Seoul, South Korea, 2018
Portalku terbuka di sebuah gang sempit dan gelap. Aku bergegas melangkahkan kaki keluar. Bersamaan dengan itu, aku langsung jatuh ke atas tanah. Lalu, aku memuntahkan makan siangku.
Sialan. Meskipun portal ini memiliki tingkat akurasi yang lebih baik daripada portal yang biasa kugunakan, efek distorsi waktunya lebih kuat memengaruhi tubuhku. Portal biasa hanya akan membuatku pening. Namun, lihatlah aku sekarang. Aku sudah bagai orang sekarat.
"Sial, mengapa Foxie tidak memberitahuku tentang ini...?" gerutuku.
Benar. Ini adalah uji coba pertama. Foxie sendiri pasti tidak yakin dengan dampak yang akan aku rasakan setelah melalui distorsi waktu. Aku pun menyandarkan punggungku ke tembok di belakangku. Aku menghirup udara sebanyak yang aku bisa. Aku rasa aku ingin pingsan. Namun, aku tidak bisa. Tidak dengan seragam aneh ini.
Maka aku pun mulai melucuti seragam khusuku. Kemudian, tinggallah jaket hitam, celana jins, serta sneakers yang melekat pada tubuhku. Ini memang bukan seperti apa yang biasa kugunakan di tahunku, tetapi pakaian ini sudah disesuaikan dengan tahun di mana salvaged-ku berasal. Ini tahun 2018.
Aku memeriksa beberapa hal lain yang ada di balik saku seragam khususku. Di sana ada kartu identitas palsu, paspor, mata uang yang berlaku pada tahun ini, beberapa perangkat lain, dan yang terpenting, ponselku.
Tentu saja aku tidak diberikan perangkat ponsel yang orang-orang pada tahun 2050 gunakan. Akan aneh jika orang pada tahun ini melihat bahwa aku bisa melakukan panggilan video hanya dengan cara melekatkan tanganku ke medan kaca. Nyatanya, ponsel pada tahun 2050 selalu ditanamkan di telapak tangan. Aku jelas tak bisa menggunakan teknologi itu di tahun ini.
Sebagai gantinya, perusahaan memberikanku... sebuah benda tipis berbetuk persegi panjang. Ah, inikah ponsel yang orang pada tahun 2018 gunakan? Rasanya aku pernah melihat benda ini di pengepul barang-barang antik.
Aku mulai mengamati berbagai benda lain yang kubawa. Salah satunya adalah kontak lensa Cyborg. Jika mengenakan lensa ini, aku akan langsung mengetahui arti dari bahasa asing yang kulihat. Hal menarik lain yang selalu kubawa bersamaku—selalu kubawa karena sebenarnya benda itu memang terpasang secara permanen—adalah cip kecil yang akan berfungsi untuk menerjemahkan apa yang kuucapkan dan apa yang aku dengar. Nama cip itu adalah Receiver. Receiver terpasang di dalam kedua telinga dan pangkal tenggorokanku. Dan yang paling keren adalah, cip itu diaktifkan hanya dengan pikiran.
Setelah selesai mengenakan lensa Cyborg dan mengemasi semua perangkatku, aku langsung memasang hoodie jaketku dan berjalan keluar dari gang sempit itu. Hal pertama yang menyambutku adalah lalu-lalang orang-orang Asia di sepanjang jalan. Aku mendongak dan menjumpai gedung-gedung pencakar langit di sekitarku.
Rupanya, inilah Seoul.
Aku belum pernah singgah di negara Asia mana pun sebelumnya. Jika boleh kukatakan, jarang ada orang Asia yang menjadi personage. Jika ada pun, aku tidak akan terpilih untuk menangani kasus itu. Alasannya sederhana, aku adalah orang kulit putih. Akan susah bagiku untuk menyamar jika rasku saja berbeda dengan salvaged-ku.
Kalau boleh jujur, aku masih tidak habis pikir. Mengapa Seth menempatkanku pada posisi yang berisiko seperti ini?
Tak ingin larut dalam lamunanku, sekali lagi aku mengedarkan pandangan. Lantas, aku baru menyadari satu hal: terdapat gedung apartemen elit di seberang jalan. Hal itu membuatku menyadari sesuatu.
Inilah apartemen di mana idol bernama Jaeha itu tinggal. Dia tidak lagi tinggal di asrama khusus untuk para anggota band-nya. Berdasarkan berkas yang kubaca, lelaki 23 satu tahun itu sudah mulai menjaga jarak dari anggota lain sebelum akhirnya memutuskan untuk bunuh diri dengan cara... menabrakkan diri ke kereta api.
Aku menghela napas. Aku melirik ke arah ponselku untuk memeriksa waktu. Aku pun dikejutkan oleh satu fakta itu: rupanya, ini bukan tanggal 4 September. Ini tanggal 3 September 2018. Mungkin, tingkat akurasi portal baru itu masih dalam tahap uji coba. Namun, aku tidak masalah. Menunggu selama 2 hari tidak akan jadi masalah besar, bukan?
Ini masih pukul 4 sore waktu Seoul. Yang berarti, kurang dari 24 jam lagi, akan menjadi hari di mana Jaeha menghabisi nyawanya sendiri. Tepat pada tanggal 5 September 2018, pukul 2 pagi waktu Seoul.
Aku mengangkat bahu, berusaha melemaskan otot-otot tubuhku yang mendadak jadi tegang. Ini hanya tugas biasa, aku menegaskan hal itu pada diriku berulang kali. Aku pun segera berjalan dan bergabung dengan arus manusia yang beberapa saat lalu kuamati. Aku akan pergi membeli kopi terlebih dahulu sebelum pergi mengecek stasiun kereta tempat insiden berlangsung.
Rasanya aneh begitu aku memandang sekeliling dan menjumpai segala tulisan berkarakter Korea di sekitarku sudah diterjemahkan ke Bahasa Inggris. Ini pertama kalinya aku benar-benar bergantung pada lensa Cyborg. Ternyata teknologi ini sangat menguntungkan.
Aku pun segera berbelok ketika aku melihat ada sebuah cafe kecil bertuliskan "Black Coffee Corner". Hm, kopi hitam. Salah satu hal kegemaranku. Aku penasaran bagaimana rasa kopi di tahun ini. Akankah sama dengan rasa kopi hitam yang biasa kuminum di tahun 2050?
Setelah memasuki cafe, aku menyadari bahwa tempat itu lumayan ramai. Beruntung, tempat duduk yang ada di pojok ruangan masih kosong. Aku pun bergegas memesan sebelum kursi itu diambil oleh orang lain.
"Selamat datang!" sapa salah satu pekerja wanita di balik konter.
Canggung, aku tersenyum.
"Apa yang mau Anda pesan?"
Aku masih terdiam dan melirik ke arah pilihan menu yang ada di atas konter. Ada berbagai macam minuman yang tak kuketahui rasanya. Kurasa minuman pada zaman ini jauh lebih kuno daripada apa yang pernah kukira. Maksudku, sungguh? Pada tahun 2050, kami sudah tidak lagi memakai gelas plastik. Semuanya diganti dengan besi ramah lingkungan atau kaca.
Tiba-tiba, pekerja di depanku berceletuk, "Eh, Anda tidak bisa Bahasa Korea?" katanya.
Aku pun mendongak. Mendadak, aku penasaran. Apa yang akan dia perbuat jika aku benar-benar tidak bisa berbicara dalam bahasanya? Kudengar orang Asia tidak terlalu pandai berbahasa Inggris.
"Uh, uh... apa yang... mau Anda... pesan?" dengan terbata-bata pekerja itu berbicara dengan Bahasa Inggris yang terdengar lucu bagiku.
Aku pun terkekeh dan menjawab dengan Bahasa Korea—secara harfiah aku berbicara dengan bahasaku yang diterjemahkan oleh Receiver—"Aku pesan satu kopi hitam. Tolong antarkan ke meja yang ada di pojok sana." Aku menunjuk dengan jariku. Pekerja itu tersipu malu, tetapi mengangguk.
Aku segera melenggang santai menuju ke mejaku. Selagi menunggu, aku masih ingin melakukan sedikit penelitian mengenai salvaged-ku ini. Aku memang selalu melakukan pengecekan secara mendetail. Ini adalah salah satu cara untuk memahami siapa orang yang harus aku selamatkan. Namun, tentu saja, aku tidak pernah menyelamatkan seorang idol. Agak canggung bagiku untuk melihat klip video band Jaeha yang ada di internet.
Aku mengidikkan bahu. Ini memang pekerjaanku. Aku harus profesional. Melihat satu musik video band pada zaman ini tidak ada salahnya, kan? Lagipula, aku penasaran. Bagaimana bunyi lagu pop tahun 2018? Apa berbeda dengan lagu pop tahun 2050?
Maka, aku segera memasang headset-ku. Terlebih dahulu, aku menonaktifkan Receiver. Aku ingin mendengar versi asli lagu ini tanpa terjemahan, walau aku yakin aku tidak akan mengerti apa yang para lelaki itu katakan.
Kemudian, aku menekan salah satu judul lagu mereka secara acak di aplikasi video bernama Youtube. Lagu itu berjudul "Crash and Collide."
Musik video ini menunjukkanku sekumpulan lelaki Asia yang menari-nari seirama dengan lagu. Aku mengangkat alis. Rupanya begini lagu pop pada zaman ini. Jauh berbeda dari lagu di zamanku. Di tahun 2050, lagu pop akan lebih didominasi dengan penyanyi yang memakai auto-tune. Unsur elektronik juga menjadi bagian dari pop di zamanku.
Setelah menonton video itu, aku kembali melakukan penelitian terhadap anggota lain dari band bernama DREAM OVERDOSE itu. Beberapa foto yang kutemukan membuatku terkekeh. Rupanya begini band yang digandrungi para gadis pada tahun 2018? Para lelaki pada masa awal dewasa mereka yang membuat wajah-wajah bodoh dan mengerucutkan bibir mereka ke arah kamera?
Sama sekali bukan tipeku.
Tiba-tiba, pesan terkahir Foxie terlintas di dalam pikiranku, "Jangan jatuh cinta. Tidak pada orang dari masa lalu."
Aku tertawa kecil. Yang benar saja. Aku sama sekali tak akan jatuh cinta pada sekumpulan bocah seperti mereka.
Tanpa kusadari, segelas kopi hitam tersaji di hadapanku. Aku langsung meletakkan ponselku ke atas meja dan kembali mengaktifkan Receiver.
"Terima kasih," kataku.
Gadis yang mengantarkan minumanku tiba-tiba melirik ke arah layar ponselku yang masih belum mati. Ada foto Jaeha dan teman-temannya di sana. Tidak, aku tidak menyimpan foto mereka. Aku memang sedang membaca profil mereka di internet. Kedua mata gadis itu berbinar.
"Bukankah itu DREAM OVERDOSE?" tanyanya.
Merasa terkejut, aku menjawab, "Uh, yeah, mereka DREAM OVERDOSE."
"Apa kau salah satu penggemar mereka?" tanyanya dengan lagak menggebu.
Tidak. Lebih tepatnya aku adalah orang yang akan mencegah kematian salah satu anggota band ini. Batinku menjawab. Namun, jelas aku tidak bisa mengatakan hal itu. Mendadak aku jadi kikuk. "Uh, kurasa begitu...?"
Gadis ini semakin menggila. "Sungguh? Siapa biasmu? Aku ini penggemar berat Eunso!"
Tak akan dalam sejarah hidupku aku mengidolakan satu pun dari mereka. Lagi-lagi, batinku memprotes keras. "Uh, aku tidak yakin. Aku hanya menikmati lagu mereka tanpa terlalu memedulikan anggota band ini," jawabku pada akhirnya.
"Ah, jadi kau penggemar yang semacam itu, ya?" Gadis itu mengangguk-angguk.
Memang ada berapa macam penggemar yang dia maksud? Yang netral sepertiku, dan yang buas sepertinya? Tunggu. Aku bahkan sama sekali tidak bisa dikategorikan sebagai salah satu penggemar sejak awal.
"Kalau begitu, nikmati minuman Anda!" serunya sambil membungkukkan badan. Aku membalasnya dengan senyuman setengah hati.
Selagi meraih segelas kopi yang hendak kuminum, aku menggeser layar ponselku yang menampilkan satu foto dari salvaged-ku, Han Jaeha. Entah mengapa, aku tersenyum, lebih tepatnya, menyeringai.
Lirih, aku bergumam, "Kau tidak akan mati besok. Tidak selama aku ada di sini."
*