Chereads / RE:VERSE / Chapter 21 - 4.III Kehidupan Seorang Acolyte

Chapter 21 - 4.III Kehidupan Seorang Acolyte

Kota Trowell merupakan kota paling Timur dari Cygnus Kingdom. Tempat ini memiliki dua gerbang utama yang dibangun dengan cukup megah. Setiap gerbang dijaga oleh pasukan dari Orde Bianca. Terkadang, saat sedang beruntung, kau mungkin bisa melihat beberapa ksatria kerajaan yang berpatroli di tempat ini. Namun, karena jaraknya yang cukup jauh dari ibukota, sosok mereka sangat jarang ditemui di Kota Trowell.

Letak geografis dari Kota Trowell yang sangat dekat dengan perbatasan Ignis Kingdom membuat tempat ini sering dialih fungsikan menjadi basis kemiliteran ketika kedua kerajaan melakukan peperangan. Oleh sebab itu, bangunan-bangunan khusus untuk menampung para tentara dapat kau temui di hampir seluruh penjuru kota. Namun, saat kerajaan dalam masa damai, tempat-tempat itu sering disewakan sebagai penginapan untuk menambah pendapatan dari walikota yang menjabat saat ini.

Dalam kurun waktu dua puluh tahun, Kota Trowell mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Tempat ini bahkan dinobatkan sebagai salah satu kota yang paling menguntungkan bagi kerajaan. Semua prestasi kota tentu saja bukan karena kebetulan semata. Hasil dari jerih payah Viscount Bianca dalam menata kota menjadikan dirinya dikenal sebagai walikota terbaik dan sangat dicintai oleh rakyatnya. Tidak heran jika pria paruh baya itu mendapat sanjungan dari para bangsawan tingkat atas dan direkomendasikan untuk naik status.

Terlepas dari kemampuan dan bakatnya dalam memperbaiki masalah-masalah yang ada, sebagai seorang aristokrat, skandal mengenai kehidupannya tentu saja tidak dapat dihitung dengan jari. Salah satunya adalah tentang wanita simpanan yang dijatuhi hukuman mati karena suatu penyakit berbahaya. Namun, warga yang menilai bahwa sebuah skandal adalah bagian dari hidup para aristokrat tidak memedulikannya dan menganggapnya sebagai angin lalu. Mereka bahkan sudah lupa akan putri tunggal dari wanita itu yang kini telah menginjak usia remaja.

Fredrica terlahir dari hubungan gelap antara ibunya dengan Viscount Bianca. Sejak kecil dia hanya tinggal berdua dengan Sang Ibu yang sakit-sakitan di wilayah yang dikenal sebagai daerah kumuh. Gadis kecil itu bahkan rela bekerja sebagai buruh kasar di pasar sejak usianya menginjak tujuh tahun. Dia juga sering kali mendapati orang-orang dari orde menyiksa orangtua satu-satunya yang dia miliki hanya karena dianggap sebagai aib walikota.

Tiga tahun berlalu dengan penuh penderitaan hingga suatu saat, ketika Fredrica baru pulang dari pasar setelah lelah bekerja, Sang Ibu tiba-tiba menjerit histeris. Tubuhnya mulai tenggelam dalam darahnya sendiri sementara auman kesakitan memecah suasana sore itu. Melihat ibunya yang tersiksa membuat gadis kecil tersebut menangis tanpa tahu harus berbuat apa.

Tepat empat jam setelah kejadian yang berhasil menarik perhatian seluruh warga di sekitarnya, malam itu juga, sosok satu-satunya yang dia kasihi dibakar hidup-hidup di tiang pancang. Jeritan dari penyakit misterius yang menggerogotinya bertambah parah saat lidah api menjilati tubuhnya hingga hangus menjadi abu.

Fredrica selalu mengingat kejadian hari itu ketika dirinya termenung sendirian.

Belakangan dia tahu bahwa penyakit yang menimpa ibunya adalah sebuah fenomena yang disebut sebagai kerasukan iblis. Hal ini terjadi karena emosi negatif dari makhluk hidup berhasil menelan seluruh jiwanya sehingga memungkinkan jalan bagi iblis untuk mengambil alih tubuh dari makhluk hidup yang mengalaminya dan bangkit ke dunia ini.

Setelah Fredrica mengetahui seluk-beluk dari penyakit yang satu ini, dia memutuskan untuk bergabung dengan ordo dan bertekad untuk mencari metode pengobatan guna menyembuhkan fenomena kerasukan iblis. Dia tidak ingin ada anak-anak lain yang mengalami kepahitan hidup seperti dirinya.

Jalan yang ditempuhnya tentu saja tidaklah mudah. Apalagi bagi orang yang sama sekali tidak berbakat seperti dirinya. Itulah sebabnya selama empat tahun mengabdikan diri pada ordo, Fredrica masih berada pada kelas Acolyte.

"Tolong pergunakan senjatamu di jalan kebenaran. Jangan sampai mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan oleh Demigod padamu."

Seorang wanita terbalut jubah hitam membawa sebuah nampan kayu yang di atasnya tersimpan topeng hitam aneh bercorak menyerupai wajah seekor kucing, sepasang belati, dan sebilah pedang hitam legam. Dia memberikan semuanya pada tiga orang asing yang sedang diantarkan oleh Fredrica menuju pintu keluar kuil.

Gadis itu mengetahui tiap-tiap benda pusaka tersebut memiliki kutukan yang berbahaya. Jadi, Fredrica melangkah mundur secara tidak sadar sebagai bentuk pertahanan dirinya terhadap benda-benda terkutuk yang tergeletak begitu saja di atas nampan kayu.

Sekitar enam hari yang lalu dia melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa dua orang pendeta dengan kelas Angelus mengalami fenomena kerasukan iblis sesaat setelah menyentuh benda-benda tersebut. Dia --dan banyak pendeta lain-- menjadi ribut karena kejadian tak terduga itu. Semua orang panik dan kehilangan ketenangan mengingat mitos tentang kebangkitan iblis yang akan terjadi setelah fenomena ini mencapai puncak. Akhirnya dengan berat hati pihak ordo memutuskan untuk membakar dua pendeta itu di dalam ruangan khusus. Setelah kejadian tersebut, tak ada seorang pun yang berani untuk memegang senjata-senjata terkutuk itu lagi.

"Ah, terima kasih." Salah satu dari tiga orang asing yang diantarkan oleh Fredrica --seorang gadis muda kurus berambut hitam-- memegang benda-benda terkutuk itu tanpa ragu dan mulai mengaitkannya pada tubuhnya sendiri. Gadis itu tampaknya tidak terpengaruh sama sekali. Hal ini membuat Fredrica sedikit berkeringat dan tertegun merasa tidak karuan.

"Lalu, tentang lisensi dari Demigod." Seorang lelaki muda di samping Fredrica memulai pembicaraan.

"Tentang hal itu, Robbert akan melaporkannya terlebih dahulu. Setelah Demigod menyetujuinya, kalian akan diundang ke Kuil Ortodox untuk bertatap muka dengan beliau secara langsung. Selama itu pula, aku sarankan adikmu untuk tidak menunjukan segala bentuk sihir kegelapan pada siapa pun." Wanita berjubah itu memberi penjelasan.

Jujur saja, sebagai salah satu anggota dari ordo, Fredrica tidak mengenal sosok wanita di hadapannya. Tampaknya wanita itu datang dari Kuil Ortodox bersama dengan Kursi Ketiga Robbert. Mendengar dia memanggil Enam Pendeta dengan hanya menyebutkan namanya membuat gadis itu tahu bahwa dia bukanlah pendeta biasa.

"Terima kasih banyak atas bantuan Anda."

Fredrica kembali memimpin jalan untuk mengantar mereka menuju pintu keluar. Selama dalam perjalanan mereka sedikit bercakap-cakap untuk sekadar mengisi waktu kosong. Belakangan dia tahu bahwa nama ketiga orang asing itu adalah Yehezkiel, Almaria, dan Isabelle. Masing-masing dari mereka adalah korban sebuah organisasi kejahatan yang berhasil lolos dan kebetulan menemukan Kota Trowell.

Setelah sampai ke pintu keluar, mereka berpamitan padanya dengan sangat sopan. Masing-masing memiliki adab dan perilaku yang luar biasa, membuat Fredrica yakin bahwa mereka bukanlah berasal dari kalangan orang-orang kecil sepertinya. Tidak disangka-sangka, pemilik dari perlengkapan terkutuk itu adalah orang yang ramah.

Setelah menyelesaikan segala tugas wajibnya dan melakukan ritual keagamaan untuk mengisi grimoire miliknya kembali, Fredrica berjalan menyusuri salah satu jalanan yang mulai sepi seraya menggenggam staff kebanggaanya. Tak lupa, gadis itu menyimpan grimoire miliknya pada ikat pinggang khusus yang melingkari tubuhnya.

Pandangan matanya menatap ke seluruh area di sekitarnya. Bangunan-bangunan kota masih terlihat rusak di beberapa tempat. Namun, bantuan dana dari kerajaan ditambah bakat yang dimiliki oleh walikota membuat dia yakin bahwa Kota Trowell akan bangkit dalam waktu dekat.

Gadis itu membeli beberapa bahan makanan di salah satu toko yang masih buka. Sayangnya, gadis yang sehari-hari hanya mengandalkan pendapatan dari sumbangan rakyat terhadap ordo tak memiliki uang yang cukup. Apalagi ditambah dengan inflasi akibat dari musibah yang baru saja menimpa kota ini, harga kebutuhan pokok menjadi berkali-kali lipat. Jadi, dia hanya membeli tepung sagu seperlunya dan satu bungkus garam dapur.

Fredrica menghela napas saat melanjutkan langkahnya menuju gerbang kota.

Sudah tiga tahun gadis itu memilih untuk pindah menuju salah satu desa yang terletak sangat dekat dengan kota. Dia merasa jika terus tinggal di dalam kota, ingatan buruk yang menimpa ibunya akan terus membayanginya setiap waktu. Oleh karena itu, Fredrica memilih untuk pindah dan membangun rumah kayu sederhana di batas terluar dari desa.

Gadis itu sangat suka menyendiri.

Jarak dari desa ke kota hanya satu jam jika ditempuh dengan jalan kaki. Jadi, tak ada masalah baginya untuk pulang dan pergi dari desa ke kota setiap hari. Kepala Desa dan warga di sekitar pun menyambutnya dengan sangat baik. Dia juga dikenal sebagai tabib muda dan sering dimintai tolong jika ada warga yang sakit. Sejauh ini keputusannya untuk menetap di desa bukanlah sebuah pilihan yang buruk.

Tidak ada seorang pun yang berpapasan dengannya mengingat warna langit yang mulai murung. Orang-orang pastilah sudah kembali ke rumahnya masing-masing untuk beristirahat dan mempersiapkan diri guna menyambut hari esok. Jadi, tidak aneh jika suasana desa menjadi sangat sunyi.

Sekitar sepuluh langkah menuju rumahnya, kedua telinga Fredrica dapat mendengar suara jeritan yang samar. Seketika itu juga dirinya teringat akan kejadian di masa lalu yang menimpa keluarga kecilnya. Dia segera berlari ke dalam rumah seraya mendatangi sumber suara.

Tepat di atas tempat tidur kayu sederhana yang ditempatkan pada salah satu ruangan, sosok wanita penuh luka terbaring meronta seakan berusaha untuk melepaskan diri. Kedua tangan dan kakinya diikat dengan kuat, seakan memaksa wanita itu untuk tidak banyak bergerak.

"Aku mohon ambil nyawaku! Aku sudah tidak tahan lagi!" Dia menjerit kesakitan seraya meronta semakin kuat.

Fredrica yang menyadari bahwa penyakit wanita itu kembali kambuh segera membuka grimoire miliknya dan langsung membacakan beberapa mantra sekaligus. Dia merapalkannya secara terus-menerus, berdoa pada Sang Dewi untuk sekadar meringankan penderitaannya.

Perlahan tapi pasti, jeritannya mulai melemah hingga hanya terdengar suara napas yang tersenggal-senggal. Dia terbaring lemah di atas tempat tidur sederhana seakan telah melalui mimpi yang teramat buruk.

"Apakah Anda baik-baik saja?" Fredrica bertanya khawatir saat mendapati kesadaran dari wanita itu mulai kembali mengambil alih.

Wanita yang masih terbaring lemah di atas tempat tidur menoleh ke arahnya, menatap dengan kedua bola mata hitamnya yang kini mulai memutih. Rambut panjangnya telah memutih seluruhnya akibat beban mental yang menyerangnya secara terus-menerus. Seluruh permukaan kulitnya bahkan mulai menghitam dan berkerut di mana-mana.

"Ah, terima kasih banyak atas pertolonganmu. Kau benar-benar gadis yang baik."

Fredrica berusaha tersenyum ramah pada wanita itu.

Sekitar empat hari yang lalu, secara kebetulan dirinya mendapati sosok wanita ini tengah berlari di bibir hutan sendirian. Dia menjerit linglung seraya berusaha mengusir sesuatu yang sebenarnya tidak ada. Semua ciri-cirinya mengingatkan Fredrica pada sosok orang yang tengah mengalami kerasukan iblis.

Pada awalnya dia bermaksud untuk menolong wanita itu. Namun, trauma yang dialaminya akibat penyakit yang satu ini dan penyerangan Hellhound ke Kota Trowell yang baru saja terjadi sekitar tiga hari yang lalu membuat Fredrica mengurungkan niatnya. Seperti orang pada umumnya, dia tentu lebih memilih untuk menjauhi sumber bahaya alih-alih menantang maut.

Fredrica yang ketakutan memilih untuk kabur secepat yang dia bisa sebelum ras iblis kembali bangkit dan membawa malapetaka ke kota kelahiranya melalui tubuh wanita itu. Dia bersembunyi di rumahnya semalaman tanpa bisa tidur nyenyak. Gadis itu tahu bahwa tragedi mengerikan pastilah kembali menimpa kota kelahirannya. Rasa bersalah karena tak segera melapor pada pihak ordo dan memilih untuk mengorbankan keselamatan seluruh warga demi nyawanya sendiri membuat Fredrica membenci dirinya.

Jika aku datang untuk melapor pada ordo, iblis akan menyerang kota sebelum aku sempat meninggalkan tempat itu, pikirnya saat mengambil tindakan seorang pengecut.

Keesokan harinya dia terkejut mendapati wanita misterius tersebut masih berada di tempat yang sama. Sosok menyedihkan itu tengah terbaring lemah di bawah salah satu pohon layaknya mayat. Tubuhnya sama sekali tidak berubah menjadi iblis.

Melihat fenomena itu membuat Fredrica meragukan kredibilitas ordo.

Sebenarnya ada sebuah kemungkinan dimana dia keliru menilai ciri-ciri dari penyakit yang diderita oleh wanita tersebut. Namun, perlakuan ordo dan walikota terhadap ibunya di masa lalu tampaknya telah memengaruhi alam bawah sadar Fredrica sehingga dia seakan buta terhadap kemungkinan-kemungkinan yang lain. Sejak awal gadis itu selalu menilai bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan ordo. Jadi, sedikit saja pemicu yang berhubungan dengan ordo akan membuat Fredrica langsung mencurigai organisasi keagamaan itu.

Apakah ordo benar-benar mengatakan yang sebenarnya tentang kerasukan iblis?

Apakah ibu wafat karena suatu kepentingan?

Sebenarnya apa itu kerasukan iblis?

Setelah melewati berbagai pertimbangan, akhirnya dia memutuskan untuk membawanya ke rumah dan merawatnya hingga menemukan cara untuk menyembuhkannya. Walau terdengar jahat, gadis itu akan menjadikan tubuh wanita ini sebagai objek penelitiannya. Fredrica bertekad untuk menggenapi tujuan yang telah dia tentukan sebelumnya.