Chereads / The Idol's Bodyguard / Chapter 10 - Unexpected Offer

Chapter 10 - Unexpected Offer

Pada akhirnya, aku kehilangan jejak Eunso. Lagipula, siapa yang bisa menemukan orang dengan mudah di pusat kota yang penuh dengan manusia? Dengan kekecewaan yang masih bercokol di dalam hatiku, aku pun menyerah. Akhirnya, aku memutuskan untuk berhenti untuk makan sebentar lalu menuju ke toko pakaian untuk membeli beberapa potong baju. Setelah itu, barulah aku mencari toilet umum terdekat.

Rasanya, lama sekali sejak terakhir kali aku mandi.

Begitu aku memasuki kamar mandi, aku baru menyadari satu hal: ini bukan toilet di tahun 2050. Di zamanku, akan mudah bagiku untuk menemukan toilet umum dengan fasilitas lengkap, termasuk pancuran air. Namun, di sini aku hanya bisa menjumpai toilet untuk buang air besar. Aku mengeram frustasi.

Lalu, bagaimana aku hendak mandi kali ini?

Mungkin, aku bisa kembali ke apartemen Jaeha untuk meminjam kamar mandinya. Namun, setalah kupikir-pikir lagi, bagaimana jika aku ketahuan memasuki ruangannya tanpa izin? Bisa-bisa aku diseret keluar dari apartemen oleh petugas keamanan.

Ah, kurasa ini memang sudah saatnya bagiku untuk menyewa sebuah motel.

Atau... apartemen?

Itu benar. Aku bisa mengawasi Jaeha dengan lebih mudah apabila aku tinggal berdekatan dengannya. Maka, tanpa banyak berpikir, aku langsung kembali ke apartemennya dan memesan ruangan untuk satu bulan ke depan. Aku memang tak yakin berapa lama aku akan tinggal di zaman ini, tetapi aku punya firasat jika aku akan tinggal lebih lama daripada apa yang kukira.

Aku mendapatkan kamar di lantai 29. Tidak terlalu jauh dengan kamar Jaeha. Aku masih berharap bahwa aku bisa tinggal di kamar yang masih satu lantai dengan lelaki itu, tetapi rupanya lantai 23 sudah penuh. Dengan setengah hati, aku pun menaiki lift untuk sampai ke lantai 29.

Setelah membersihkan diri, aku segera merebahkan tubuhku dan langsung memeriksa ponsel. Jam menunjukkan pukul 5 sore. Aku membuang napas lelah. Kurang dari 12 jam lagi, Jaeha akan melakukan bunuh diri. Apabila kehadiranku di hidupnya tidak mengubah sejarah seperti apa yang kupikirkan.

Jika memang tidak ada yang terjadi pada Jaeha malam ini, itu berarti aku berhasil mengubah sejarah karena aku sudah muncul di hadapannya pada waktu yang salah. Aku menghirup napas panjang-panjang.

Aku kembali memeriksa ponselku dan mengecek apartemen Jaeha yang bisa kulihat dari kamera-kamera yang sudah kupasang. Namun, setelah aku memeriksa seluruh ruangan—bahkan termasuk kamar mandi—Jaeha tidak ada di mana-mana. Aku langsung terduduk tegak di atas ranjangku.

Ke mana perginya lelaki itu?!

Berbagai kemungkinan buruk langsung menari mengelilingi kepalaku. Bagaimana jika Jaeha sedang mencoba melakukan suatu hal bodoh yang bisa membahayakan dirinya sendiri? Secepat kilat, aku langsung menyambar jaket hitamku dan berhamburan keluar dari dalam ruangan.

Aku memeriksa keberadaan Jaeha melalui peta di ponselku. Titik biru yang menunjukkan posisinya berpendar terang di layar. Setelah kucari di internet, ternyata Jaeha sedang berada di salah satu gedung pencakar langit di tengah kota Seoul. Jantungku langsung menandak cepat.

Apa yang lelaki itu hendak lakukan?! Apa dia mau loncat dari atas gedung?!

Seperti orang kesetanan, aku langsung berhamburan ke jalan raya untuk mencari taksi. Sialnya, taksi yang lewat selalu berisi penumpang. Aku pun mengumpat keras-keras dan mulai berlari. Entah bagaimana pun caranya—meskipun aku harus berlari—aku harus sampai ke tempat itu sebelum terlambat.

Napasku naik-turun mengikuti irama lariku yang begitu cepat. Namun, ketika aku sampai di tengah-tengah kota yang hiruk-pikuk dengan kerumunan orang, langkahku terhenti. Ada sebuah toko elektronik yang menampilkan televisi yang sedang menyala di bagian depannya. Aku langsung terpaku di tempat.

Televisi itu menayangkan sebuah acara yang tengah mengundang grup vokal pria sebagai bintang tamu. Mereka—para anggota DREAM OVERDOSE, termasuk Jaeha—sedang berada di sana.

Bukankah itu berarti Jaeha baik-baik saja?

Tunggu. Bagaimana jika acara ini adalah siaran ulang?

Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Rupanya, aku bukanlah satu-satunya orang yang tengah numpang menonton di depan toko itu. Beberapa gadis remaja sedang berteriak histeris begitu melihat bahwa idola mereka ada di televisi.

"Astaga! Lihat itu! Itu 'kan Yejun!"

"Meskipun hanya melihat mereka dari jauh, aku yakin mereka tampan!"

"Tentu saja! Terutama Jae!"

Ada tiga gadis yang sedang heboh menjerit-jerit di depan televisi itu. Aku tertegun selama beberapa saat begitu melihat mereka. Maksudku, sungguh? Aku bisa mengerti mengapa mereka begitu mengidolakan DREAM OVERDOSE, tetapi, apa susahnya menjadi penggemar yang sedikit lebih berkelas? Namun, persetan dengan hal itu.

"Err, maaf...," aku memutuskan untuk membuka mulut.

Spontan, mereka semua menoleh. Sesaat kemudian, mereka sudah sibuk berbisik-bisik.

"Apa yang orang asing ini mau?"

"Percaya atau tidak, kurasa dia mirip artis Hollywood yang pernah kulihat di film!"

Aku melipat dahi selagi berusaha mengabaikan apa yang mereka bicarakan. "Maaf, aku hanya ingin bertanya," ujarku setelahnya. "Apa acara ini hanya siaran ulang?"

Salah satu dari mereka menjawab, "Tidak, ini siaran langsung."

"Kau yakin dengan hal itu...?" tanyaku, masih sedikit ragu.

Yang lain menjawab, "Tentu. Di akun Twitter DREAM OVERDOSE beberapa hari lalu mereka mengumumkan kalau mereka hendak melakukan talk-show di gedung—"

Sebelum dia sempat menyelesaikan ucapannya, aku sudah luruh ke atas tanah. Dadaku seolah ingin meletus oleh raga lega. Ternyata itu adalah acara siaran langsung. Yang berarti bahwa saat ini Jaeha benar-benar sedang berada di gedung itu untuk menjadi bintang tamu, tidak lebih.

Dia tidak akan bunuh diri. Dia tidak akan melakukan hal apa pun yang bisa mengancam nyawanya.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya salah satu dari gadis remaja itu. Ia membantuku untuk berdiri. "Wah, kau ini benar-benar penggemar berat DREAM OVERDOSE, ya? Tak kusangka kau hampir pingsan begitu mengetahui kalau mereka sedang siaran langsung."

Aku hanya tersenyum tipis, tak menjawab.

Syukurlah. Syukurlah lelaki itu baik-baik saja.

*

Setelah mengetahui bahwa bahwa Jaeha sedang tidak berada dalam bahaya, aku langsung menuju ke gedung di mana dia berada dengan menaiki taksi. Meski begitu, aku tidak berani untuk masuk. Aku takut aku akan dicurigai jika masuk ke dalam tanpa izin. Maka dari itu, aku memutuskan untuk menunggu di luar hingga siaran langsung Jaeha selesai.

Rupanya, hari ini kegiatan Jaeha bukan hanya siaran langsung di gedung pencakar langit itu. Namun, ada beberapa tempat yang dituju olehnya dan para anggota DREAM OVERDOSE lain. Aku memang tidak yakin apa yang mereka lakukan di masing-masing gedung, tetapi kurasa mereka sedang melakukan syuting. Memang apa lagi pekerjaan para idol?

Mobil khusus yang dinaiki oleh para anggota DREAM OVERDOSE itu pada akhirnya berhenti di salah satu bar elit di tengah kota. Para lelaki tersebut masuk ke dalam dan tak kembali setelah beberapa jam. Kala itu jam sudah menunjukkan pukul 1 pagi.

Jantungku berdebar. Seharusnya insiden yang merenggut nyawa Jaeha terjadi dalam kurun waktu satu jam.

Di saat mereka keluar, kurasa sebagian dari mereka sudah dalam keadaan mabuk. Mobil itu pun kembali bergabung ke jalanan Seoul yang tak pernah lengang. Aku menyusul dengan taksi yang memang sudah kusewa untuk seharian penuh.

Ternyata, mobil itu berhenti di depan apartemen Jaeha. Mungkin memang sudah saatnya bagi lelaki itu untuk pulang? Namun, yang turun dari mobil bukan hanya Jaeha. Setelah menyipitkan kedua mata, ternyata yang sedang bersama dengan Jaeha adalah Eunso. Mereka berdua memang menggunakan masker wajah, aku mengenali keduanya karena aku hapal warna rambut mereka yang dicat dengan warna cerah.

Setelah membayar tarif taksiku—yang secara mengherankan begitu mahal—akhirnya aku turun dan mulai mengamati dua orang itu dari seberang jalan. Aku berpura-pura memainkan ponselku dan duduk di atas salah satu bangku di tepi jalan.

Hal yang baru kusadari adalah, Jaeha sekarang tengah mabuk berat. Eunso sampai harus membantu lelaki itu untuk berjalan. Namun, entah mengapa, Eunso juga sedikit limbung ketika menuntun Jaeha. Aku menggelengkan kepala heran. Jangan katakan kalau mereka berdua sebenarnya sama-sama mabuk.

Pada akhirnya, Eunso mendudukkan Jaeha di salah satu bangku yang ada. Kemudian, entah mengapa, Eunso malah berjalan meninggalkan Jaeha yang kini tergeletak lemah di atas bangku. Aku mengamati kepergian Eunso. Memang lelaki itu mau ke mana? Mengapa dia meninggalkan Jaeha?

Aku masih dengan sabar mengamati, meski sejatinya aku sudah geram setengah mati. Eunso tidak seharusnya meninggalkan lelaki itu sendirian. Bagaimana jika—

Tiba-tiba saja Jaeha bangkit dari tempatnya duduk dan berjalan lurus ke depan. Dia mendekati jalanan yang ramai dengan lalu-lalang kendaraan bermotor. Oh, tidak. Jangan bilang dia hendak menabrakkan diri lagi?

Tanpa ba-bi-bu, aku langsung berdiri dari tempat dudukku. Ketika Jaeha nyaris menyebrang di saat lampu penyebrangan masih merah, Eunso muncul di belakangnya dan langsung dan menarik lengan Jaeha ke belakang hingga lelaki itu akhirnya terpaksa untuk mundur beberapa langkah.

Sekali lagi, aku merasa lega bukan kepalang. Rupanya, tadi Eunso meninggalkan Jaeha karena dia membeli beberapa minuman kaleng. Aku mengetahui hal itu karena Eunso membawa sekaleng soda di tangan kirinya.

Aku pun memutuskan untuk memanggil Eunso, "Hey!"

Eunso tampak mengedarkan pandangan. Aku melambaikan tanganku ke udara tinggi-tinggi. Begitu menyadari kehadiranku, Eunso pun balik melambai dan berteriak, "Hey, Erisha!"

Setelah itu, aku menyebrang jalan dengan berlari-lari kecil. Aku menuju ke arah Eunso yang masih mencoba untuk membantu Jaeha berdiri. Dia tampak kewalahan.

"Perlu bantuan?" aku menawarkan diri.

"Jika kau tidak keberatan," jawab Eunso.

Kami pun akhirnya bersama-sama membawa Jaeha yang mabuk berat masuk ke dalam apartemen. Ketika sudah berada di depan pintu, Eunso bertanya kepada Jaeha, "Hey, apa kata sandimu? Aku baru ingat kau tidak pernah memberitahuku...."

Sebelum Jaeha menjawab, aku sudah memasukkan kombinasi angka itu. Pintu di hadapanku pun terbuka. Eunso terheran-heran melihatku.

"Bagaimana kau bisa tahu?" tanyanya.

"Aku pernah tidak sengaja bertemu dengan temanmu ini sebelumnya. Saat itu dia pingsa... maksudku, mabuk berat. Jadi aku mengantarkannya kemari dan dia memberitahuku kombinasinya," terangku. Kami berdua membawa Jaeha masuk.

"Ah, benarkah itu? Bagaimana kau bisa bertemu dengannya?" tanya Eunso lagi.

"Aku penghuni apartemen ini juga," jawabku. "Ruanganku ada beberapa lantai di atas." Kurasa, mencampur adukan kebohongan dan kebenaran adalah cara terbaik untuk berbohong tanpa membuat kebohonganmu terdengar mencurigakan.

Eunso hanya beroh-oh saja selagi kami menidurkan Jaeha ke atas sofa. Hal ini benar-benar membuatku merasa de javu. Aku jelas-jelas melakukan hal yang sama satu hari lalu.

Setelah itu, Eunso langsung terkapar di atas karpet. Dia mendesah keras-keras.

"Ahh, kepalaku rasanya seperti dipukuli palu," ujarnya. "Omong-omong, maaf aku jadi merepotkanmu."

Aku menggelengkan kepala. "Tidak masal—"

"Aku hanya ingin mati... aku ingin mati...."

Ucapanku terpotong oleh gumaman lirih Jaeha yang langsung tertangkap oleh Receiver. Melihat reaksi Eunso, sepertinya dia tidak mendengar apa yang baru saja Jaeha gumamkan dalam tidurnya. Tiba-tiba saja, aku teringat sesuatu. Aku langsung menoleh ke arah jam tanganku.

Ini sudah jam 2 pagi lebih 15 menit waktu Seoul.

Jika di jam ini seharusnya Jaeha sudah tewas ditabrak kereta api, berarti kehadiranku yang salah menyelamatkannya benar-benar sudah mengubah sejarah. Di tahun 2018 di mana aku ada di dalamnya, Jaeha tidak jadi bunuh diri pada tanggal 5 September tahun ini.

Yang menjadi pertanyaannya adalah, kapan? Kapan Jaeha akan benar-benar bunuh diri lagi?

"Hey, Eunso," panggilku.

Eunso bangkit dari posisinya. "Ya?"

"Sebelum sampai ke apartemen ini... aku tanpa sengaja melihat kalian berdua turun dari mobil yang sama," ujarku, hati-hati. "Kalau boleh aku tahu, kalian dari mana?"

Eunso mengangkat bahu. "Kami sehabis dari bar."

Aku mengangguk-angguk. "Ah, rupanya kalian berdua suka minum-minum bersama?" Aku berusaha sebaik mungkin untuk tidak terdengar mencurigakan.

"Sebenarnya, tidak," jawab Eunso. "Temanku ini," dia menepuk-nepuk pundak Jaeha yang kini sudah tertidur, "sama sekali tidak bisa minum alkohol. Dia sudah mabuk setelah minum satu gelas."

Aku mengangkat alis. Aku rasa, ini waktu yang tepat bagiku untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak dari Eunso mengenai Jaeha. Dengan keadaannya yang setengah mabuk, akan lebih mudah bagiku untuk mengintrogasi lelaki ini, bukan?

"Oh, ya? Lalu mengapa dia nekat minum malam ini?" tanya kemudian.

"Aku tidak tahu, sehabis rapat dengan agensi kami tentang lagu baru kami yang mau dirilis... tiba-tiba Jaeha mengajak kami semua minum," jawabnya, enteng. Wah, lelaki ini benar-benar mabuk rupanya. Tidak seharusnya dia memberitahuku mengenai hal itu, bukan?

"Ah, rupanya begitu." Aku mengangguk-anggukan kepala. "Mengapa temanmu ini mengajak kau minum? Apa dia sedang ada masalah?"

Eunso mengangkat bahu selagi mengusap-usap mata. Lalu, dia melepaskan maskernya. "Aku tidak tahu. Tetapi, kurasa iya." Ia menguap lebar. "Sudah berbulan-bulan dia menjadi lebih pendiam. Ketika aku tanya mengapa, dia tidak pernah bercerita."

"Hmm, benarkah?"

Eunso mengangguk. "Bahkan, dia sudah tidak tinggal lagi di asrama kami," ujarnya kemudian. "Aku rasa dia butuh waktu sendiri, jadi aku membiarkannya. Aku juga jarang pergi ke sini. Aku takut mengganggunya."

Aku mengangguk-angguk. "Kau teman yang baik, Eunso."

"Tentu saja!" serunya. "Yang membuatku kasihan adalah, Jaeha bilang kalau tadi pagi ada wanita aneh yang mengikutinya."

Aku menatapnya dengan sorot mata penuh tanda tanya. "Wanita aneh...?"

Eunso menganggukan kepala. "Jaeha bilang kalau wanita itu mengancamnya."

"Mengancam bagaimana?" Aku tersenyum kaku. Firasatku berkata kalau wanita yang dia maksud adalah diriku.

"Entahlah, Jaeha tidak bercerita lebih lanjut." Eunso mengidikkan bahu. "Aku menyarankannya untuk lapor ke polisi. Atau, setidaknya, dia harus menyewa satu atau dua pengawal untuk selalu menjaganya."

Tiba-tiba saja, satu ide cemerlang terpikir olehku. Dengan lagak menggebu, aku langsung berlutut di dekat Eunso dan memegang kedua pundaknya.

"Hey, Eunso," panggilku. "Bagaimana jika kau menyarankan Jaeha untuk menjadikanku sebagai pengawal?"

Eunso melipat dahi. "Eh? Mengapa harus aku? Dan, mengapa kau?"

"Karena kau teman baik Jaeha, kan? Kau pasti tidak ingin hal buruk terjadi kepadanya," sahutku cepat. "Dan, mengapa aku? Itu karena aku sudah pandai berkelahi sejak aku kecil. Aku pasti bisa menjaga Jaeha dengan baik."

Eunso melepaskan kedua tanganku darinya. "Itu jelas tidak bisa terjadi," jawabnya.

Sontak, aku melipat dahi. "Eh? Mengapa?"

"Karena sebenarnya, aku ingin menjadikanmu pengawalku," jawab Eunso. "Itu sebabnya aku memintamu untuk datang menemuiku lagi di tempat gym. Aku ingin memberikanmu kontrak secara resmi."

Apa?!

*