Setelah membawa Eunso kembali ke ruang tamu, aku dan Foxie langsung bersiap-siap untuk keluar dari apartemen Jaeha. Aku dengan lancang mengambil beberapa helai mantel milik Jaeha yang ada di dalam lemarinya. Semua ini kulakukan untuk menutupi robot kapsul yang Foxie bawa bersamanya. Tidak lucu jika benda ini sampai terlihat oleh orang lain atau terekam di kamera pengawas.
"Kau siap?" tanyaku pada Foxie ketika aku sudah memegang daun pintu.
Foxie mengangguk mantap.
Maka, aku pun segera membuka pintu apartemen Jaeha dan melesat keluar dengan Foxie yang mengekor di belakangku. Beruntung ini hampir jam 3 pagi sehingga sama sekali tidak ada orang yang berkeliaran di koridor ataupun menggunakan lift. Perjalanan ke kamarku berlangsung dengan selamat.
Begitu aku sudah sampai di ruanganku, aku langsung membanting pintu di balik tubuhku dan siap untuk mengonfrontasi Foxie dengan segala pertanyaan yang aku punya.
"Fox, sebaiknya kau mulai bicara," tuntutku.
"Baik, aku bisa jelaskan ini, oke? Tenanglah," jawabnya.
"Kau bercanda?!" seruku. "Kau hampir membuat identitasku—identitas kita—terbongkar!"
Mendengarku, Foxie tak berucap.
"Maksudku, apa-apaan ini? Mengapa kau membuka portal di ruangan Jaeha? Yang terpenting, mengapa kau datang ke masa lalu?" tanyaku bersungut-sungut. "Kau ingin membuat kita berdua tertangkap? Apa maksud ini semua?!"
"Erisha, dengarkan aku," jawab Foxie setelah membuang napas. Masih dapat saksikan raut wajahnya yang terlihat letih. "Seth memintaku secara khusus untuk menyusulmu ke tahun 2018."
"Mengapa begitu?" tanyaku lagi. "Oh! Kalian pikir aku tidak cukup handal untuk menyelesaikan tugas ini sendirian, huh?" Tawa sarkastikku terdengar.
Foxie menggelengg cepat. "Bukan begitu," sangkalnya. "Aku tahu ada kesalahan yang terjadi. Kau menyelamatkan Jaeha pada waktu yang salah, bukan begitu?"
Egoku terlalu tinggi untuk mengatakan apa-apa. Aku hanya mampu mengangguk kecil. "Tetapi, aku berencana untuk memperbaiki kesalahan yang aku buat."
"Tepat seperti dugaanku," gumam Foxie. "Aku kau tahu kau sudah mencoba yang terbaik, tetapi mau bagaimanapun, ini kasus idol pertama yang pernah ditangani oleh perusahaan kita. Aku bisa maklum jika kau membuat kesalahan."
Aku memutar bola mata. Aku mulai tidak nyaman jika dia terus mengungkit-ungkit kesalahanku. "Lalu, apa maksud kedatanganmu?"
"Inilah yang menjadi perhatianku." Foxie membenarkan kacamatanya. "Seharusnya pada tahun 2050, jika kau berhasil menuntaskan misi ini, Obxinoz akan dengan sendirinya menghilang dari muka bumi. Memori orang-orang mengenai obat itu juga akan dengan cepat terhapus. Namun, sama sekali tidak terjadi apa-apa di zaman kita. Hal itu membuatku yakin jika misi ini tidak berjalan dengan lancar. Oleh sebab itu, Seth langsung memintaku untuk pergi ke tahun ini untuk mendampingmu."
Mendengar penjelasan Foxie, dahiku langsung berkerut-kerut. "Lalu, bagaimana bisa portal itu muncul tepat di hadapanku?"
"Portal itu masih belum sempurna. Titik pemberhentiannya masih sangat acak meskipun dia benar-benar bisa membawa kita ke titik yang sangat berdekatan dengan tempat di mana insiden itu akan terjadi," jelas Foxie.
"Tunggu, kau bilang, tempat terjadinya insiden?" Kedua alisku bertautan.
Foxie menganggukan kepala.
"Bukankah itu berarti... insiden itu akan terjadi di apartemen ini?" tanyaku, ragu. "Apa mungkin Jaeha membunuh dirinya sendiri di dalam kamar mandinya?"
Foxie mengangkat bahu. "Aku tidak tahu pasti. Namun, aku ragu jika portal baru ini bisa terbuka di tempat yang sespesifik itu. Kurasa, tidak akan terjadi di sana. Namun, masih di dalam atau sekitar apartemen ini."
Aku pun mengangguk-angguk. "Lalu, untuk apa kau membawa robot ke zaman ini?"
Selagi meluruskan kedua kakinya di atas sofa, Foxie menjawab, "Yah, aku tidak tahu apa yang akan terjadi dalam misi ini, jadi aku hanya membawanya bersamaku untuk berjaga-jaga saja." Foxie kembali mengaktifkan robot kapsul di dekatnya. Robot itu langsung kembali melayang di atas lantai.
"Selamat pagi, Nona Foxie. Apa keluhan yang Anda rasa?" robot itu bersuara.
Aku langsung melipat dahi. "Tunggu, itu benar-benar robot medis? Seperti apa yang selalu rumah sakit di tahun 2050 gunakan?"
Foxie mengangguk. "Aku rasa akan ada gunanya membawa robot medis ini bersama kita. Hanya berjaga-jaga untuk keadaan darurat."
Aku melipat kedua tanganku di depan dada. "Kau lupa kalau aku ini dokter? Untuk apa kau membawa robot medis bersamamu? Kau benar-benar meragukan kemampuanku?"
Foxie memijit pelipis kepalanya. "Erisha, berhenti bersifat seperti anak kecil," katanya. "Bayangkan jika kau menemukan Jaeha dengan kondisi kepala bocor. Kau pikir dia masih bisa bertahan jika kau harus menyiapkan peralatan medis dan melakukan operasi secara manual?"
Aku pun terdiam.
"Atau, bagaimana jika Jaeha mengalami patah tulang di dadanya. Kau pikir dia masih bisa bertahan setelah hasil foto x-ray keluar? Baru setelahnya kau bisa melakukan tindakan operasi? Kau yakin dia masih hidup, hm?"
Mungkin aku harus mulai mengakui kalau apa yang Foxie katakan itu ada benarnya juga.
"Mungkin dia masih bisa bertahan jika berada di zaman kita. Namun, ini 2018. Peralatan medis di tahun ini masih belum berkembang seperti pada tahun 2050," lanjut Foxie. "Lagipula, robot ini sudah kumodifikasi. Dia tidak hanya bisa menjadi robot medis saat ini. Dia juga punya mode penyerangan."
Aku mengangkat alis. "Mode penyerangan?" ulangku. "Bukankah itu mode yang ada pada robot tentara?"
"Itu benar," jawab Foxie. "Robot ini bisa menyelamatkan atau membunuh orang, tergantung dengan mode yang sedang kau aktifkan. Selain itu, aku sudah memperbarui sistem AI-nya. Dia bisa kau ajak bicara mengenai apa pun, bukan hanya tentang hal medis."
Aku menggelengkan kepala takjub. "Boleh aku beli robot ini?"
Mendengar pertanyaanku, Foxie tertawa. "Sayangnya ini properti perusahaan," jawabnya.
"Yah, baiklah, terserah," kataku. "Apa rencana kita sekarang?"
Foxie menatapku. "Harusnya aku yang bertanya begitu padamu," ujarnya. "Bagaimanapun, kau yang menyebabkan kekacauan ini. Kaulah yang harus bertanggung jawab."
"Hey! Ini bukan sepenuhnya salahku, kau tahu!" seruku tak terima. Namun, aku segera menyadari kalau berdebat tidak akan ada gunanya. Saat ini yang perlu aku lakukan adalah menemukan cara bagaimana aku bisa menyelamatkan Jaeha. "Baik, begini. Sebenarnya aku punya rencana."
"Aku mendengarkan."
"Berdasarkan pemikiranku... masih ada kematian Jaeha yang sebenarnya yang masih harus aku cegah," aku memulai penjelasanku. "Jadi, untuk menghindari hal itu terjadi, aku berencana untuk mengajukan diri sebagai pengawal pribadinya."
Foxie mengangkat sebelah alis. "Lalu? Bagaimana jalannya rencanamu itu?"
Aku menghela napas lelah. Aku mencampakkan diri di sofa yang ada di sebelah Foxie. "Ini yang menjadi masalah. Aku membuat kesalahan... lagi."
"Memang apa yang sudah kau perbuat?" tanya Foxie.
"Aku... mengancam Jaeha. Aku bilang kepadanya apabila dia tidak membiarkanku menjadi pengawalnya, aku akan membeberkan rahasia bahwa dia memiliki gangguan mental," jawabku seadanya. "Tetapi, anehnya, dia menolak. Dia malah tidak peduli jika aku menyebarkan berita itu ke media."
"Astaga, Erisha...." Foxie kembali mengusap pelipisnya. "Kau benar-benar sulit dipercaya. Kau ini bodoh atau bagaimana? Bagaimana kau bisa berpikir kalau rencana itu akan berhasil?" Foxie berdecak keras.
Aku membela diriku sendiri, "Hey, aku sendiri juga tidak tahu kalau dia akan bereaksi seperti itu! Aku pikir Jaeha akan menyetujui ideku dan menyerah begitu saja... tetapi dia malah...."
Foxie menggeleng-gelengkan kepalanya keheranan. "Jadi, rencanamu adalah menjadi pengawal pribadi Jaeha supaya kau bisa selalu menjaganya, begitu?"
Aku mengagguk. "Hanya itu rencanaku sejauh ini."
"Beruntung aku datang lebih awal. Aku bisa mencegahmu melakukan rencana itu," celetuk Foxie.
Aku memandangnya dengan tatapan terganggu. "Apa maksudmu?"
"Erisha, coba sekarang kau pikirkan ini baik-baik...," Foxie menatapku lurus-lurus. "Jika kau menjadi pengawal Jaeha, itu berarti kau akan selalu menghindarkan lelaki itu dari marabahaya yang mengancam nyawanya, kan?"
Aku mengangguk mantap. "Memang itu tugasku, bukan?"
"Erisha, tugasmu itu mencegah kematian Jaeha yang sebenarnya. Bukan menyelamatkan Jaeha dari bahaya yang berada di luar konteks ini," tutur Foxie.
"Sebenarnya aku juga berpikir demikian," jawabku sambil mengusap wajah kasar. "Jika aku hanya boleh mencegah kematian Jaeha yang sebenarnya, bagaimana aku bisa tahu insiden mana yang akan merenggut nyawanya?"
Foxie membenarkan kacamata yang merosot dari hidungnya yang mancung. "Hanya ada satu cara untuk mengetahui hal itu," jawabnya kemudian.
Aku langsung mencondongkan tubuh ke arahnya. "Dan itu adalah...?"
"Dengan membiarkan Jaeha mencoba membunuh dirinya berkali-kali."
Apa?
*