"Dengan membiarkan Jaeha mencoba membunuh dirinya berkali-kali," tutur Foxie. "Hingga pada akhirnya kita bisa menyelamatkan dia dari percobaan bunuh diri yang benar-benar akan membuatnya mati."
Apa?
"Maaf, tetapi aku rasa aku tidak mengerti maksudmu," ujarku.
Foxie menghela napas. "Teori ini mudah saja, Erisha. Begini, coba kau bayangkan. Dalam kondisi mental yang seperti ini, Jaeha pasti berpeluang untuk melakukan bunuh diri lebih dari satu kali, bukan?"
Ragu, aku mengangguk. "Kurasa begitu."
"Lalu, apa kau berpikiran kalau kau akan selalu menyelamatkannya setiap kali dia mencoba untuk bunuh diri?" tanya Foxie. "Jawabannya adalah, tidak."
"Mengapa demikian?" Aku menatap Foxie dengan kedua alis bertautan.
"Karena jika kau melakukan itu, kita tidak akan tahu insiden mana yang benar-benar akan merenggut nyawa lelaki itu," jawab Foxie dengan yakin.
Aku masih berusaha memahami teori yang Foxie sampaikan padaku. "Jadi... maksudmu... kau memintaku untuk membiarkan Jaeha mencoba membunuh dirinya berulang kali... dan baru pada akhirnya aku menyelamatkannya di saat insiden yang sebenarnya terjadi?" tanyaku hati-hati.
Foxie mengangguk. "Tepat sekali."
"Bukankah itu berarti akan ada saat di mana Jaeha mencoba bunuh diri, tetapi gagal?" tanyaku lagi. "Bagaimana cara kita mengetahui rencana bunuh dirinya itu gagal atau tidak?"
"Mengamati," jawab Foxie singkat.
Aku dibuatnya tidak mengerti. "Maaf...?"
"Ya, memang seperti apa yang terdengar, mengamati," jawab wanita berkacamata ini. "Akan ada saat di mana Jaeha gagal bunuh diri. Entah itu karena ada orang yang menyelamatkannya, atau karena dia tidak melakukan bunuh diri itu dengan baik, sehingga dia gagal."
Aku menyimak ucapan Foxie dengan perhatian penuh.
"Yang harus kita lakukan hanyalah mengamati, karena kita hanya akan turun tangan ketika Jaeha benar-benar akan mati dan tidak bisa diselamatkan oleh orang lain kecuali kita. Entah itu karena tidak ada orang lain yang datang menyelamatkannya, atau karena dia memakai metode yang efektif untuk membunuh dirinya sendiri."
"Itu berarti... kita memang benar-benar harus membiarkan Jaeha melakukan bunuh diri... secara berulang-ulang sebelum pada akhirnya turun tangan?"
"Itu benar," jawab Foxie.
"Bukankah itu... terdengar kejam?" tanyaku, lirih.
"Erisha, dalam logika tidak akan pernah ada moral," jawabnya dengan keyakinan penuh. "Jika kau benar-benar ingin mencegah kematian Jaeha yang sebenarnya dan membuat masa depan lebih baik, hanya ini yang bisa kita lakukan."
Aku menggigit bibir bawahku sendiri, resah. Bisakah aku melakukan itu? Bisakah aku membiarkan salvaged-ku sendiri berulang kali berususan dengan malaikat maut tanpa aku bisa melakukan apa pun? Apa hanya ini satu-satunya jalan?
"Foxie, aku tidak yakin aku bisa melakukan itu," ujarku, lirih. "Aku tidak akan tahan melihat siapapun terluka dan sekarat... aku hanya... kau tahu... ah, bagaimana cara menjelaskan ini?" Aku mengacak rambutku frustasi.
"Nalurimu sebagai dokter muncul, hm?" Foxie tersenyum kecil. "Aku bisa memahami itu."
"Kau yakin tidak ada cara lain?" tanyaku.
"Sejauh ini, hanya itu yang bisa kupikirkan." Foxie menyandarkan punggungnya ke belakang dan membuang napas keras-keras. "Tenang saja, Erisha. Semua akan baik-baik saja."
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku meragukan apa yang seorang Kutu Buku perusahaan katakan.
"Hey, Fox," panggilku tiba-tiba.
Wanita itu mendongak. "Hm?"
"Mengapa kita tidak pergi ke masa lalu saja?" usulku. "Maksudku, mengapa kita tidak pergi ke masa lalu dan mencegah diriku sendiri melakukan kesalahan yang sudah aku perbuat?"
Senyum miring Foxie terbit di bibirnya. "Memang terdengar mudah, tetapi itu tidak bisa."
Aku melipat dahi. "Mengapa tidak?"
Entah mengapa, ia menghela napas keras-keras. "Apa kau pernah dengar tentang multi semesta?" tanya Foxie. "Itu adalah teori yang berkata bahwa di alam semesta kita ini, ada dunia pararel di mana terdapat versi lain dari diri kita sendiri yang tengah menjalani kehidupan yang berbeda."
Kerutan di keningku tak lekang begitu mendengar penjelasan Foxie. "Lalu, apa hubungan teori itu dengan kasus kita?"
"Hubungannya adalah... teori itu benar adanya," balas Foxie. "Dunia pararel itu ada. Dan jika kau memintaku untuk membuka portal ke masa lalu, aku tidak yakin aku bisa membawamu ke masa lalu yang benar. Maksudku, tidak ada jaminan bahwa kau akan tiba di masa lalumu yang sebenarnya, dan bukannya masa lalu dari versi dirimu di dunia pararel."
"Maksudmu... jika aku nekat melakukan itu, aku bisa terjebak di masa lalu yang bukan milikku?" tanyaku, hati-hati.
Foxie mengangguk. "Itu benar."
"Jika dunia pararel itu ada, lalu bagaimana bisa selama ini kau membawa para preventer ke masa lalu yang benar?" tanyaku sejurus kemudian.
"Itu karena kami sudah menemukan formula yang tepat untuk memperkecil kemungkinan itu," jawab Foxie. "Aku memang bisa membawamu ke masa lalu yang benar, tetapi kau hanya akan kembali ke dunia Jaeha di mana tidak ada dirimu di dalamnya. Kau tidak akan bisa mencegah dirimu sendiri dari melakukan kesalahan karena kau sudah terhapus dari realita itu."
"Bukankah aku masih bisa mencoba? Maksudku, aku bisa mencoba dari awal," ujarku.
"Aku yakin kau tidak ingin melakukan itu," desah Foxie.
"Mengapa tidak?"
"Karena sekali kau kembali ke dunia di masa lalu yang sudah pernah kau singgahi, kau tidak akan bisa kembali ke masa depan."
*