"Hey, kau tahu? Kau itu... berat...."
Ternyata, setelah menerima tinjuanku, Jaeha benar-benar pingsan di tempat. Lalu karena sampai saat ini dia masih tak sadarkan diri, aku pun terpaksa untuk menggendongnya. Aku heran. Apa pukulanku benar-benar sekuat itu?
Ini masih setengah perjalanan ke apartemen Jaeha, tetapi punggungku rasanya sudah ingin copot. Sialnya, sama sekali tidak ada taksi yang lewat sejauh ini. Kurasa aku memang harus menggendong lelaki ini di sepanjang jalan.
Beruntung, sejak kecil aku sudah terlatih untuk melakukan pekerjaan yang membutuhkan tenaga seperti ini. Kehidupan di zamanku memang keras. Mau tak mau, aku harus jadi lebih keras daripada hidupku. Mendadak, aku bersyukur karena aku sudah terbiasa hidup dengan cara ini. Jika tidak, mungkin aku sudah menangis meraung-raung karena kurasa misi ini terancam untuk gagal.
Ketika sudah sampai di dekat apartemen Jaeha, aku bertanya kepadanya, dengan harapan dia akan menjawab, "Hey... kamarmu di lantai berapa dan nomor berapa...?"
Lelaki itu hanya menyahut dengan gumaman tidak jelas. Hebatnya, Receiver masih mampu menerjemahkan apa yang dia ucapkan.
"Lantai 23 nomor 256...."
Aku meyakinkan diriku sendiri. "Baiklah, akan kubawa kau ke sana."
Memasuki apartemen, wanita muda yang kurasa adalah resepsionis memandangku dengan tatapan heran. Tak memedulikan hal itu, aku berjalan melewatinya dan langsung menuju ke arah lift. Beruntung sama sekali tak ada orang yang berkeliaran di jam ini. Aku dengan mudah mencapai lantai 23 kamar 256 dengan selamat.
"Hey, apa kata sandimu?" tanyaku.
"1... 1... 94...," jawabnya, masih separuh bergumam.
Aku menggeleng heran. "Kau tidak terlalu kreatif rupanya, huh?"
Dengan susah payah, aku menekan nomor-nomor itu. Pada akhirnya, pintu kamar di depanku terbuka. Aku langsung menerobos masuk. Dengan sisa tenaga yang kupunya, kubaringkan lelaki yang ada di punggungku itu ke atas sofa terdekat. Detik-detik berikutnya, diisi dengan suara napasku yang masih terputus-putus.
Aku tidak pernah menyangka aku akan berakhir seperti ini. Aku melirik ke arah jam tanganku. Ini sudah jam setengah 3 pagi. Aku mengumpat keras-keras. Misi ini benar-benar berantakan.
Tenangkan dirimu, Erisha. Aku memberitahu diriku sendiri. Aku harus tenang. Aku harus memikirkan jalan keluar dari masalah ini.
Jadi ini yang kupikirkan: jika aku telah menyelamatkan Jaeha pada waktu yang salah, itu pasti berarti masih ada kematian yang sebenarnya yang perlu kucegah. Satu-satunya hal yang kukhawatirkan adalah, bagaimana jika kematian Jaeha yang sebenarnya tidak lagi terjadi besok? Jika itu benar, kapan Jaeha akan membunuh dirinya sendiri dan benar-benar mati? Aku sama sekali tidak memiliki data apa-apa mengenai hal itu.
Yang berarti, aku harus selalu memantau lelaki ini dari jauh dan menunggunya melakukan bunuh diri agar aku bisa menyelamatkannya. Setelahnya, barulah aku bisa kembali ke masa depan. Namun, bagaimana jika percobaan bunuh diri selanjutnya juga bukan merupakan percobaan diri yang betul-betul membunuhnya...? Bagaimana jika...?
Sial. Sial. Sial. Hal ini membuatku semakin pening saja.
Jika begini caranya, aku harus terus memerhatikan Jaeha dan memastikan bahwa dia baik-baik saja. Aku bisa melakukan itu dari depan apartemen dan mengikutinya jika dia keluar. Namun, yang menjadi masalah adalah, bagaimana jika Jaeha melakukan bunuh diri di dalam apartemennya sendiri?
Pada akhirnya aku terduduk lemas di atas karpet ruang tamu apartemen Jaeha. Aku ingin menyerah, tetapi aku tidak bisa. Aku harus mempertanggungjawabkan akibat dari kelalaianku sendiri. Namun, bagaimana?
Aku tidak bisa diam-diam mengikutinya seperti penguntit. Jika begitu, aku tidak akan bisa memantaunya di ruang-ruang pribadi seperti apartemen ini. Bagaimana jika... aku menawarkan diri menjadi pengawalnya? Tidak, tidak. Jika tiba-tiba saja aku mengajukan diri seperti itu, dia pasti akan mengira aku sebagai orang aneh dan malah tidak memberikanku kesempatan.
Brengsek. Apa yang harus aku lakukan?
*
Pada akhirnya, aku terjaga sampai pagi. Tiada hal lain yang aku lakukan selain mengamati wajah tidur Jaeha. Rupanya dia terlihat jauh lebih baik daripada apa yang ada di foto. Kulitnya putih pucat, bibirnya entah mengapa berbarwa merah jambu. Garis rahangnya pun tampak tegas. Aku membuang napas. Mungkin karena ini gadis-gadis tergila-gila dengannya. Wajah Jaeha tampak seperti lukisan.
Hanya saja, pukulanku di wajahnya yang pucat meninggalkan bekas yang kini terlihat keunguan. Aku menggelengkan kepala. Dia lelaki, kan? Luka sekecil itu saja tidak akan jadi masalah.
Cahaya matahari mulai menyeruak masuk melalui celah-celah jendela. Aku baru menyadari kalau ini sudah jam 7 pagi. Aku pun meregangkan otot-ototku dan menguap lebar. Aku berjalan ke arah jendela dan menyibak tirainya. Kemudian, aku membuka jendela ini dan melangkah untuk mengamati balkonnya. Sinar hangat matahari langsung menerpa wajahku. Aku pun menghela napas.
Aku tidak boleh gegabah lagi. Aku harus memikirkan dengan matang langkahku selanjutnya. Aku sudah membuat rencana. Mungkin rencanaku ini memang terdengar jahat, tetapi aku tak memiliki pilihan lain. Sejauh ini, hanya ini yang mampu aku pikirkan.
Karena mulai kegerahan, aku pun memutuskan untuk melepaskan jaketku. Kini pun aku hanya mengenakan tank top yang dengan mutlak memamerkan perut dan tenganku yang telanjang. Angin sepoi-sepoi segera menyentuh kulitku. Ah, rasanya sangat menyegarkan. Udara pada zaman ini masih sedikit lebih bersih daripada pada tahun 2050.
"Kau...?" tiba-tiba satu suara itu menggugahku.
Aku langsung menoleh cepat dan menjumpai Jaeha kini sudah berdiri di ambang jendela yang tadi kubuka. Ia menatapku dengan kerutan di dahinya.
"Oh, ternyata kau sudah bangun," kataku, cuek.
Hal yang membuatku bingung adalah, Jaeha berulang kali mengedipkan mata. Bahkan, kini dia mengusap-usap kedua matanya dengan tangan. Tatapannya itu pun tak lepas dariku. Apa yang lelaki ini lakukan?
"Jadi... kau... bukan mimpi?" ujarnya.
"Apa...?" kataku. Lantas, aku terbahak begitu aku mulai menyadari apa yang dia maksud. "Oh, kau berpikir bahwa wanita yang semalam memukulmu sampai kau pingsan itu adalah mimpi?"
Samar, Jaeha mengangguk.
Aku terkekeh. "Itu bukan mimpi," jelasku. Perlahan, aku berjalan mendekatinya. Ketika aku sudah berada di hadapan Jaeha, aku segera menyentuh bagian wajahnya yang keunguan dengan jari telunjukku. Ia langsung memekik kesakitan.
"Aw! Apa yang...?" jeritnya.
"Itu bukti kalau yang semalam itu bukan mimpi," kataku sambil meraih tasku yang tadi kuletakkan di atas meja ruang tamu.
"Lalu, apa yang kau lakukan di dalam apartemenku?" tanya Jaeha kemudian.
"Mudah saja, kau pingsan setelah aku memukulmu, dan aku akhirnya terpaksa untuk megantarkanmu pulang," tuturku. "Selain itu, aku juga ingin mengajukan beberapa penawaran." Aku mendaratkan tubuh ke atas salah satu kursi meja makannya.
Jaeha menyernyit. "Penawaran apa?" Jaeha mengambil tempat duduk tepat di seberangku. "Jika ini tentang pekerjaan, maaf, aku tidak tertarik."
"Ini bukan tentang pekerjaanmu," jawabku. "Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku."
Kedua alis lelaki di hadapanku nyaris bertautan. "Maaf...?"
"Kau tidak salah dengar. Aku ingin kau melakukan sesuatu untukku." Aku membuang napas. Sejatinya aku benci melakukan ini.
"Maaf, apa ini semacam jebakan? Sebenarnya, siapa kau? Apa maumu?" Ia menatapku dengan sorot mata penuh selidik.
"Tidak penting siapa aku," jawabku. "Hal yang perlu kau tahu adalah... aku memiliki satu rahasia terbesarmu."
Mendengar perkataanku, Jaeha sempat termenung beberapa saat. "Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan," jawab Jaeha pada akhirnya. "Sebagai seorang idol, mustahil bagiku untuk memiliki rahasia. Kehidupan pribadiku selalu terekspos ke media. Kau pikir akan mudah bagiku untuk menyimpan rahasia?"
Aku tersenyum miring. Aku sudah menduga reaksi ini. "Memang. Kau seolah tidak punya privasi lagi. Namun, ada satu hal yang... berhasil kau sembunyikan dari khalayak luas."
Dia tertawa kecil. "Sebaiknya kau berhenti bermain-main. Aku sama sekali tidak paham dengan apa yang berusaha kau katakan."
Aku menghela napas. Lelaki ini keras kepala juga. "Tidak ada gunanya berbohong padaku," ujarku.
"Aku sama sekali tidak berbohong," sanggahnya. "Aku tidak punya rahasia. Tidak ada satu pun."
"Lalu, bagaimana dengan diagnosa yang kau dapat dari psikiatermu?" tanyaku, yang berhasil membuat Jaeha bungkam seketika. "Apa itu bukan rahasia besar yang berusaha kau tutup-tutupi dari publik?"
Dengan tatapannya yang setengah tak percaya, ia membuka mulut, "Aku... aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau bicarakan."
"Berhenti berpura-pura seolah kau tidak tahu apa-apa," tandasku tegas. "Kau didiagnosa mengidap gangguan depresi mayor*. Kau sudah mengonsumsi obat-obatan secara rutin dari doktermu, bukan begitu?" kupaparkan satu fakta itu. Ini adalah sesuatu yang aku tahu dari detail berkas kematian Jaeha.
Jaeha terpaku di tempatnya. Ia menatapku dengan sorot mata yang sama sekali tak terbaca.
"Kau mengonsumsi obat-obatan seperti anti depresan, anti psikotik, dan juga obat penenang. Kau sudah sampai pada tahap yang bisa dibilang parah karena dosis anti depresan dan anti psikotikmu yang tinggi, yakni 150 dan 50 miligram," paparku. "Kau masih ingin memberitahuku bahwa aku tidak tahu?"
"Apa yang membuatmu begitu yakin? Apa bukti yang kau miliki?" tanya Jaeha. Rupanya, lelaki ini masih belum menyerah.
Aku membuang napas kasar. Segera kuambil obat-obatan yang kusimpan di dalam saku jaketku. Kuletakkan mereka semua di atas meja dan menyodorkannya ke arah Jaeha. Semalam aku memang menginpeksi apartemen lelaki ini. Aku menemukan obat-obat itu di dalam laci di kamarnya.
"Flouxetine HCL 150 miligram, Chlorpromazine 50 miligram, Lorazepam 5 miligram... semua obat ini dikeluarkan atas namamu," terangku. "Kurang bukti apa lagi?"
Jaeha mengalihkan pandangan. Dapat kulihat kedua matanya yang kini sarat dengan luka. Aku benci diriku sendiri karena aku harus melakukan ini. Maaf. Maafkan aku.
Pada akhirnya, aku menghela napas berat. "Aku yakin aku adalah satu-satunya orang lain yang tahu mengenai kondisimu," kataku. "Jika kau tidak ingin berita ini sampai ke media, aku hanya ingin kau melakukan sesuatu untukku."
"Oh, kau ingin memerasku dengan sejumlah uang agar kau tutup mulut, begitu?" Tawa sarkastik Jaeha terdengar.
Aku menggeleng. "Tidak," jawabku. "Satu-satunya hal yang perlu kau lakukan adalah... biarkan aku menjadi pengawal pribadimu."
Lagi-lagi, ucapanku membuat Jaeha melipat dahi. "Maaf...?"
"Biarkan aku menjadi pengawal pribadimu," ulangku. "Kau tahu, bodyguard."
"Bagaimana jika aku tidak mau?"
"Yah, jika kalau kau tidak mau, bisa saja setelah ini aku membuat artikel mengenai dirimu yang ternyata diam-diam menyembunyikan penyakit dari publik," jawabku selagi mengidikkan bahu. "Aku yakin, artikelku ini akan langsung menjadi trending. Para penggemarmu juga pasti sibuk bertanya-tanya, apa benar seorang Jaeha yang 'sempurna' memiliki penyakit seperti ini?" Kubuat tanda kutip di udara.
Batinku menjerit-jerit. Sudahlah, menyerah saja dan bilang 'ya'!
"Sebenarnya... mengapa kau melakukan ini padaku...?" tanya Jaeha, lirih. Suaranya bergetar. Jantungku mencelus.
Tiba-tiba saja lelaki itu bangkit dari tempat duduknya. Ia kini berdiri membelakangiku. Kulihat dia menarik-narik rambutnya sendiri dan menggumamkan kalimat yang gagal ditangkap oleh Receiver. Rasa bersalah langsung menghujam benakku dengan bertubi-tubi.
"Kau... tidak perlu khawatir. Jika kau menyetujuiku sebagai pengawal pribadimu, aku janji bahwa hal ini tidak akan sampai ke media," ujarku, berusaha menenangkan.
Aku berdiri dan mendekati Jaeha. Ketika aku meraih bahunya, lelaki itu malah menepis uluran tanganku. Di saat dia menoleh ke arahku, aku terkejut bukan kepalang. Kusaksikan sendiri bahwa kedua matanya berkaca-kaca.
"Kau... kenapa kau lakukan ini...?" suaranya semakin lama semakin lirih dan bergetar. "Kau... hanya menjadi alasan lain yang membuatku ingin mati."
Jantungku seolah berhenti berdetak begitu mendengar perkataan Jaeha.
Kurasa, aku sudah membuat kesalahan bodoh... untuk kedua kalinya.
*
Glosarium:
Gangguan depresi mayor (GDM), juga dikenal sebagai depresi, adalah gangguan mental yang ditandai dengan setidaknya dua minggu mood rendah yang hadir di sebagian besar situasi. Hal ini sering disertai dengan rendah diri terus-menerus, kehilangan minat dalam kegiatan normal menyenangkan (anhedonia), dan semangat yang rendah. GDM dapat secara negatif mempengaruhi keluarga seseorang, pekerjaan atau kehidupan sekolah, tidur atau kebiasaan makan, dan kesehatan umum. Gangguan ini memiliki nama lain yaitu depresi, depresi mayor, gangguan afektif depresi mayor, depresi unipolar, gangguan unipolar, atau gangguan mood unipolar.