Chereads / The Idol's Bodyguard / Chapter 5 - Human Error

Chapter 5 - Human Error

Untuk malam ini, aku akan tidur di atas bangku di stasiun tempat insiden terjadi. Aku punya perasaan bahwa akan ada baiknya jika aku merasa familiar dengan keadaan di daerah ini. Awalnya aku ingin tidur di bangku di tepi jalan seberang apartemen Jaeha, tetapi jika dipikir-pikir, itu terlalu berisiko. Jika Jaeha melihatku sebelum insiden itu terjadi, aku bisa benar-benar mengubah sejarah. Bisa-bisa, Jaeha tidak jadi membunuh dirinya sendiri pada tanggal 5 September pukul 2 dini hari.

Aku membutuhkannya untuk melakukan bunuh diri sesuai dengan apa yang sudah seharusnya terjadi.

Saat ini menunjukkan pukul 1 dini hari waktu Seoul. Udara mendadak jadi semakin dingin ketika malam sudah mulai merayap. Aku merapatkan jaketku selagi meluruskan kaki di atas bangku. Ah, andai ada alat untuk mempercepat waktu. Aku pasti tidak usah susah-susah menjadi gelandangan seperti ini.

Aku memang bisa memesan motel atau semacamnya, tetapi aku tidak akan bisa tidur dengan tenang sebelum memastikan bahwa salvaged-ku benar-benar selamat. Aku mendesah resah. Jika dipikir-pikir, ini adalah misi paling penting yang pernah kujalani.

Mengapa? Karena hidup matinya Jaeha akan berpengaruh pada hidup banyak orang, termasuk orang tuaku. Di saat-saat seperti ini, aku mulai menyadari alasan Seth menerima pengajuan profil Jaeha. Karena meskipun dia seorang idol—yang memang tidak ada hubungannya dengan sejarah—kematiannya bisa membunuh nyawa puluhan ribu orang di masa depan. Tentu saja karena ayahnya yang tanpa pikir panjang menciptakan Obxinoz.

Aku menghela napas lelah. Aku harus berhenti berpikir yang tidak-tidak. Aku akan tidur untuk beberapa jam di sini sebelum setelahnya kembali memantau apartemen tempat Jaeha tinggal dari kejauhan.

Aku pun melipat kedua kaki dan meluruskan tubuh bagian atasku. Dengan hoodie yang nyaris menutupi seluruh wajah, aku berusaha untuk terlelap. Suasana di sini lumayan sunyi. Tentu saja, siapa yang hendak kemari pada pukul 1 pagi?

Bisa dibilang, benar-benar tertidur adalah tantangan terbesarku dalam hidup. Aku mudah terbangun meski aku hanya mendengar suara-suara yang sebenarnya tidak terlalu mengganggu. Contohnya, suara langkah kaki yang perlahan terdengar mulai mendekat ini. Aku memutuskan untuk membuka mata. Memang siapa yang masih berkeliaran di stasiun kereta pada jam segini?

Kemudian, aku menemukan sesosok lelaki yang sedang memakai pakaian serba gelap di tepi rel kereta. Dia juga mengenakan topi dan masker wajah hitam. Aku memerhatikannya dengan perasaan was-was. Apa yang dia lakukan di sana pada pukul 1 dini hari?

Aku langsung melonjak bangkit dari bangkuku. Aku tak lelah memerhatikan sosok asing itu dengan saksama. Beruntung aku bisa bersembunyi di balik salah satu mesin minuman yang ada di dekatku.

Lelaki itu jelas mencurigakan. Untuk apa dia memakai topi di saat sama sekali tidak ada matahari? Apakah dia berusaha untuk tidak dikenali orang lain? Apa dia pencuri? Pembunuh? Atau... dia adalah orang yang terkenal?

Tunggu. Bisakah dia menjadi Jaeha?

Tidak. Itu pasti bukan dia. Di dalam berkasku jelas dituliskan bahwa dia baru akan bunuh diri pada pukul 2 pagi keesokan hari. Tidak mungkin fakta itu berubah, kan? Namun, tiba-tiba satu hal yang baru kuingat itu seolah menamparku keras.

Di bagian detail mengenai kematian Jaeha disebutkan bahwa satu malam sebelum kejadian dia sempat tertangkap kamera CCTV berkeliaran di sekitar rel kereta di dekat apartemennya. Lantas, inikah apa yang selama ini berkas itu maksud? Namun, apa yang lelaki itu lakukan?

Aku masih mengamati Jaeha dalam diam. Dia benar-benar hanya berdiri di sana. Kepalanya tertunduk ke bawah. Kedua tangannya jatuh ke sisi tubuhnya. Sebenarnya apa yang sedang dia rencanakan? Hingga, tak lama setelahnya, deru suara kereta sayup-sayup mulai terdengar. Kurasakan jantungku mulai menandak dengan cepat.

Berbagai kemungkinan buruk menari di sekitar kepalaku. Apa dia akan mengakhiri hidupnya malam ini juga? Namun, itu sama sekali tidak bisa terjadi. Jelas-jelas seharusnya dia baru melakukan itu besok, tanggal 5 September pukul 2 pagi!

Mungkin, dia hendak melakukan itu sekarang, tetapi urung karena merasa ragu. Dan mungkin, dia hanya ingin memeriksa apakah akan ada orang yang melihatnya jika dia melakukan itu di jam ini.

Suara memekakkan telinga yang berasal dari kereta itu terdengar semakin dekat. Dan hingga kini, aku masih bingung bukan kepalang. Apa yang harus aku lakukan?!

Aku jelas tak bisa menampakkan diri sebelum insiden yang sebenarnya terjadi. Namun, bagaimana jika kenyataan berganti? Bagaimana jika ini adalah salah satu efek yang ditimbulkan portal baru itu? Bagaimana jika Jaeha benar-benar membunuh dirinya sendiri hari ini? Di saat seharusnya aku menyelamatkannya besok pukul 2 pagi?

Aku langsung menyusun rencana darurat di dalam kepalaku. Jika hal buruk benar-benar terjadi, aku akan langsung berlari dan melakukan apa yang bisa aku lakukan untuk mencegah hal yang tidak diinginkan terjadi pada Jaeha. Akan kulakukan apa pun untuk menyelamatkannya. Dia tidak boleh mati. Tidak dalam pengawasanku.

Kereta yang melintas semakin mendekat. Bukannya menjauh, Jaeha malah melangkah melewati pagar pembatas. Jantungku seolah ingin meloncat keluar.

Apa lelaki itu benar-benar berpikir untuk bunuh diri saat ini juga?

Tidak ada waktu lagi untuk berpikir. Kereta itu kian mendekat dan Jaeha juga perlahan melangkah maju. Maka satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah berlari ke arahnya secepat yang aku bisa.

Suara klakson kereta api menguar ke udara. Di saat itu terjadi, aku sudah melompat tinggi melampaui pagar pembatas. Namun, tanpa kuduga, lelaki itu juga melangkah mundur sepersekian detik sebelum kereta api itu menghantam tubuhnya. Kemudian, tanpa sengaja, kami berdua bertabrakan. Lebih tepatnya, akulah yang menabrak tubuhnya karena dia baru saja bergerak dengan tiba-tiba.

Aku menangkap tubuhnya yang tumbang dengan kedua tanganku. Namun, hal itu malah membuatku kehilangan keseimbangan. Kami berdua pun terjatuh dengan aku yang berada di atas tubuhnya.

Hal yang membuatku terkejut adalah, tiba-tiba aku sudah dihadapkan dengan wajah seorang lelaki yang selama ini hanya kulihat melalui foto. Rupanya, masker dan topi yang ia kenakan sudah lepas darinya. Hal itu membuatku mampu melihat wajahnya dengan jelas. Tampaknya, aku tidak salah orang.

Dialah Han Jaeha, salvaged-ku.

Suara klakson kereta api itu masih belum hilang dari pendengaranku. Namun, kini aku menyadari jika suara detak jantungku masih jauh lebih keras daripada suara apa pun sekarang.

Aku tidak langsung menyadari apa yang terjadi karena secara spontan pikiranku kini memproses berbagai hal yang telah kulewatkan.

Tidak. Ini salah. Jika dia pada akhirnya tidak benar-benar berniat untuk membunuh dirinya malam ini, bukankah itu berarti aku sudah menyelamatkannya pada waktu yang salah?

Aku tidak seharusnya berlari ke arahnya. Tidak, tidak, tidak. Ini merupakan sebuah kesalahan besar.

"Uh, maaf...?" sebuah suara yang terdengar asing menggugahku dari lamunan.

Seketika, aku kembali pada kenyataan yang ada di hadapanku. Kenyataan bahwa kini separuh tubuhku sedang menindih tubuh seorang pria yang sama sekali belum pernah kutemui sebelumnya. Maka, aku pun langsung enyah dari atasnya.

"Ma-maaf, apa kau tidak apa-apa?" tanyaku, terbata-bata.

Dia tersenyum kecil selagi mengambil kembali topi dan maskernya yang terjatuh ke tanah. Ia pun mengenakannya kembali. "Aku baik-baik saja," jawabnya.

"Kau... yakin?" tanyaku lagi. "Kau tidak terluka? Aku jatuh menimpa tubuhmu...."

Jaeha mengangkat bahu. "Aku baik-baik saja," ulangnya. "Omong-omong, apa yang kau lakukan di sini? Maksudku, ini jam 1 pagi."

Seharusnya aku yang menanyakan hal itu kepadamu. "Aku hanya kebetulan lewat. Tempat tinggalku di sekitar sini," dustaku.

"Ah, jadi begitu," jawabnya.

Ragu, aku berucap, "Bagaimana denganmu? Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku. "Kau berdiri terlalu dekat dengan kereta api, kau tahu. Kau nyaris membuatku jantungan."

Ia tertawa renyah. "Jadi kau melihatnya, ya?" ia malah balik bertanya. Tiba-tiba ia bergumam, "Mengapa aku tidak bisa memiliki waktu sebentar saja tanpa ada orang yang memerhatikanku?"

Aku tahu aku tidak seharusnya mendengar gumaman itu, tetapi Receiver mampu membuat ucapan yang tak dapat terdengar dengan mudah sekalipun menjadi bisa kudengar.

"Aku tidak bermaksud untuk menguntit. Aku memang kebetulan berada di dekatmu ketika kau... uh, melangkah melewati pagar pembatas," terangku. "Aku langsung berlari tanpa pikir panjang karena kupikir kau hendak menabrakkan diri." Kuakhiri perkataanku dengan tawa canggung.

Lagi-lagi, ia tertawa kecil. Tawa yang terdengar sekali dipaksakan. "Aku minta maaf. Lupakan saja ucapanku. Aku tidak menyangka kau bisa mendengar apa yang barusan kukatakan," ujar Jaeha.

Kikuk, aku mengangguk dan tersenyum tipis.

"Sebagai ucapan terima kasihku karena kau sudah 'menyelamatkanku'," dia membuat tanda kutip di udara, "bagaimana jika aku mentraktirmu minum?"

"Minum...?" ulangku.

"Hm, ada mesin minuman otomatis di sana." Jaeha menunjuk mesin minuman yang beberapa saat lalu kujadikan tempat persembunyian. "Bagaimana?"

Tidak. Ini tidak benar. Kau bahkan tidak seharusnya berjumpa denganku. Kau tidak seharusnya melihat wajahku.

"Hey? Kau mendengarku?"

Apa yang harus kulakukan?!

*