Tepat pada pukul 9 malam, aku menekan bel yang ada pada apartemen Jaeha. Di tangan kananku, aku membawa sebuah botol bir yang tadi sudah aku persiapkan untuk kunjungan ini. Tak lama setelah bel berbunyi, pintu di hadapanku terbuka. Jaeha muncul dari dalam.
"Rupanya kau tepat waktu," ujar lelaki itu. Dia membuka pintunya lebar-lebar. "Masuklah."
Dengan senyum tipis yang menghiasi wajah, aku masuk ke dalam. "Tentu saja aku tidak akan terlambat," kataku. "Ini pertemuan penting."
Setelah itu, Jaeha menyuruhku untuk duduk dan menunggu di meja makannya. Maka, dengan perasaan was-was, aku melakukan apa yang dia minta. Lelaki itu sempat menghilang ke dalam kamarnya untuk beberapa saat. Tak lama, dia kembali dengan membawa sebuah map. Ia membuka dan meletakkannya di hadapanku. Rupanya, map itu berisi secarik kertas dengan ketikan rapi di atasnya.
"Itu kontrakmu," ujar Jaeha. "Pastikan kau membacanya dengan baik."
Lensaku langsung menerjemahkan tulisan yang ada di sana ke Bahasa Inggris. Rupanya, ada beberapa peraturan sebagai pengawal yang harus aku patuhi. Aku melipat dahi. Apa-apaan lelaki ini?
1. Dilarang mencampuri urusan pribadi Han Jaeha
2. Dilarang memasuki apartemen Han Jaeha tanpa izin
3. Dilarang menemui Han Jaeha di luar jam kerja
Jika kuhitung-hitung... peraturan ini ada... 10?!
Aku langsung mendongak ke arah lelaki yang kini duduk di seberangku. "Apa-apaan ini semua?" tanyaku, murka.
Dia hanya mengangkat bahu tak peduli. "Aku hanya membuat batasan yang jelas di antara kita."
"Apa kau bercanda?" ujarku, setengah tak percaya. "Mengapa aku tidak boleh masuk ke apartemenmu? Dan, mengapa aku tidak boleh menemui kapan pun aku mau?"
"Itu karena aku tidak ingin waktu sendiriku di apartemen ini terusik," jawab Jaeha. "Selain itu, mengapa kau ingin menemuiku di luar jam kerja? Memang kau ini siapa? Kau bahkan bukan kekasihku. Kau hanya pengawal."
Mendengar ucapannya yang menusuk hati itu, aku terdiam.
"Jadi, tanda tangani saja kontak itu tanpa banyak bicara dan segera pergi dari sini," ujar Jaeha kemudian. Ia menyerahkan sebuah pulpen kepadaku.
Amarahku siap meledak dari ubun-ubunku. Memangnya siapa dia sehingga bisa memperlakukanku seperti ini?!
"Tidak bisa," jawabku tegas. Kututup kembali map yang ada di depanku dan menyodorkannya ke arah Jaeha. "Aku tidak mau menandatangai kontrak ini jika kau membuat terlalu banyak peraturan untukku."
Jaeha menatapku dengan kedua mata berkilat-kilat murka. "Kau benar-benar tidak tahu diuntung, ya?"
Aku langsung tertawa sarkastik. "Harusnya aku yang mengatakan hal itu padamu," kataku. "Kau yang seharusnya merasa beruntung karena aku tidak menyebarkan rahasiamu itu ke publik."
Jaeha menyambar, "Sudah kubilang aku sama sekali tidak keberatan jika kau—"
"Bahkan jika aku juga menyebarkan rahasia milik Eunso?" potongku. "Atau... rahasia anggota band-mu yang lain? Kau yakin kau tidak keberatan dengan hal itu?"
Mendengarku, Jaeha seketika bungkam. Aku tersenyum miring. Kurasa ancamanku berhasil. Padahal, aku sama sekali tidak tahu apa yang aku bicarakan. Alih-alih tahu rahasia masing-masing dari anggota DREAM OVERDOSE, aku bahkan tidak hafal nama mereka semua.
"Apa... apa yang kau tahu tentang teman-temanku...?" tanya Jaeha, hati-hati.
Aku terkekeh. "Kau tidak akan percaya seberapa banyak hal yang aku tahu tentang mereka semua," ujarku, 100 persen dusta. "Apa... kau ingin aku menyebarkan semua rahasia itu? Kurasa kau cukup penasaran." Aku tersenyum licik.
"Tidak," jawab Jaeha cepat. "Tidak, jangan lakukan itu."
Aku mengangkat alis, tak menyangka bahwa reaksinya akan seperti ini. Lihatlah itu. Dia sudah seperti kucing yang ketakutan lantaran ketahuan mencuri ikan.
"Lalu... jika kau tidak ingin aku melakukan itu... kira-kira apa yang harus kau lakukan?" Aku masih tersenyum keindahan ke arahnya. Diam-diam aku mulai menikmati apa yang kulakukan. Lelaki besar kepala ini memang harus mendapat hukuman sesekali.
"Aku... aku akan menghapus peraturan itu dari dalam kontrak," ujarnya tiba-tiba. Ia langsung menyambar kontrak itu dan membuat garis menyilang besar di atas peraturan-peraturan bodoh yang sudah dia buat. Setelahnya, ia menyerahkan kontrak itu kembali.
Senyumanku semakin lebar saja rasanya. "Anak baik," gumamku lirih.
"Jadi... jadi kumohon jangan bocorkan apa pun yang kau tahu tentang anggota band-ku yang lain," ujar Jaeha.
Aku mengangguk-angguk selagi aku membubuhkan tanda tangan ke atas kertas itu. "Baik, dimengerti," jawabku. Setelah menandatangai kontrak itu, aku melemparkan senyum manis ke arah Jaeha. "Bagaimana dengan sedikit perayaan? Jangan buat bir yang aku bawa jadi sia-sia."
Tanpa permisi, aku menjelajah dapurnya dan mengambil sebuah gelas. Aku menuangkan bir yang kubawa ke gelas itu dan menyodorkannya pada Jaeha. Lelaki itu meraih gelas tersebut dan meneguknya sedikit. Senyumanku semakin lebar. Aku pun kembali ke tempat dudukku.
Melihatku yang kembali dengan tangan kosong, Jaeha bertanya, "Kau tidak...?"
"Oh." Aku menggeleng. "Aku sudah minum banyak bir hari ini. Nikmati saja. Jangan pikirkan aku."
Jaeha pun segera menghabiskan birnya itu dalam diam. Setelahnya, dia bersuara, "Sebenarnya, apa tujuanmu?"
Aku mengangkat alis. "Tujuanku? Maksudmu?"
"Kau... tiba-tiba mucul dalam kehidupanku dan memintaku untuk menjadikanmu sebagai pengawalku... sebenarnya apa yang kau mau?" tanyanya.
Aku mengangkat bahu. "Aku hanya ingin menjadi pengawalmu, itu saja," jawabku. "Aku punya kemampuan bela diri yang baik. Jadi kupikir, mengapa tidak mengubah kemampuanku ini menjadi uang?" Aku meringis. Tampaknya aku semakin terlatih dalam menebar dusta.
"Yang menjadi pertanyaanku adalah... mengapa aku?" Jaeha menatapku. "Mengapa dari sekian banyak orang di luar sana... kau malah memilihku?"
"Itu bukan pertanyaan yang sulit," balasku. "Aku yakin aku akan mendapatkan penghasilan yang lebih baik jika aku bekerja pada orang kaya. Kau kaya, bukan? Kau 'kan idol."
Mendengar jawabanku, Jaeha tertawa sarkastik. "Kau pikir hanya aku idol di negara ini? Lagipula, bukan aku satu-satunya orang kaya di dunia."
"Bagaimana... jika aku hanya ingin menjadi pengawal seorang idol bernama Han Jaeha?" Aku mengatakan hal itu dengan senyum tipis di bibirku. Ah, aku rasa aku sudah mengatakan hal yang salah. Bagaimana jika dia pikir aku sedang menggodanya?
Jaeha hanya sanggup terkekeh dan menggelengkan kepala. "Kau ini... sebenarnya kau siapa? Apa kau ini diam-diam adalah penggemar beratku?" tanyanya. "Ah, tentu saja. Kau adalah salah satu dari gadis-gadis haus dan buas itu. Kau ingin menjadi pengawalku karena kau ingin selalu berada di dekatku. Bukankah begitu?" Lelaki itu tersenyum masam ke arahku. Namun, aku langsung terbahak keras-keras.
"Astaga, aku tidak percaya jika kau begitu percaya diri," kataku. "Aku tahu kau seorang idol, tetapi itu bukan berarti semua wanita akan menjadi penggemarmu, kau tahu?"
"Jadi, kau bukan penggemarku?" Jaeha mengangkat satu alisnya.
"Tidak dalam seribu tahun," sahutku cepat.
Lantas, ia terkekeh untuk kedua kalinya. "Aku lega mendengar hal itu." Tiba-tiba Jaeha bangkit dari tempatnya. "Kurasa urusan kita sudah—"
Sekonyong-konyong, lelaki itu luruh ke atas lantai sebelum dia sempat menuntaskan kalimatnya. Aku langsung berhamburan ke arah Jaeha kini sudah tersungkur dengan menyedihkan. Kusaksikan lelaki itu memegangi kepalanya.
"Kau... kau baik-baik saja?" tanyaku selagi mencoba untuk membantu lelaki ini untuk bangkit.
"Tiba-tiba saja... kepalaku... sakit," lirihnya.
Tidak selang lama, Jaeha sudah tidak sadarkan diri dalam dekapanku. Aku mengguncang bahunya lembut. "Hey," panggilku. Dia tidak menjawab. Aku menggeleng heran. Obat itu bekerja lebih cepat dari apa yang aku kira.
Segera kuraih ponsel yang ada di kantung celanaku dan tergesa-gesa menelepon seseorang itu. Tak tunggu lama, panggilanku bersambut.
"Foxie," panggilku. "Ini saatnya."
*