Dengan amat sangat terpaksa, aku menoleh kaku. Kulihat Eunso yang sedang melambaikan tangannya ke arahku dari depan ruangan Jaeha. Lantas, aku tersenyum kaku.
"Oh, hey," sahutku, mati gaya.
"Apa yang sedang kau lakukan?" Eunso berlari ke arahku.
"Oh, uh, aku salah lantai," jawabku sambil menyunggingkan seulas senyuman bodoh.
Sekonyong-konyong, Eunso meraih pergelangan tanganku dan menarikku kembali. "Kemari sebentar, aku harus memperkenalkanmu pada temanku!"
Aku berusaha menarik tanganku kembali, tetapi aku rasa itu percuma. Jaeha sudah melihat wajahku. Akan semakin mencurigakan jika aku malah melarikan diri begitu saja. Oleh karena itu, dengan pasrah aku mengikuti ke mana perginya Eunso menyeretku.
"Hey, Jaeha, ini teman yang tadi kuceritakan!" seru Eunso ketika kami sudah berada di depan lelaki itu.
Jaeha memandangku dengan sorot mata dingin. Kurasakan bulu tengkukku berdiri tegak. Jika tatapan bisa membunuh, kupikir aku sudah mati sekarang.
"Kenalkan, ini Erisha," Eunso memperkenalkanku. "Dan, Erisha, ini Jaeha."
"Uh, hai?" sapaku, yang terdengar lebih mirip seperti pertanyaan.
"Erisha bilang kalian sudah pernah bertemu, tetapi aku yakin jika kalian berdua belum berkenalan secara resmi, kan?" Eunso berceloteh dengan riangnya.
Sialan. Apa-apaan yang bocah ini lakukan?
"Eunso," panggil Jaeha tiba-tiba. "Mengapa kau tidak kemasi barangmu dan temui aku di pintu masuk apartemen?"
"Eh?" Eunso menatap Jaeha penuh tanda tanya. "Mengapa? Ada apa?"
Jaeha menatap Eunso tajam. Sepertinya, Eunso sudah hapal dengan kelakukan itu. Ia pun dengan patuh masuk ke dalam dan kemudian keluar dengan membawa tasnya.
Ketika Eunso sudah berada di luar, ia berkata, "Memang mengapa kau—"
Ucapan Eunso terpotong karena tiba-tiba saja Jaeha meraih lenganku dan menarikku masuk ke dalam ruangannya. Aku yang tak sempat melawan pun langsung terhentak maju. Sepersekian detik kemudian, Jaeha sudah membenturkan punggungku ke pintunya yang sudah ia tutup rapat-rapat.
"Hey, Jaeha! Apa-apaan yang kau lakukan?!" Eunso berseru dari luar.
"Tunggu aku di pintu masuk apartemen!" teriak Jaeha balik.
"Tetapi—"
"Se-ka-rang!" perintah lelaki di depanku.
Setelahnya, Eunso tak lagi bersuara. Kudengar langkah kakinya perlahan menjauh dari depan kamar. Kemudian, aku—yang masih terkaget-kaget—berusaha untuk mengumpulkan kesadaranku kembali.
Aku membuka mulut, "Oke, tetapi, maaf, apa yang sedang kau lakuka—"
Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, Jaeha sudah melangkah mendekat dan langsung mengunciku dengan kedua tangannya. Spontan, aku menekuk lututku, karena jika tidak, hidungku akan menyentuh wajahnya mengingat tinggi kami yang hampir sama.
"Kau," panggilnya.
Entah mengapa, mendadak aku merasa ciut. Belum pernah aku menjumpai Jaeha dengan aura yang seperti ini. Aura yang begitu mengintimidasi yang mampu membuatku rasanya ingin langsung ambil langkah seribu. Ekspresi wajahnya pun yang begitu dingin. Dapat kusaksikan Jaeha saat ini tengah mengatupkan rahangnya kuat-kuat.
"Apa rencanamu terhadap Eunso?" tanyanya tanpa tedeng aling-aling.
Aku mengerutkan dahi. "Maaf...?"
Jaeha memukul pintu di balik punggungku dengan kepalan tangannya. Jantungku seolah ingin meloncat keluar. "Jangan berpura-pura tidak tahu!" serunya. "Untuk apa kau melibatkan Eunso ke dalam urusan kita? Kau ingin memerasnya juga, begitu?"
"Baiklah, kurasa ada sedikit kesalah pahaman di sini...," ujarku selagi mendorong tubuh Jaeha menjauh. Namun, lelaki itu kembali merangsek maju dan mengunciku di antaranya dan pintu di belakangku, lagi.
"Dengarkan ini baik-baik," ujarnya, dingin. "Aku tidak peduli jika kau menulis artikel tentangku. Aku tidak peduli jika kau menyebarkan rahasiaku ke publik dan menghancurkan karirku, tetapi jika kau berani macam-macam pada Eunso, atau teman-teman terdekatku di band...."
Jaeha menatapku lurus-lurus tepat ke dalam kedua mataku. Rasanya aku telah ditelanjagi oleh sorot matanya yang begitu intens dan mengintimindasi.
"Aku tidak akan pernah memaafkanmu," lanjut Jaeha, lirih. Namun, perkataan itu seolah mampu menamparku keras-keras.
Mengapa di saat karirnya ada di tangan orang asing sepertiku—yang pasti ia anggap sebagai ancaman—lelaki ini malah masih memedulikan orang lain, bukan malah dirinya sendiri?
Di saat seperti ini, tiba-tiba saja aku melihat peluang.
"Jadi, beritahu aku, apa yang sudah kau rencanakan untuk Eunso?" desak Jaeha.
"Aku sama sekali tidak—"
"Jangan berbohong padaku," Jaeha membuat penekanan dalam kalimatnya.
Aku memejamkan mata sejenak. Berusaha memproses apa yang sedang terjadi di dalam kepalaku.
"Baik, dengarkan aku dulu, oke?" Kudorong lagi tubuh Jaeha, kali ini dia benar-benar melangkah mundur. "Aku tahu mungkin sekarang kau menganggapku sebagai seorang bajingan, tetapi kau harus tahu, aku melakukan ini untuk kebaikanmu sendiri."
Jaeha langsung tertawa sarkastik. "Kebaikanku kau bilang? Kau bahkan—"
"Dengarkan aku," aku memotongnya cepat. "Andai jika kau bersifat lebih kooperatif sejak awal, semua hal ini tidak harus terjadi."
Selagi menyernyitkan kening, Jaeha bertanya, "Apa maksudmu?"
"Aku sudah pernah mengajukan penawaran padamu, ingat? Aku sudah berusaha untuk membuat ini semua menjadi lebih baik, tetapi kau menolakku mentah-mentah," jawabku. "Sekarang kau memintaku untuk tidak melibatkan Eunso atau teman-temanmu yang lain, yah, di dalam kondisi seperti ini, aku tidak bisa berjanji."
Jaeha menatapku, murka. "Apa yang kau bicarakan?" tanyanya. "Jangan bilang, kau...."
Aku mengangguk kecil. "Ya, aku tidak bisa berjanji jika aku tidak akan melibatkan teman-temanmu ke dalam hal ini," jawabku. "Nyatanya, akan kulakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang aku mau."
"Apa yang kau mau?"
Aku tersenyum kecil. "Menjadi pengawal pribadimu," jawabku, kalem.
Kulihat Jaeha menggepalkan kedua tangannya erat-erat. "Kau pikir aku akan percaya dengan alasanmu itu?" geramnya. "Beritahu aku tujuanmu yang sebenarnya!"
Aku mengidikkan bahu. "Memang hanya itu tujuanku," jawabku. "Aku memang bajingan, kau bisa katakan itu, tetapi kau perlu tahu satu hal: aku bukan pembohong."
Jaeha hanya mampu menatapku dengan sorot matanya yang berkilat-kilat murka. Namun, kini aku tak gentar. Aku sudah lelah melihatnya menyalahartikan tujuan baikku.
Aku melanjutkan, "Tetapi, aku tahu kau tidak akan mengubah keputusanmu, bukan begitu?" Aku membuang napas. "Jadi, kurasa ini semua percuma saja."
Aku pun membalikkan badan dan membuka pintu apartemen Jaeha. Namun, sebelum aku benar-benar melangkah keluar, aku menoleh ke arahnya.
"Satu hal lagi," ujarku. Aku menatap lelaki itu tepat ke dalam matanya. "Aku tidak akan segan-segan melakukan apa pun untuk mencapai tujuanku. Bahkan jika aku harus mengotori kedua tanganku sendiri."
Aku langsung berjalan keluar dan menutup pintu. Aku melangkahi koridor itu dengan senyuman lebar menghiasi wajahku. Aku rasa aku ingin meledak saking bahagianya aku saat ini. Aku merasa seperti ini karena aku yakin setelah ini....
"Tunggu!" sebuah suara memanggilku.
Gotcha.
Aku langsung menoleh dan menjumpai Jaeha yang kini berdiri di depan pintu apartemennya. Aku hanya mengangkat alis sebagai jawaban.
"Nanti malam... datanglah kemari, tepat jam 9 malam," ujarnya.
"Untuk apa?" tanyaku. Padahal, aku sudah tahu jawaban atas pertanyaan yang kuajukan.
"Aku ingin kau menandatangai kontrak resmi sebagai pengawal pribadiku," jawabnya. Jaeha mengalihkan pandangannya dan bersiap untuk masuk ke dalam ruangannya kembali. "Jam 9 malam. Jika kau terlambat, lupakan saja kontrakmu."
Ketika pintu ruangan Jaeha tertutup, aku tidak bisa lagi menyembunyikan senyuman lebar di wajahku. Bahkan, ketika aku sampai di depan ruanganku, sebuah cengiran bodoh itu masih tak lekang dari bibirku.
Kena kau, Jaeha. Kena kau.
*