Chereads / The Idol's Bodyguard / Chapter 19 - The Intruder

Chapter 19 - The Intruder

Setelah berhasil membaringkan Jaeha ke atas ranjang di kamarnya, bel di luar berbunyi keras. Aku pun langsung berlari tunggang-langgang ke depan. Ketika aku membuka pintu, Foxie sudah berada di sana dengan membawa sesuatu yang ia bungkus dengan mantel. Aku segera menyuruhnya masuk.

Tanpa dikomando, kami langsung melakukan tugas masing-masing. Foxie sibuk membuka mantel yang sebelumnya membungkus robot kami. Ia langsung mengaktifkan robot itu ke dalam mode medis. Sedangkan aku, aku sudah sibuk melucuti atasan yang dipakai oleh Jaeha.

"Ash, apa kau siap untuk operasi pemasangan Pulse Detector?" tanya Foxie.

Robot kapsul itu menjawab selagi mengeluarkan kedua tangan besinya dari sisi tubuhnya. "Aku siap, Nona Foxie."

"Bagus," ujar Foxie. "Lakukan itu terhadap pria ini. Lakukan dengan hati-hati, oke?"

"Dimengerti."

Robot itu langsung mendekati Jaeha yang sedang terbaring dengan kedua tertutup di atas kasur. Aku langsung menyingkir dari dekatnya. Kini robot kami sedang menyuntikkan obat bius kepada Jaeha. Setelah aku menepi, aku menatap Foxie.

"Jadi, kau memberi robot ini nama?" tanyaku.

Entah mengapa, Foxie tersipu. "Kau benar."

Aku hanya mampu tersenyum kecil. "Kau yakin Ash tidak butuh bantuanku?" tanyaku kemudian.

"Erisha, ada apa denganmu? Kau sudah melihat robot-robot medis melakukan prosedur ini di masa depan berulang kali. Mengapa masih ragu?" tanya Foxie keheranan.

Aku menggelengkan kepala dan menggigit bibir bawahku. "Aku... aku hanya khawatir sesuatu akan terjadi," jawabku. "Lagipula, aku melakukan ini tanpa izin Jaeha. Bagaimana aku bisa tenang?"

Foxie tersenyum lembut selagi menepuk pundakku. "Dia akan baik-baik saja," katanya menenangkan. "Lagipula, ini untuk kebaikannya sendiri. Kau sudah melakukan hal yang benar."

Aku mengangguk. Aku berusaha untuk mengumpulkan sedikit ketegaran dalam diriku sendiri. Aku harus kuat. Aku harus menuntaskan misi ini. Karena jika tidak, akan banyak orang yang menderita di masa depan karena Obxinoz.

Aku menyaksikan Ash yang sedang membelah dada Jaeha dengan laser yang ia keluarkan dari salah satu matanya. Darah langsung mengalir dari luka yang baru saja ia buat. Tangan Ash yang lain membersihkan aliran darah itu dengan kain yang selalu ada bersamanya sehingga darah itu tak sempat mengotori ranjang.

Ketika lapisan kulit itu telah dengan sempurna mengeskpos apa yang ada di baliknya, tiba-tiba saja dua tangan besi ekstra keluar dari punggung Ash. Dua tangannya yang 'baru' itu bertujuan untuk membuka sayatan yang sudah ia buat untuk mempermudah prosedur pemasangan Pulse Detector.

Aku berdebar-debar menantikan momen ini. Momen di saat Ash akan menempelkan PD pada jantung Jaeha. Namun, ketika Ash sudah hendak menempelkan kepingan tipis berwarna silver itu, tiba-tiba saja satu suara itu menginterupsi keheningan kami.

Beep. Beep. Beep.

Aku dan Foxie berpandang-pandangan. Sepersekian detik kemudian, kami baru menyadari apa yang sedang terjadi. Ada seseorang yang berusaha masuk ke dalam apartemen ini!

Aku langsung mendorong Foxie ke luar ruangan. "Cepat! Alihkan perhatian siapa pun yang ada di luar saja!" bisikku.

Foxie memprotes, "Kau bercanda?! Apa yang harus kulakukan?!"

"Lakukan apa saja!"

Setelahnya aku segera menutup pintu ini rapat. Aku langsung dengan tergesa-gesa membuka laci-laci yang ada di kamar Jaeha. Sialan, ke mana perginya kunci ruangan ini?!

Tidak ada waktu. Aku harus berjaga di pintu agar orang asing itu tidak masuk ke dalam. Aku pun segera melesat ke arah pintu kamar Jaeha dan langsung mendorong pintu ini dengan kedua tanganku.

Kemudian, suara orang asing itu terdengar. Suara seorang pria yang belum pernah kudengar sebelumnya.

"Jaeha, di mana kau? Aku membawakanmu—" ucapannya terpotong. "Uh... hai?"

"Hai." Itu suara Foxie.

"Uhm, maaf, siapa kau?" tanya orang asing itu.

"Aku... aku sedang memiliki beberapa urusan di sini," jawab Foxie.

"Lalu, di mana Jaeha?"

"Uh, maksudmu... orang yang menempati apartemen ini?" tanya Foxie. Dia benar-benar terdengar mencurigakan. Tidak bisakah wanita itu berakting dengan sedikit lebih baik?!

"Ya, orang yang tinggal di sini," jawab sosok itu, mulai terdengar tak sabaran. "Di mana dia?"

"Aku tidak yakin," jawab Foxie. "Maksudku, sejak aku masuk ke dalam sini, tidak ada siapa-siapa."

"Lalu, bagaimana kau bisa masuk ke dalam sini?" tanya lelaki itu, curiga.

"Ah, itu... karena aku... pernah kemari sebelumnya. Aku ini juga tinggal di apartemen ini," jawab Foxie. Semakin lama, ia semakin terbata-bata.

"Jaeha akan tidak pernah membiarkan orang asing masuk ke dalam ruangan pribadinya," tandas suara itu. "Mengapa kau terus melirik ke arah pintu kamar Jaeha?"

Jantungku langsung berpacu cepat dalam dadaku. Sialan, Foxie! Wanita itu sama sekali tidak bisa berakting! Sekonyong-konyong, pintu yang kujaga ini mendapat dorongan dari luar. Aku berusaha keras untuk tetap membuatnya tertutup.

"Mengapa pintu ini terkunci?" tanya suara itu lagi.

Foxie tergagap, "Uh, aku tidak tahu...."

Lagi, seseorang itu mendorong pintu kamar Jaeha. "Sebenarnya apa yang kau sembunyikan di dalam sini?"

"Tunggu, tunggu!" teriak Foxie. "Aku... aku bisa jelaskan—"

"Han Jaeha!" panggil sosok itu. Ia mendorong pintu ini dengan lebih kuat. Sialan! Bagaimana bisa aku menjaga pintu ini agar tetap tertutup? "Apa kau ada di dalam?"

"Tidak ada siapa pun di dalam sana!" pekik Foxie.

"Jika kau tidak membuka pintu ini, aku akan memanggil petugas keamanan," ucap sosok itu.

Sialan! Apa-apaan lelaki ini?!

Sebelum itu semua terjadi, aku sudah membuka pintu itu sedikit dan menjengukan kepalaku keluar. Lelaki itu terbelalak melihatku yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Selagi tersenyum canggung, aku berpikir keras mengenai apa yang harus aku lakukan setelah ini.

"Oh, hai," ujarku pada akhirnya. "Apa kau mencari... Jaeha?"

Tak menjawab, ia malah balik bertanya, "Siapa kau? Apa yang kau lakukan di dalam kamar Jaeha?"

Otakku berputar-putar. "Jika ada pria dan wanita berada di dalam satu kamar... kau pikir apa yang sedang mereka lakukan?" tanyaku, lalu tertawa gugup.

"Apa maksudmu?" Ia melipat dahi. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Di mana Han Jaeha?!"

"Dengar," ujarku. "Aku sama sekali tidak bisa membiarkanmu masuk... karena—"

"Han Jaeha!" seru lelaki di depanku untuk kesekian kalinya.

Tiba-tiba ia mendorong pintu kamar ini dengan sekuat tenaga. Aku pun sekonyong-konyong terhentak ke belakang. Terlambat bagiku untuk menghalaunya. Maka, mau tak mau, pintu itu terbuka lebar dan dia langsung merangsek maju. Aku menariknya kuat-kuat, tetapi semua sudah terlambat.

Dia telah melihat Jaeha yang kini sedang terbaring di atas ranjang, tidak sadarkan diri. Kehadiran Ash yang kini sedang menjahit luka Jaeha dengan laser semakin memperkeruh keadaan.

"Apa...," ujar sosok itu. Lantas, ia berhamburan ke arah Ash. Aku langsung meraih tangannya dan menariknya mundur kuat-kuat. "Lepaskan aku!"

"Dengarkan aku—"

"Apa yang kau perbuat pada Jaeha?!" sentaknya.

"Jika kau mencoba untuk tenang sebentar saja—"

"Benda ini... apa?" Dia menatap ke arah Ash dengan sorot mata tak percaya. "Apa yang benda ini perbuat pada Jaeha?!"

"Erisha, bantu aku! Kunci kedua tangannya!" teriak Foxie.

Sigap, aku segera menarik tangan sosok itu dan mengunci kedua tangannya dari belakang. Dia sempat memberontak, tetapi aku semakin menguatkan cengkeramanku kepadanya hingga membuatnya merintih lirih.

"Apa-apaan kau ini?! Lepaskan aku!" jeritnya.

Kemudian tanpa aba-aba, Foxie sudah melangkah maju. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaket kulitnya yang ternyata adalah sebuah jarum suntik. Secepat kilat, Foxie menancapkan jarum itu ke ceruk leher lelaki yang kini sedang kukunci kedua tangannya. Seketika, dia memekik keras-keras.

"Sialan! Apa yang kau lakukan padaku?!" serunya. "Apa yang baru saja kau suntikkan?!"

"Tenanglah, kau akan baik-baik saja," jawab Foxie. Lalu wanita itu menatapku. "Lepaskan dia."

"Kau yakin?" tanyaku.

"Menurut perhitunganku, obat itu akan bekerja dalam—"

Mendadak, lelaki ini sudah jatuh ke atas kedua lututnya. Aku langsung melepaskan tanganku darinya. Ia mengeram keras selagi memegangi kepalanya.

"Apa yang... sudah kau lakukan... padaku...?" lirihnya.

Tak butuh waktu lama bagi lelaki itu untuk sepenuhnya tersungkur ke atas lantai tak sadarkan diri. Setelah hal itu terjadi, untuk beberapa saat aku dan Foxie hanya sanggup menghirup napas banyak-banyak. Kehadiran lelaki yang sama sekali tak diundang ini benar-benar membuatku lupa bagaimana cara untuk bernapas.

"Oke... bagaimana kau bisa memiliki jarum suntik berisi obat bius di dalam kantungmu...?" tanyaku.

Foxie mengangkat bahu. "Aku hanya punya firasat jika hal seperti ini akan terjadi."

"Apa kau ini cenayang?"

Wanita itu menyernyitkan dahi. "Tentu tidak," jawabnya. "Aku hanya tidak pernah mengabaikan intuisiku."

Mendengar hal itu, aku terdiam. Ini bukan pertama kalinya Foxie mengatakan hal-hal yang sama sekali tak kumengerti.

Hingga tiba-tiba, ia berucap, "Baiklah... apa yang harus kita perbuat dengan lelaki ini?"

*