Untuk pertama kalinya dalam 2 hari belakangan ini, pada akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk tidur. Meskipun tidurku sama sekali tidak nyenyak, aku patut bersyukur karena aku bisa tidur selama beberapa jam.
Aku dan Foxie pun setuju untuk berbagi ranjang. Sebenarnya Foxie memintaku untuk tidur di atas sofa. Dia bilang dia masih mengalami efek pasca distorsi waktu dan mengklaim butuh istirahat yang cukup dan berkualitas. Namun, siapa dia? Aku yang memesan kamar ini untuk satu bulan ke depan!
Kemudian, hal pertama yang aku lakukan ketika aku membuka mata pagi ini adalah: menyambar ponselku yang ada di atas nakas dan langsung memeriksa kondisi kamar Jaeha.
Rupanya, dia dan Eunso sedang sarapan di meja makan. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan, tetapi raut wajah Eunso tampak serius sekali. Mendadak aku jadi resah. Sebenarnya apa yang sedang mereka bicarakan?
Apa jangan-jangan Eunso memberitahu Jaeha mengenai portal dan robot aneh yang dia lihat semalam?
Aku menggigiti bibir bawahku, sebuah kebiasaan yang kulakukan setiap kali aku resah atau tidak nyaman. Aku pun segera meloncat dari atas kasur. Aku baru menyadari bahwa Foxie sudah tidak ada lagi di sebelahku. Ke mana perginya wanita itu?
Lantas aku keluar dari kamar dan menemukannya sedang memasak di dapur. Begitu dia melihatku, ia menyuruhku untuk duduk di kursi meja makan. Namun, aku tidak melakukannya. Aku malah menyambar jaketku yang ada di atas sofa.
"Sebentar lagi masakanku selesai," ujar Foxie.
Mencium bau masakan Foxie, perutku mendadak menjadi keroncongan. "Aku tidak tahu kalau kau bisa memasak," celetukku selagi mengenakan jaket kulitku.
Mendengarku, Foxie tersipu. Ia tertawa renyah. "Aku hanya mencari resep di internet."
"Kau tidak berniat untuk meracuniku, kan?" Kami berdua terbahak. "Omong-omong, kapan kau pergi berbelanja?"
Foxie mengidikkan bahu. "Tadi pagi-pagi sekali," jawabnya. "Kau mau pergi?" Ia memerhatikanku yang sedang bersiap-siap.
Aku mengangguk. "Aku harus memeriksa sesuatu," kataku. "Aku tidak akan lama."
Aku pun segera melesat ke lantai 23, lantai di mana Jaeha berada. Aku memiliki firasat buruk mengenai hal ini. Aku khawatir jika Eunso memberitahu Jaeha mengenai hal yang ia lihat tadi malam. Kalau benar begitu, aku berharap bahwa Jaeha tidak akan mempercayai Eunso. Aku benar-benar berharap jika Jaeha hanya akan menganggap Eunso sedang mengigau.
Begitu sampai di lantai 23, aku langsung keluar dari lift dan berhenti tepat di depannya. Hanya ada satu atau dua orang di koridor ini. Aku melirik ke arah jam tanganku. Pantas saja. Sekarang masih jam 6 pagi. Ini berarti pertanda bagus.
Aku sedikit berjalan mendekati kamar Jaeha dan berhenti dalam jarak aman. Aku berpura-pura memainkan ponselku, kemudian, kutingkatkan kepekaan Receiver. Aku langsung bisa menangkap suara Jaeha dan Eunso yang sedang bercakap-cakap.
"Kau tahu, ini pertama kalinya aku mengalami hal seperti itu," ujar Eunso.
"Maksudmu, melihat hal-hal aneh saat kau sedang setengah mabuk?" itu suara Jaeha. "Melihat ada seorang wanita berkulit putih dan lubang hitam di kamar mandiku, seperti yang kau bilang?"
"Itu benar," jawab Eunso. "Semabuk apa pun aku, ini pertama kalinya bagiku untuk melihat hal seperti itu. Sebelumnya, tidak pernah begini," Eunso berkata dengan intonasi suara penuh kecurigaan.
"Tidak usah kau pikirkan. Aku yakin itu hanya halusinasi," sahut Jaeha.
Itu benar, anggaplah semua yang Eunso katakan adalah halusinasi belaka! Batinku menyoraki Jaeha.
"Tetapi, kau pikir ini tidak aneh?" ucap Eunso. "Maksudku, mengapa dari semua orang, harus orang itu yang muncul di halusinasiku?"
Jaeha terdiam. Sial. Perasaanku tidak enak.
"Mungkin aku kenal dengan salah satu wanita yang kulihat, yang menjadikan hal itu wajar. Namun, wanita yang satunya... aku bahkan yakin aku tidak pernah melihat dia sebelumnya. Lalu, untuk apa pula aku melihat ada lubang hitam di kaca kamar mandimu?" tutur Eunso. "Kau pikir ini normal?"
Jaeha membuang napas. "Mungkin, wanita yang muncul di halusinasimu itu... preferensi seksmu?" ujarnya.
Aku langsung melipat dahi. Apa-apaan maksud lelaki ini?
Jaeha melanjutkan, "Kau tahu, secara tidak sadar kita membayangkan seperti apa tipe pasangan ideal kita. Dan mungkin, wanita yang kau lihat itu adalah salah satu bagian dari delusi itu," jelasnya.
"Ahh, kau benar juga," jawab Eunso. "Wanita yang muncul semalam di halusinasiku memang tipeku!"
Tunggu. Apa yang dia maksud adalah... Foxie?
Jaeha terkekeh. "Memang wanita yang bagaimana?"
"Ah, kau harus menemuinya langsung. Kurasa dia orang Eropa, dia berkulit putih. Kulitnya eksotis, kau tahu. Selain itu, dia juga pintar berkelahi," ujar Eunso menggebu-gebu. "Aku suka tipe wanita maskulin!"
Tunggu. Jelas-jelas ada hal yang salah di sini. Eunso bilang... pintar berkelahi?
"Oh, ya?" tanya Jaeha. "Bagaimana kau tahu hal itu?"
"Oh! Kemarin ada hal menarik yang terjadi di gym," jawab Eunso.
Demi alam semesta, jangan ceritakan hal itu pada Jaeha! Batinku menjerit keras.
"Kemarin aku tidak sengaja bertemu dengan Seoyeon di sana. Saat itu dia sedang diganggu oleh seorang pria, tidak tahu siapa," ujar Eunso.
"Apa kau bilang? Seoyeon?" tiba-tiba suara Jaeha meninggi. Kutangkap nada kekhawatiran dari suaranya. "Dia diganggu oleh seorang lelaki? Apa dia baik-baik saja?"
"Kau seharusnya bertanya begitu kepadaku! Aku yang menjadi korban kekerasan bajingan itu karena aku mencoba untuk melerai mereka berdua," gerutu Eunso. "Lihat hidungku yang lecet ini! Kurasa riasan tebal saja tidak bisa menutupi luka ini."
"Ah, jadi dari situ lukamu itu berasal?"
"Itu benar," jawab Eunso. "Kuperhatikan, wajahmu juga sedikit memar? Apa yang terjadi?"
Aku menggigit bibir bawahku sendiri. Apa yang akan lelaki ini bilang mengenai luka yang kubuat...?
"Uh, itu tidak penting," jawab Jaeha. "Aku hanya diserang orang mabuk di jalan menuju ke apartemen."
"Sungguh? Itu mengerikan!"
Kurasa, Jaeha tidak berniat memberitahu Eunso mengenaiku. Firasatku berkata jika Jaeha memang tidak ingin masalah pribadinya diketahui orang lain. Lantas, mengapa? Bukankah Eunso juga merupakan salah satu anggota grup vokalnya? Itu berarti mereka seharusnya teman dekat.
"Lalu? Apa yang terjadi setelah itu?" Jaeha kembali bersuara.
"Ini bagian yang paling baik!" seru Eunso bersemangat. "Ketika aku sedang dipukuli oleh pria itu, tiba-tiba saja ada seorang wanita yang menolongku dan menghajar bajiangan itu tepat di hadapanku!"
"Hmm," gumam Jaeha. "Apakah wanita ini adalah wanita yang sama seperti yang ada di mimpimu?"
"Itu benar!" jawab Eunso, masih dengan intonasi suara menggebu-gebu. "Ahh, seharusnya kau berada di sana, wanita itu sungguh memesona saat dia berkelahi."
Sontak, bulu kudukku meremang. Ini pertama kalinya aku mendengar seseorang membicarakanku seperti ini. Bukannya senang atau tersipu malu, aku malah merasa kalau aku ingin muntah.
"Kau harus ingat posisimu, Eunso," ucap Jaeha. "Kau itu seorang idol. Jangan buat skandal percintaan tidak penting yang bisa menghambat karirmu."
Mendengar hal itu, Eunso terdiam.
"Aku memberitahumu ini bukan karena aku ingin menggurui, tetapi jika hal itu terjadi, seluruh anggota kita akan terkena dampaknya," tutur Jaeha.
Itu benar! Lanjutkan!
Tiba-tiba Eunso tertawa sarkastik. "Kau mengatakan hal itu seakan kau tidak akan terlibat skandal percintaan, Jae," ujarnya. "Jika kau selalu bersifat profesional sebagai idol, kau tidak mungkin dekat dengan Seoyeon sampai saat ini. Kau juga tidak mungkin membantu gadis itu dalam debutnya."
Seoyeon. Wajah gadis itu yang kemarin kutemui di tempat gym langsung berkelebat cepat di dalam kepalaku. Jadi, Jaeha mengenal Seoyeon? Siapa sebenarnya gadis ini?
"Hey, aku melakukan itu semua karena Seoyeon adalah teman masa kecilku," sangkal Jaeha.
Ah. Jadi begitu, batinku.
"Kita sudah berteman sejak kita mulai semua ini dari 0," lanjut Jaeha.
"Aku paham itu, tetapi aku rasa—kupikir semua orang juga merasa begini—kedekatanmu dengan Seoyeon itu sedikit... berlebihan, kau tahu?" ujar Eunso. "Bahkan, kau pernah digosipkan sedang menjalin hubungan dengan dia. Sampai agensi langsung melarangmu untuk bertemu dengan Seoyeon selama beberapa waktu."
Kini, giliran Jaeha yang terdiam begitu mendengar ucapan Eunso.
"Jadi, jangan beritahu aku hal yang bahkan tidak bisa kau beritahukan pada dirimu sendiri, oke?" ujar Eunso yang diakhiri dengan tawa lepas.
"Ah, aku sudah kenyang," tiba-tiba Jaeha mengalihkan pembicaraan. Kudengar suara decitan kursi yang keras disusul oleh suara langkah kaki.
"Hey, kau mau ke mana?" tanya Eunso. Kudengar lagi suara kaki kursi yang beradu dengan lantai.
"Aku ingin menemui Seoyeon. Aku khawatir dengan keadaannya," ujar Jaeha.
Eunso mencibir, "Aku bahkan belum selesai bicara dan kau sudah mau menemui pacarmu lagi?"
"Segera pergi dari apartemenku, oke?" Jaeha tak menghiraukan ocehan Eunso. "Aku tidak ingin kau menginap di sini lagi."
"Kau jahat, Jae. Kau tahu kalau kau jahat," gerutu Eunso.
Lantas, kudengar langkah kaki yang semakin dekat dengan pintu. Oh, tidak. Aku harus pergi dari sini.
Aku pun langsung membalikkan badan dan berjalan cepat menuju ke lift. Kemudian, kudengar Eunso—yang aku yakin sedang bersama dengan Jaeha di depan pintu—masih menggerutu, "Aku ingin menginap di sini sesekali. Memang kau tidak rindu dengan—tunggu, bukankah itu...?"
Sial, sial, sial. Aku mengumpat lirih selagi menekan tombol lift dengan membabi buta. Firasatku tidak enak. Aku harus enyah dari sini sekarang juga! Tiba-tiba saja....
"Hey, Erisha!" Eunso memanggil namaku.
Tamat sudah riwayatku.
*