"Kau... bercanda...?" hanya itu yang mampu kuucapkan.
Eunso menggelengkan kepala. "Tentu tidak," jawabnya.
"Tetapi, mengapa aku?"
Dia mengangkat bahu acuh. "Kau terlihat keren saat kau berkelahi," jawabnya. "Aku ingin melihat itu setiap hari."
Mendengar jawaban Eunso, aku hanya mampu mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?"
"Ah, sudahlah." Ia mengibaskan tangannya. "Yang terpenting, kau mau atau tidak?"
"Aku... aku tidak bisa," jawabku cepat.
Eunso mengerucutkan bibir. "Ah, mengapa tidak?!"
Bukan itu tujuanku datang ke masa lalu! Batinku menjerit keras.
"Ini tidak adil, kau tahu," protes Eunso. "Kau menyuruhku untuk memaksa Jaeha agar dia mau menerimamu sebagai pengawal, tetapi begitu aku memintamu untuk jadi pengawalku, kau tidak mau."
Eunso merajuk tak karuan. Dia mengguncang-guncang tubuhku dengan membabi buta.
"Hey! Hentikan!" seruku. Kudorong tubuh Eunso menjauh dariku. "Tenangkan dirimu!"
Begitu aku mendorong tubuh lelaki ini, dia malah langsung ambruk ke belakang. Aku menyernyit. Kini, Eunso sudah memeluk dirinya sendiri di atas karpet. Tampaknya, saat ini dia sudah tertidur dengan pulas. Aku pun membuang napas lelah.
Mendadak, kedua mataku menjadi begitu berat. Aku menguap lebar-lebar. Aku baru ingat, aku sudah dua hari tidak tidur dan istirahat. Tak heran jika tubuhku rasanya remuk redam. Aku pun mengusap wajah kasar.
Aku tidak boleh tertidur sekarang. Masih ada satu hal yang harus aku lakukan. Aku harus pergi ke gang buntu di mana portalku pertama kali muncul. Jika perhitunganku benar, portal itu akan muncul dalam beberapa jam di tempat yang sama. Aku memang tidak berniat untuk kembali ke masa depan, setidaknya, masih belum. Namun, aku akan memasukkan pesan ke dalam portal itu agar Foxie bisa membacanya. Akan kusampaikan kalau aku telah membuat kesalahan dan terpaksa harus tinggal di zaman ini lebih lama lagi.
Dengan langkah terhuyung karena aku sudah setengah mengantuk, aku berjalan ke kamar mandi. Aku akan mencuci wajahku sebelum pergi dari sini. Aku pun menyalakan keran dan mulai membasuh wajahku dengan air dingin yang mengalir.
Sekilas, aku melihat refleksi diriku sendiri di cermin. Wajahku tampak mengerikan. Dampak dari tidak tertidur dalam 2 hari rupanya begitu dahsyat. Kantung mataku mulai menghitam. Aku menggelengkan kepala. Itu tidak penting. Yang penting sekarang adalah aku harus—
Tiba-tiba saja aku terpaku di tempat. Aku menyaksikan sesuatu yang mampu membuat otot-otot tubuhku mendadak jadi kaku.
Di cermin itu, ada sebuah lubang hitam yang entah muncul dari mana. Dan, yang paling mengerikan... lubang itu semakin membesar! Aku pun melangkah mundur. Untuk beberapa saat aku hanya mampu menatap ke arah lubang itu tanpa tahu apa yang harus kuperbuat.
Semakin lama, lubang kehitaman itu berputar-putar bak tornado dan jadi semakin besar. Jantungku seolah ingin meloncat keluar dari dalam tubuhku. Apakah lubang ini... adalah portalku?
Jika kuamati sekilas, memang tidak salah lagi. Pendarnya yang redup itu selalu bisa kuingat. Namun, mengapa portal ini muncul di sini dan bukannya di tempat di mana dia pertama kali muncul?
Dengan ragu, aku menjulurkan tanganku ke arah lubang itu. Tangan kananku dengan mudah hilang ke dalam lubang ini. Temperatur rendah yang kurasakan di dalam sana membuatku semakin yakin jika ini adalah portal yang terakhir kali kugunakan untuk pergi ke zaman ini. Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Ketika aku menarik uluran tanganku kembali, sekonyong-konyong sebuah tangan keluar dari dalam sana dan langsung mencengkeram tanganku erat. Apa-apaan yang sedang terjadi?!
Adrenalin langsung berpacu dalam darahku. Aku menarik tanganku sekuat yang aku bisa. Namun, sebuah suara yang terdengar dari dalam lubang itu membuatku membeku.
"Hey, tenanglah... ini... aku...."
Kedua mataku terbuka lebar. Dengan ragu, aku pun berucap, "Foxie...?"
Kemudian, perlahan-lahan gadis itu melangkah keluar dari lubang. Aku mundur beberapa langkah untuk memberinya ruang. Setelahnya, Foxie langsung tersungkur ke atas lantai. Dia terbatuk-batuk dan muntah dengan menyedihkan. Rupanya, dia tidak datang seorang diri. Ada sebuah robot android yang ia bawa dengannya. Robot itu berbentuk kapsul dan kini tengah melayang-layang di atas lantai.
"Foxie, apa yang lakukan di sini?!" pada akhirnya aku memiliki cukup kesadaran untuk berbicara.
"Aku pergi kemari karena... hoek!" Wanita itu muntah lagi ke dalam toilet. Aku pun berlutut dan menepuk-nepuk punggungnya.
"Apa yang terjadi? Bagaimana portal ini bisa muncul di sini?" tanyaku.
Kudengar Foxie mengumpat lirih. "Berikan aku sedikit waktu, oke? Astaga, aku rasa aku akan mati...." Foxie menyandarkan punggungnya ke tembok.
Aku tertawa sarkastik. "Rasakan apa yang selalu kurasakan setiap kali menjalankan tugas."
Foxie membuka mulut, tetapi sebuah suara sudah menyelanya terlebih dahulu, "Apa-apaan ini...?"
Sontak, aku langsung menoleh ke arah pintu. Kujumpai Eunso kini sedang berdiri di ambang pintu kamar mandi dengan kedua mata terbelalak lebar. Ia menatap Foxie, robot android, dan portal hitam di kaca yang masih belum susut itu secara bergantian.
Lantas, kudengar ia berbicara pada dirinya sendiri, "Oh, Tuhan... aku pasti... aku pasti terlalu mabuk... haha, iya, aku yakin aku mabuk."
Aku hendak mengatakan sesuatu, tetapi sekonyong-konyong Eunso sudah ambruk di tempatnya berdiri. Dia pasti pingsan karena terlalu terguncang dengan apa yang baru saja dia lihat. Aku langsung menoleh ke arah Foxie dan menatapnya tajam.
"Sebaiknya kau punya penjelasan yang baik untuk ini, Fox."
*