Eunso menghilang tadi.

Kuharap dia masih belum jauh dari sini!

*