Nama alat itu adalah Pulse Detector. Fungsi alat ini memang seperti namanya, yakni mendeteksi detak jantung. Namun, bukan hanya itu kegunaanya. Pulse Detector—atau yang biasa para dokter singkat menjadi PD—mampu menampilkan informasi mengenai kondisi tubuh pasien langsung ke komputer yang terhubung dengan sistemnya.
PD mampu mendeteksi kecepatan denyut jantung, kapasitas oksigen yang ada di dalam darah, bahkan hingga suhu tubuh pasien. Di tahun 2050, ini menjadi alat yang wajib dimiliki setiap rumah sakit yang ada. Penggunaan PD yang praktis pun bisa membuat pasien mampu mengoperasikan alat ini sendiri, tentu saja jika mereka punya cukup uang untuk membelinya. Alat ini harganya ratusan juta dolar. Meskipun bentuknya cukup sederhana, yakni lempengan persegi yang terbuat dari besi tipis dengan serabut tipis di tepinya, alat ini memiliki manfaat yang luar biasa bagi dunia medis.
"Kau... serius?" ujar Foxie pada akhirnya.
Aku mengangguk mantap. "Oke, aku tahu ini terdengar gila, tetapi dengarkan aku—"
"Erisha, kau pasti sedang bercanda," sela Foxie. "Jika kita memakai alat ini, kita harus melakukan operasi besar terhadap Jaeha. Dan bagaimana menurutmu kita bisa melakukan itu?!"
Memang. Jika ingin mengaplikasikan PD, aku harus mengoperasi Jaeha secara langsung dan menempelkan alat itu tepat di jantungnya.
Aku berucap, "Fox, biarkan aku menjelaskan—"
"Tidak, kita tidak akan melakukan itu," potong Foxie cepat. "Erisha, apa kau sudah gila? Terlalu banyak risiko jika kau benar-benar melakukan ini!"
"Lalu, rencana apa yang kau punya?" tantangku. "Kau hanya akan duduk seharian di apartemen ini, menunggu keajaiban datang, selagi berharap jika Jaeha baik-baik saja di luar sana?"
Mendengarku, Foxie tampaknya tak kalah naik pitam. "Erisha Kaeler, seandainya saja kau bisa bersabar dan—"
"Bersabar?" ulangku disusul tawa sarkastik. "Kau memintaku untuk bersabar? Oh, maaf, Fox, aku tidak diciptakan untuk bersabar. Setidaknya, tidak lagi. Karena kau tahu apa yang terjadi saat terakhir kali aku bersabar? Orang tuaku mati di hadapanku sendiri. Itu hasil dari kesabaran yang pernah kudapat."
Mendengar ucapanku, Foxie bungkam.
"Kau pikir... kau pikir aku bisa tenang di saat segala hal buruk bisa terjadi pada Jaeha di luar sana?" Kutatap Foxie dengan sorot mata tak percaya. "Bersabar... bersabar, kau bilang? Apa kau ingin hal yang sama terjadi pada Jaeha? Apa kau ingin aku mengulangi kesalahanku untuk kedua kalinya?"
Ekspresi Foxie mulai melunak. "Erisha, aku tidak—"
"Dulu aku seorang yang penyabar, Fox, kau harus tahu," aku tak mengindahkan ucapan Foxie. "Aku bersabar. Aku berharap. Dan untuk berjaga-jaga apabila Tuhan itu memang ada, aku juga berdoa. Aku berharap orang tuaku bisa sembuh, aku berdoa agar Tuhan menyelamatkan mereka. Aku sudah bersabar untuk menjalani kehidupanku. Namun, kau tahu apa yang kau dapat?"
Foxie memandangku, tatapannya penuh dengan rasa empati—salah satu hal yang paling kubenci.
"Yang kudapat adalah...," aku menarik napas dalam-dalam, dadaku mendadak terasa sesak, "yang kudapat... adalah kabar dari dokter bahwa mereka sudah mati."
Foxie langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja aku ucapkan. Tatapannya itu mutlak menghujaniku dengan simpati yang sama sekali tak pernah kubutuhkan.
"Jadi...," aku mengatur napasku, "jika kau memintaku untuk bersabar, maaf, aku tidak bisa. Karena aku akan melakukan apa pun untuk menyelamatkan Jaeha. Aku hanya akan berpegangan pada apa yang saat ini aku punya."
Hingga kini, Foxie masih tak berkata apa-apa. Aku pun juga tak mengharapkannya untuk mengucapkan apa pun.
"Aku tahu kau seorang perencana yang hebat, seseorang dengan pemikiran yang selalu berorientasi pada masa depan. Namun, aku hanya ingin kau menyadari satu hal, Fox," kataku. Suaraku semakin lama semakin gemetar. "Yang kau miliki hanya saat ini. Jangan terbuai dengan apa yang dijanjikan oleh masa depan. Jangan sampai kau menyesal ketika suatu hari nanti sesuatu yang kau punya berubah menjadi sesuatu yang pernah kau punya."
Setelah itu, aku langsung berhamburan masuk ke dalam kamar. Aku membuka jendela lebar-lebar dan menghirup udara malam sebanyak yang aku bisa. Meskipun demikian, dadaku masih terasa sesak. Rasanya kedua mataku pun semakin kabur dengan air mata. Aku mengumpat dalam hati. Mengapa aku jadi emosional seperti ini?
Mungkin aku jadi sensitif ketika Foxie mengatakan semua omong kosong itu: bahwa aku harus membiarkan Jaeha untuk membunuh dirinya sendiri berkali-kali sebelum akhirnya benar-benar menyelamatkannya. Membayangkan lelaki itu meregang nyawa saja membuatku sesak napas, bagaimana aku bisa melakukan itu?
Aku tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkan Jaeha mengalami itu semua.
Tiba-tiba saja Foxie memasuki kamar. Aku langsung mengusap kedua mataku dengan tangan. Perlahan, wanita itu mendekatiku dan berdiri tepat di sebelahku. Kami sama-sama menatap keluar jendela, di mana aku menemukan ratusan gedung pencakar langit di kota Seoul yang seolah-olah sedang berlomba memamerkan kemegahan mereka.
"Aku benar-benar minta maaf," lirih Foxie. "Maafkan perkataanku, Erisha." Ia meraih pundakku. Aku mengalihkan pandangan.
"Aku tidak butuh permintaan maafmu," ujarku dingin. "Tunjukkan rasa bersalahmu dengan menemukan cara untuk menyelamatkan Jaeha."
"Sebenarnya... aku punya ide lain," ujar Foxie.
Aku langsung menoleh ke arahnya.
"Kau tadi bilang jika... yang aku miliki hanya 'saat ini', dan bahwa jangan sampai aku menyesal karena kehilangan sesuatu yang pernah jadi milikku, bukan begitu?"
Aku mengangguk. "Lalu apa hubungannya itu dengan rencana barumu ini?"
"Sebenarnya, waktu sudah tidak bekerja dengan teori itu lagi," jawab Foxie. "Kau bilang yang aku punya hanya 'saat ini', di saat faktanya, aku bisa pergi ke masa depan maupun masa lalu. Aku juga bisa menghindari kehilangan sesuatu dengan cara pergi ke masa lalu agar aku bisa memperbaiki kesalahanku. Bukankah itu benar?"
Mendengar hal itu, aku tersenyum masam. "Ilmuwan gila sepertimu memang membuat waktu tidak lagi berharga, hm?" ujarku sarkastik. "Kau bisa pergi ke masa depan atau masa lalu sesuka hatimu. Menakjubkan sekali."
Foxie menghela napas lelah. "Dengar, aku tidak bermaksud seperti itu," katanya. "Aku hanya ingin bilang jika perkataanmu menginspirasiku."
Aku terkekeh. "Aku memang inspiratif."
"Erisha, aku serius." Foxie memutar bola mata. "Aku berpikir kalau... waktu tidak bekerja sesuai dengan teori itu... mengapa tidak pergi ke masa depan saja untuk mengetahui kapan Jaeha bunuh diri?"
Aku langsung melipat dahi. "Maksudmu, kita pergi ke masa depan untuk memastikan kematian sebenarnya dari Jaeha?"
Samar, Foxie mengangguk.
"Tetapi, bukankah itu melanggar peraturan perusahaan?" tanyaku.
Foxie mengidikkan bahu. "Di kasus yang memang sejak awal sudah melanggar aturan, aku rasa merusak peraturan yang lain juga tidak masalah."
"Tetapi... bagaimana cara kita pergi ke masa depan?" Aku memutar otak. "Bukankah portal itu hanya bisa dibuka dari masa depan? Tepatnya, oleh orang yang bekerja pada portal itu di perusahaan."
"Tidak karena aku ada di sini," jawab Foxie. Ia tersenyum miring. "Aku berhasil menemukan formula untuk membuka portal itu kapan pun aku mau."
Aku menganggukan kepala. "Itu keren," komentarku. "Jadi kita akan pergi ke masa depan sekarang?"
Foxie menggeleng. "Bukan 'kita', hanya aku."
Aku memandangnya penuh tanda tanya. "Selama kau pergi, apa yang akan aku lakukan?" tanyaku. "Kau sama sekali tidak menyetujui satu pun rencana yang aku buat."
"Aku berubah pikiran," jawab Foxie. "Lakukan apa pun yang kau mau, selama itu bisa membuat Jaeha tetap hidup, lakukanlah."
Aku menatap Foxie dengan sorot mata ragu. "Kau... yakin?"
Foxie menganggukan kepala. "Lagipula, ini percobaan pertamaku untuk pergi ke masa depan dengan membuka portal dari masa lalu," terangnya. "Aku masih tidak tahu apa yang akan terjadi. Bisa saja aku terjebak di dimensi waktu dan tidak pernah kembali. Jika begitu ceritanya, akan lebih baik untuk hanya kehilangan satu orang, daripada dua."
Mendengar pernyataan Foxie, aku terbelalak. "Foxie, kau tidak berkata kalau kau mengorbankan dirimu sendiri, kan?"
Canggung, wanita itu tertawa. "Jangan salah paham. Sebagai ilmuwan, ini sudah menjadi tugasku," ujarnya. "Sedari awal, aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau aku hanya akan mendedikasikan hidupku untuk sains. Jika percobaan ini berhasil, bukankah itu akan berdampak baik bagi semua orang juga?"
"Tetapi, jika begitu adanya... bukankah berati setelah itu kau tidak akan bisa kembali ke masa depan?" tanyaku was-was.
Ia mengangkat bahu. "Itu terjadi jika aku benar-benar melangkah keluar dari dalam portal. Yang harus aku lakukan hanyalah meninggalkan secarik kertas berisikan pesan padamu. Dengan begitu, hanya pesan itu yang akan terjebak di zaman ini, bukan aku," jelasnya.
Aku menyanggah, "Tetapi, Foxie, kau tidak harus—"
"Shhh," desisnya. "Aku tidak menerima protes. Kulakukan ini semua untuk diriku sendiri, Erisha. Bukan untuk siapa-siapa. Jadi, kau tidak perlu khawatir."
Foxie tersenyum ke arahku. Senyuman pertama yang pernah kulihat di wajahnya. Mendadak aku merasakan satu semangat baru dalam diriku. Jika Foxie berani untuk mengorbankan nyawanya sendiri, maka aku harus melakukan hal yang sama. Aku akan melakukan apa pun untuk membuat usaha Foxie tidak sia-sia.
"Foxie...," panggilku.
Tanpa pikir panjang, kurentangkan tanganku dan menarik wanita itu ke dalam pelukanku. Untuk beberapa detik, kami hanya saling bertukar pelukan. Foxie mendekapku dengan tak kalah erat. Hingga kini, kami hanya berkomunikasi melalui desah napas saja. Karena, dalam keadaan seperti ini, untuk mengatakan sepatah kata pun susah.
Ketika pelukan itu berakhir, Foxie berkata, "Jadi, apa rencanamu, Agen Erisha Kaeler?"
Aku terbahak mendengar caranya memanggilku. "Apa yang menurutmu harus kulakukan, Doktor Foxie Daan?"
Wanita itu terkekeh. "Kali ini, aku serahkan semuanya padamu."
Aku menghela napas, berusaha mengumpulkan keberanian dalam diriku sendiri. "Baik. Jadi rencanaku adalah...."
*