"Kita memiliki sedikit perubahan rencana," ujarku begitu aku memasuki ruanganku.
Foxie yang rupanya sedang fokus ke arah tablet transparan yang ia bawa dari masa depan, langsung mendongak dan mengangkat sebelah alis. "Perubahan rencana... apa?"
"Aku berhasil membujuk Jaeha untuk menjadikanku sebagai pengawal pribadinya," jawabku selagi menghenyakkan tubuhku ke atas sofa di samping Foxie.
Foxie langsung menatapku dengan sorot mata terkejut. "Bukannya kita sudah sepakat jika kita tidak akan melakukan rencanamu itu...?"
Aku mengangguk. "Aku tahu, tetapi aku memiliki pemikiran lain," kataku. "Aku percaya jika akan lebih mudah bagiku untuk mengamati Jaeha apabila aku menjadi pengawal pribadinya."
Tak menjawab, Foxie malah melipat tangan di depan dadanya dan memandangku, seolah meminta penjelasan lebih.
"Oke, jadi begini." Aku membenarkan posisi dudukku. "Kau bilang jika kita harus mengamati, bukan? Namun, kita tentu tidak bisa melakukan itu jika Jaeha berada di tempat yang tertutup. Jadi aku berpikiran untuk mengikuti Jaeha ke tempat-tempat yang tidak bisa diakses orang luar adalah rencana yang bagus...."
Foxie masih diam. Tak bergeming. Tatapannya itu seolah berkata, "Kau sudah menghancurkan rencana kita satu-satunya."
Tanpa memedulikan hal itu, aku memutuskan untuk melanjutkan, "Foxie, percayalah padaku. Kali ini pasti rencana ini berhasil."
"Kau... sangat keras kepala, Erisha." Foxie mengalihkan pandangan dan mengusap wajah kasar. "Apa yang membuatmu yakin jika rencana ini akan berhasil?"
"Aku bisa memerhatikan Jaeha selama 24 jam penuh," ucapku mantap.
"Lalu, jika kau melihat dia sedang meregang nyawa, apa yang akan kau lakukan?" tanya Foxie.
"Tentu aku tidak akan langsung menyelamatkannya sampai aku rasa aku perlu turun tangan," jawabku cepat. "Seperti apa yang sudah kau rencanakan."
"Tetapi, apa kau masih bisa melakukan itu di saat kau menjadi pengawalnya?" Foxie mengangkat sebelah alis.
Pertanyaan itu membuatku terdiam. Otakku langsung memproses apa yang baru saja ia katakan. Kemudian, sesuatu yang baru saja kusadari itu seakan menampar pipiku keras-keras.
"Aku... aku ini... benar-benar idiot...," ujarku dengan tatapan kosong. "Aku... sudah menghancurkan segalanya... bukan begitu?"
Foxie tersenyum masam. "Kau baru menyadarinya, hm?"
"Oh, tidak, tidak...," gumamku.
Foxie pada akhirnya hanya sanggup membuang napas lelah. Seharusnya aku mendengarkan apa yang Foxie katakan. Seharusnya aku tidak melakukan ini semua. Seharusnya aku.... tidak... aku tidak....
"Menjadi pengawalnya malah akan membuatmu semakin sulit menjaga batasan dengan Jaeha," ujar Foxie. "Karena jika kau menjadi pengawalnya, otomatis kau harus menjaga keselamatan Jaeha... sepenuhnya."
Aku masih terus mengutuki diriku sendiri. Foxie pun memutar bola mata.
"Kau ini sama sekali tidak berpikiran panjang, ya?" komentar Foxie.
"Tetapi... tetapi aku masih bisa membuat alasan!" seruku. "Jika sesuatu terjadi pada Jaeha, aku akan berpura-pura tidak tahu. Aku akan bilang jika aku tidak ada di sekitarnya saat hal itu terjadi, sehingga aku tidak bisa melakukan apa-apa."
"Kau bisa melakukan itu," sahut Foxie. "Tetapi, jangan cari aku jika orang-orang menyalahkanmu karena kau dibilang tidak becus sebagai pengawal pribadi seorang idol."
Kali ini, ucapan Foxie benar-benar mampu membungkan mulutku. Aku sama sekali tidak berpikir sejauh itu. Yang aku pikirkan hanyalah bagaimana cara membuat Jaeha tetap aman, dan tanpa aku sadari, aku sudah menggali lubang kuburanku sendiri.
"Tetapi, tetap saja...," aku berusaha membela diriku sendiri. "Jika aku tidak menjadi pengawal Jaeha, aku tidak bisa mengawasi di tempat-tempat pribadinya, kan?"
"Ini adalah masalah yang masih kucari solusinya," jawab Foxie. "Seharusnya ada alat dari masa depan yang bisa mengatasi masalah ini. Kau sama sekali tidak perlu untuk bertindak sejauh ini."
Ucapan Foxie itu makin membuat rasa bersalah bercokol dalam diriku. Andai aku tidak terlalu gegabah... andai aku bisa berpikir sedikit lebih jernih daripada ini....
"Tetapi, kau masih bisa membatalkan persetujuan ini, bukan?" tanya Foxie tiba-tiba.
"Uh..., iya, aku belum menandatangani kontrak secara resmi," jawabku.
"Baguslah kalau begitu." Foxie bangkit dari tempat duduknya. "Aku ingin kau membatalkan kontrak itu."
Aku menatap wanita itu selagi dia berjalan memasuki kamar. Sebelum dia benar-benar menutup pintu, dia menoleh dan berkata, "Setelah ini, jangan lakukan apa pun tanpa persetujuanku. Mengerti?"
Maka tiada hal lain yang bisa kulakukan selain mengaggukan kepala.
*
Seharian ini, aku sama sekali tidak keluar dari apartemenku. Bahkan aku tidak mengikuti Jaeha lagi ketika dia berpergian seperti kemarin. Lebih tepatnya, Foxie yang melarangku untuk melakukan itu. Wanita itu bersikeras kalau Jaeha akan baik-baik saja. Pada akhirnya aku terpaksa untuk mengiakan ucapannya.
Sejak pagi tadi, aku dan Foxie sibuk berdiskusi mengenai rencana kami. Aku pun sudah menyetujui untuk membatalkan kontrak dengan Jaeha. Sebagai gantinya, kini Foxie sedang bekerja keras untuk mencari alat yang paling tepat untuk memantau Jaeha meskipun kami sedang tidak berada di dekatnya.
Sederet peralatan canggih dari masa depan sudah Foxie pertimbangkan. Dari kontak lensa bernama Capture yang mampu merekam video dan menyiarkan video itu langsung ke perangkat yang kami bawa, kemudian cip yang telah kutempelkan ke tubuh Jaeha, bahkan hingga teknologi canggih yang masih berupa konsep dasar pun tak luput dari pertimbangan Foxie. Namun, sejauh ini kami belum menemukan satu alat pun yang cocok.
Jika memakai Capture, aku harus membuat Jaeha mengenakan lensa itu. Bukan masalah yang besar, tetapi bagaimana jika lelaki itu menanggalkannya? Kemudian, cip pendeteksi lokasi juga kurang efektif karena alat itu hanya mampu mendeteksi lokasi Jaeha berada tanpa memberi informasi visual lainnya. Selain itu, cip tersebut juga sewaktu-waktu bisa terlepas dan jatuh.
Selagi meneguk secangkir kopiku—yang entah sudah ke berapa—aku mengerang keras. "Astaga, alat apa yang kita gunakan?"
Foxie membuang napas lelah. "Aku menyerah," katanya.
Aku langsung menatapnya tajam. "Kau tidak boleh menyerah," kataku.
"Setidaknya, beri aku waktu untuk istirahat," gerutu Foxie. "Kita sudah bekerja seharian." Wanita itu merebahkan diri ke atas sofa.
Aku pun hanya bisa pasrah. Apa yang Foxie katakan itu benar. Sekarang saja jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Kami mungkin sudah terlalu memaksakan diri. Namun, mau bagaimana lagi. Nyawa salvaged-ku memang benar-benar berada di tangan wanita berkacamata ini. Jika dia tidak berhasil menemukan alat yang bisa membantu kami, aku sama sekali tidak tahu apa yang harus aku lakukan selanjutnya.
"Biarkan aku yang mencari sekarang," ujarku selagi mengulurkan tangan. Foxie langsung menyerahkan tablet transparannya itu kepadaku.
"Kau tidak akan menemukan apa pun," gumam Foxie. "Terlalu banyak barang-barang canggih dari masa depan. Yang mengherankan, sama sekali tidak ada yang bisa kita gunakan untuk kasus ini."
Aku tak menjawab dan mulai meneliti benda-benda yang tablet ini tampilkan di layar. Aku tengah menyusuri salah satu situs rahasia perusahaan yang memuat daftar nama barang-barang penemuan terbaru dari tahun 2050. Perusahaanku memang tidak hanya mengembangkan mesin waktu. Beberapa tahun belakangan ini, mereka juga sudah mulai melebarkan sayap di bidang teknologi. Mereka bahkan mengeluarkan telepon genggam, komputer, robot medis, robot tentara, dan banyak lagi. Aku yakin, terobosan baru mereka sama sekali tak bisa dihitung.
Di situs yang sekarang sedang kuselami, mereka membagi penemuan-penemuan canggih itu dalam beberapa kategori—yang sedihnya—sama-sama tidak terhitung. Aku menggeleng heran lantas mendongak ke arah Foxie.
"Hey, Fox," panggilku. "Kategori apa saja yang sudah kau periksa?"
"Hanya lima kategori sejauh ini: alat rumah tangga, elektronik, lokator, keamanan... ah, aku lupa," jawabnya lesu. "Alat dari masing-masing kategori itu ada banyak, sampai ratusan. Astaga, rasanya aku ingin muntah hanya dengan membayangkannya."
"Apa kau sudah memeriksa kategori kesehatan?" tanyaku.
"Belum," jawab Foxie singkat. Kulihat perlahan-lahan dia mulai memejamkan mata. Aku akan membiarkan dia tidur selama beberapa jam. Sebagai gantinya, giliran aku yang kini melakukan pencarian.
Aku pun segera menyusuri kategori demi kategori dengan teliti. Namun, kini aku menyadari apa yang Foxie maksud dengan ingin muntah hanya dengan membayangkan berderet-deret alat yang ada di situs ini. Karena memang begitu kenyataannya. Alat-alat ini ada begitu banyak! Mataku sampai sakit melihatnya.
Kemudian, iseng, aku membuka kategori alat-alat medis. Deretan alat yang kulihat merupakan benda-benda yang sudah pernah kugunakan saat aku masih aktif menjadi dokter. Sejauh ini, aku ragu akan ada alat yang bisa kukenakan dalam misi ini. Hingga, perhatianku jatuh pada satu alat itu.
Aku nyaris terjengit kaget dari tempatku duduk. Aku langsung mengguncang-guncang bahu Foxie dengan membabi-buta. "Fox! Foxie!" panggilku. "Aku... kurasa aku menemukannya?"
Dengan enggan, Foxie membuka mata. "Menemukan apa, tepatnya?" tanya wanita itu. "Alat yang bisa membantu kita? Kau yakin kali ini kau tidak sedang membahayakan misi kita lagi?"
Tak menjawab, aku hanya menunjukkan layar tabletnya yang sedang menampilkan informasi lengkap mengenai alat yang hendak kutunjukkan. Selama beberapa saat, Foxie hanya sanggup berkedip-kedip dan menatap layar tablet yang kubawa lekat-lekat. Setelah beberapa saat, barulah ia beralih memandangku.
Foxie membuka mulut, "Kau... serius?"
*