Chereads / RE:VERSE / Chapter 27 - 6.I Wilayah Kumuh Kota Trowell

Chapter 27 - 6.I Wilayah Kumuh Kota Trowell

Beberapa pasang mata memandang ke arah seorang gadis kurus berambut hitam dari balik bangunan-bangunan tua yang mulai rapuh. Tatapan-tatapan itu terasa begitu mengancam, tetapi gadis yang berjalan melewati tempat tersebut sama sekali tidak menunjukan tanda-tanda ketakutan.

Dia mungkin begitu percaya diri dengan kemampuannya dalam mengayunkan sepasang belati atau pedang satu tangan yang dia bawa bersamanya. Namun, bisa saja dirinya sama sekali tidak menyadari para penguntit yang menatapnya di kegelapan malam.

Walaupun begitu, tak ada seorang pun yang mau mengambil risiko untuk menyergap gadis itu.

"Se-selamat datang kembali."

Seorang gadis muda tiba-tiba menghalangi jalannya seraya menunduk seakan memberi hormat. Rambut hitamnya yang dipotong pendek hingga bahu tergerai turun mengikuti gerakannya. Gadis itu membawa sebuah panah kayu sederhana yang sudah usang bersamanya.

"Ah, Hellen. Tidak usah terlalu formal denganku. Omong-omong, apa yang kau lakukan di sini?" Gadis kurus itu bertanya, mengabaikan beberapa pasang mata yang masih mengawasinya.

"Daerah ini cukup berbahaya bagi orang asing. Jadi, Gabe memintaku untuk menunggumu di sini."

"Jadi begitu." Dia memiringkan kepala seraya bergumam perlahan. "Apa dia meremehkan kemampuanku atau sejenisnya?"

Mendengar lawan bicaranya bergumam seperti itu membuat Hellen sedikit panik. Dia buru-buru menjelaskan apa yang sebenarnya dipikirkan oleh Gabriel.

"Bu-bukan seperti itu! Gabe hanya takut seseorang akan menyergapmu ketika kau menurunkan kewaspadaan!"

Dia sedikit terkejut dengan penjelasan Hellen yang cukup keras dan tiba-tiba. Namun, wajahnya kembali datar sesaat kemudian.

"Em. Padahal tidak usah repot-repot seperti itu." Gadis itu melanjutkan langkahnya.

Hellen berjalan beriringan dengannya, memandang ke segala arah dengan tatapan penuh waspada. Dalam lubuk hatinya, dia tidak mau sesuatu yang buruk tiba-tiba menimpa mereka berdua. Jadi, Hellen sebisa mungkin menaikan kewaspadaannya.

"Tidak usah terlalu tegang seperti itu." Tampaknya gadis di sampingnya merasakan kekhawatiran Hellen. "Aku bisa merasakan sebelas orang yang memerhatikanku dari balik kegelapan. Semuanya lemah. Mereka akan mati sebelum menyadarinya jika mereka berani menyergap."

Kata-katanya terdengar dingin dan tanpa keraguan. Walaupun terkesan sombong dan penuh arogansi, Hellen sama sekali tidak mengungkapkan protes apa pun. Hal ini karena dia meyakini bahwa gadis di sampingnya tidak hanya besar mulut.

"Em, Alma?" Hellen memanggilnya dengan sedikit ragu.

Mendengar namanya disebut, gadis itu menoleh ke arahnya, menatap tajam dengan kedua bola mata cokelat miliknya.

"Hm?" Alma sedikit memiringkan kepala.

"Bagaimana perjalananmu di kota?"

"Ah!" Suaranya terdengar sedikit antusias. "Walaupun belum sepenuhnya pulih, tapi pusat perbelanjaan ramai sekali. Aku sampai bingung mau beli apa. Oya, aku juga beli sesuatu untuk adik-adikmu. Sayangnya, uangku hanya cukup untuk membeli satu."

Alma mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan sebuah bingkisan kecil ke hadapan Hellen. Walau terdengar riang, kata-kata terakhirnya menyiratkan sebuah kesedihan maupun penyesalan. Setelah itu, wajah Alma terlihat sedikit murung.

"Ja-jangan khawatir! Mereka pasti akan senang! Sungguh!" Hellen berusaha menghiburnya.

Alma menghela napas panjang sebelum menjawab perkataan Hellen.

"Yah, semoga saja."

***

Mereka berdua melanjutkan langkahnya tanpa merasa terganggu dengan beberapa pasang mata yang masih tetap memperhatikan. Semakin jauh mereka melangkah, semakin sering anak-anak dan orang tua meramaikan suasana di jalanan sempit itu. Beberapa ada yang menatap penasaran ke arah mereka, tetapi tidak sedikit juga yang sama sekali tidak peduli.

Setelah beberapa kali melewati gang sempit beraroma tidak menyenangkan, akhirnya mereka sampai pada salah satu bangunan tua yang sudah lama ditinggalkan. Tempatnya memang tidak terlalu besar dan berada dalam keadaan yang hampir roboh, tetapi masih cukup layak untuk dijadikan tempat berlindung dari hujan dan dinginnya udara malam.

Hellen membukakan pintu kayu usang yang membatasi ruang di dalam bangunan dengan udara luar. Setelah itu, dia mempersilakan Alma untuk masuk terlebih dahulu. Gadis itu menunduk seraya melemparkan senyuman sebelum akhirnya berjalan memasuki tempat pengap tersebut.

"Ah Kakak sudah kembali!"

Tiga orang gadis kecil langsung menghampirinya seraya berteriak penuh suka cita. Masing-masing berbadan kurus dengan rambut hitam yang kusut tak terawat. Sebuah pemandangan yang menggambarkan orang-orang yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Alma tersenyum memandang ketiganya, berusaha terlihat layaknya anak gadis berhati baik.

Sesaat dia mengalihkan pandangannya, menatap ke arah seorang pemuda yang tengah sibuk mengurus pedang satu tangan yang baru saja dia beli tadi siang. Walau pencahayaan dalam ruangan tampak begitu remang karena hanya diterangi oleh satu buah lentera yang disimpan tepat di pusat ruangan, pandangan Alma yang tajam dapat dengan mudah melihat setiap detil yang dilakukan oleh lelaki itu. Dia terlihat fokus pada senjatanya dan tidak memedulikan sekitar.

Melihatnya seperti itu membuat Alma sedikit khawatir dan menebak-nebak apa yang sebenarnya sedang dipikirkan olehnya.

Menyadari bahwa orang asing mencurigakan tengah menjalin kontak dengannya, Alma segera menghubungi Sang Tuan tanpa membuang waktu sedikit pun. Diskusi yang dilakukannya melalui telepati sepertinya membuat tuannya merasa sedikit tertekan. Namun, bukannya menyuruh Alma untuk membunuh, dia malah memerintahkan Alma untuk tidak melakukan apa pun yang dapat memancing masalah baru. Jadi, gadis itu membiarkannya pergi begitu saja.

Dia menyadari keputusan Sang Tuan adalah pilihan yang terbaik ketika dirinya mencoba untuk berkomunikasi dengan pemilik toko roti. Sihir ilusi tampaknya telah dirapalkan pada orang itu tanpa sedikit pun Alma menyadarinya. Tujuannya sudah jelas, agar tidak ada seorang pun yang tahu isi percakapan di antara Alma dengan Carmen. Walaupun dia kebal terhadap serangan mental, gadis itu tahu bahwa sihir tanpa mantra bukanlah hal yang dapat dianggap remeh. Jadi, tidak memancingnya untuk duel merupakan pilihan yang cukup bijak.

Jauh di dalam hatinya Alma memuji tindakan yang dipilih oleh Sang Tuan.

"Ah, aku membelikan sesuatu untuk kalian."

Alma berusaha untuk tidak memikirkannya jauh lebih dalam lagi. Dia takut bahwa kekhawatirannya akan terbaca oleh orang-orang di sekitarnya dan menimbulkan kecurigaan di antara mereka. Jadi, gadis itu langsung membuka topik lain pada tiga orang gadis kecil yang berdiri di hadapannya.

"Asik!"

"Kakak benar-benar baik."

"E-em ... "

Mereka bersuara hampir bersamaan, membuat suaranya menjadi timpang tindih dan sedikit menimbulkan kegaduhan. Hal ini sepertinya memancing Gabriel untuk bereaksi.

"Hey, jangan terlalu berisik. Ini sudah malam!" Gabe --yang sedari tadi juga sibuk merawat senjatanya-- angkat suara bermaksud untuk memarahi. Dia mengalihkan pandangan ke arah Alma seraya berbicara dengan nada yang sopan. "Maaf atas ketidak sopanan mereka. Selain itu, tidak usah repot-rep--"

"Ah, tidak apa-apa. Aku suka anak-anak," potong Alma seraya menunjukan senyumannya di tengah cahaya remang. "Lagipula aku sudah membelinya. Tidak mungkin jika aku kembalikan, 'kan?"

Atas pernyataan Alma, Gabriel tidak bisa mengungkapkan suara penolakannya. Jadi, dia memilih untuk menerima tawaran Alma seraya melanjutkan perawatannya. Tidak lupa, berbagai ucapan terima kasih dia ucapkan pada Alma sebelum kembali melanjutkan aktivitasnya. Sementara itu, Hellen mulai sibuk dengan alat-alat masak di ruangan yang lain.

Menyadari bahwa tidak ada satu orang pun yang keberatan, Alma meletakan bingkisan kecil di tangan kirinya lalu membukanya kemudian. Di atas bingkisan yang terbuat dari kulit kayu, sebuah roti dingin tergeletak begitu saja. Hal ini tentu menguras semua perhatian ketiga gadis kecil di hadapannya.

"Maaf, uangku hanya cukup untuk membeli satu." Alma mengungkapkan suara kekecewaannya.

Pernyataanya memang mengandung sebuah kebenaran. Namun, dia sebenarnya membeli sebuah roti isi olahan dari biji buah kokoa yang memang terbilang mahal. Jadi, sesungguhnya, jika dia ingin membeli tiga roti dan memberikannya masing-masing satu potong, uangnya tentu saja lebih dari cukup untuk membeli roti dengan kualitas rata-rata. Namun, gadis itu punya alasan tersendiri untuk tidak melakukannya.

"Em ... tidak apa-apa, Kak! Ini saja sudah lebih dari cukup, benar?" Salah satu dari ketiga gadis --Annie-- mengatakannya dengan penuh riang seraya menoleh ke arah kedua temannya untuk meminta dukungan.

Kedua gadis di sampingnya tentu saja mengangguk penuh semangat.

Melihat mereka bertiga tak menunjukan tanda-tanda kekecewaan membuat Alma sedikit senang dan merasa keheranan. Namun, dia segera tersenyum dan mempersilakan mereka untuk makan.

Pada awalnya dia sengaja hanya membeli satu potong roti yang sangat mahal sekadar untuk melihat mereka berebut dan pada akhirnya saling memusuhi satu sama lain. Bagi iblis sepertinya, melihat seseorang saling bermusuhan adalah hal yang cukup menghibur. Maka dari itu Alma tidak mau repot-repot membelikan mereka masing-masing satu potong roti.

Sayang sekali apa yang sudah dia rencanakan hanya untuk menghibur diri berakhir dengan sia-sia. Mereka membelah roti itu menjadi tiga bagian dan memakannya dengan lahap. Sama sekali tidak ada pertengkaran di antara ketiga gadis itu. Hal ini tentu saja membuat Alma sangat kecewa.

Gadis itu menghela napas seakan menyesali perbuatan bodohnya dalam membuang uang yang diberikan oleh tuannya. Dia mulai mengeluh, memaki dirinya sendiri atas apa yang dilakukan olehnya dan mempertanyakan pilihan yang diambilnya dibanding dengan menggunakan koin-koin itu untuk sesuatu yang lebih menguntungkan baginya. Namun, pemikirannya segera hancur tak lama setelah itu.

"Terima kasih, Kak! Ini adalah roti terenak yang pernah kami makan." Annie berucap dengan riang.

"Uhum!" Gadis di sebelahnya --Christabell-- mengangguk bangga.

"E-em ... terima kasih." Gadis terakhir mengucapkan kalimatnya dengan sedikit gugup.

Alma yang mendengar ucapan mereka tidak dapat menolak untuk tersenyum seraya menganggukan kepala. Jauh di dalam hatinya, dia merasa sangat puas dengan wajah-wajah riang yang tergambar di hadapannya. Namun, setitik rasa heran karena dia menikmati suasana ini sedikit mengganggu pikiran Alma. Dia sama sekali tidak mengerti dengan perasaan campur aduk yang dialaminya.

Setelah lama berkecamuk dengan pikirannya sendiri, akhirnya Alma memilih untuk tidak memedulikannya lagi.

Ya sudahlah. Lagipula hal sepele semacam ini tidak terlalu berpengaruh padaku, ucapnya dalam hati.

Bersamaan dengan berakhirnya percakapan di antara mereka, Hellen memberi tahu bahwa makan malam sudah siap. Pada akhirnya mereka semua makan bersama dan beristirahat tidak lama setelah itu. Bermaksud untuk mengumpulkan tenaga guna menyambut hari esok.

------

Minggu, 28 Oktober 2018

Pukul 03:35 PM

Riwayat Penyuntingan :

• Minggu, 21 April 2019