Almaria berjalan sendirian melewati bangunan-bangunan yang masih terlihat sedikit hancur. Salah satu lengannya menggenggam dua koin perak yang dia dapatkan dari tuannya. Pada awalnya dia menolak uang-uang itu mengingat dirinya sama sekali tidak membutuhkan. Namun, sebuah ide unik yang mungkin akan membuatnya sedikit terhibur tiba-tiba terlintas begitu saja. Jadi, dia menerima uang tersebut setelah beberapa kali mengungkapkan penolakan dan langsung meminta izin untuk pergi ke kota.
Gadis itu menyimpan persona di dalam magic storage miliknya, membuat seluruh bagian wajahnya terlihat jelas oleh para pejalan kaki. Kini hanya sepasang belati dan sebuah pedang satu tangan hitam yang dia bawa sebagai senjata. Lagipula tidak ada seorang pun di kota ini yang benar-benar menjadi sebuah ancaman baginya.
Matahari memang sudah tenggelam beberapa waktu lalu, membuat pencahayaan dari obor-obor di pinggir jalan menjadi satu-satunya sumber penerangan. Namun, keramaian di dalam kota malah semakin bertambah. Hal ini menjadi keunikan tersendiri yang membedakan Kota Trowell dengan desa-desa di sekitarnya.
Beberapa pedagang sudah mulai kembali membuka kedai-kedai mereka, menjajakan kebutuhan-kebutuhan pokok dengan harga sekitar dua sampai tiga kali lipat lebih mahal daripada yang seharusnya. Mereka terlihat bersemangat menawarkan barang dagangannya pada setiap pejalan kaki yang lewat. Tidak terkecuali pada Alma yang beberapa kali mengalihkan pandangan seakan mencari sesuatu.
"Maaf," di antara banyaknya orang yang berpapasan dengannya selama dia berjalan menyusuri kota, sosok gadis berambut cokelat tiba-tiba mendatanginya. "Almaria, benar?"
Alma mengalihkan pandangan ke arahnya seraya memiringkan kepala, menatap fokus pada penampilan seseorang di hadapannya.
Rambut cokelatnya terurai lurus hingga pinggang, sedikit berwarna kemerahan karena cahaya dari obor-obor. Tubuh Alma yang terbilang kecil hanya sampai pada bahu gadis itu. Usianya mungkin sekitar dua puluh tahunan dengan paras yang cukup menawan. Sama sekali tidak terlihat sedikit pun kekurangan dari gadis itu.
"Siapa?" Alma yang merasa baru pertama kali bertemu dengannya mengeluarkan sebuah pertanyaan langsung.
"Namaku Carmen Estrella Campbell. Kau mungkin tidak mengingatnya, tapi aku adalah orang yang mengembalikan perlengkapanmu saat di kuil."
Berbeda dengan Ignis Kingdom, dalam sosial budaya Cygnus Kingdom, kebiasaan mengenalkan diri biasanya dengan menyebutkan nama secara lengkap. Hal ini akan dianggap jauh lebih sopan dibanding jika kau hanya menyebutkan nama depanmu saja. Namun, sebenarnya tidak ada aturan secara tertulis mengenai hal ini. Jadi, ini lebih seperti norma yang berasal dari kebiasaan sejak lama.
Dilihat dari namanya yang terdiri dari tiga kata, gadis ini pastilah bukan rakyat biasa. Namun, bukan juga merupakan seorang bangsawan. Mungkin hanya orang penting yang bekerja di bawah salah satu aristokrat.
Dalam tatanan dunia ini, nama memiliki peranan yang sangat penting. Seorang budak biasanya menggunakan satu sampai dua huruf dalam namanya. Terkadang malah mereka hanya menggunakan nomor sebagai pengganti nama. Selanjutnya, rakyat biasa selalu menggunakan satu nama saja sebagai identitas diri. Seseorang yang menggunakan tiga nama sekaligus hanyalah mereka yang dianggap sebagai orang-orang penting. Kemudian, orang dengan dua nama --biasanya nama asli dan nama keluarga-- yang dipisah oleh sebuah gelar keturunan aristokrasi akan dikenal sebagai para aristokrat. Sebagai contoh, Almaria yang memiliki darah dari Keluarga Canaria diberkahi dengan nama Almaria Canaria. Karena dia adalah seorang bangsawan, gelar kebangsawanan yang menandakan bahwa dia adalah seorang keturunan sah dari Marquis Canaria membuat nama lengkapnya menjadi Almaria von Canaria. Pemberian nama yang terakhir adalah seseorang dengan lima nama sekaligus. Biasanya hanya dimiliki oleh bangsawan tingkat tinggi seperti raja, kaisar, dan keturunan dari mereka.
"Mengembalikan perlengkapan?" Alma kembali bertanya.
"Senjata-senjatamu di kuil tadi pagi. Apa kau ingat?"
Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya Alma mengingatnya. Gadis ini mungkin adalah sosok di balik jubah hitam yang membawakan perlengkapannya ketika dia akan pergi dari kuil.
"Ah, kau orang di balik jubah itu?"
Carmen tersenyum sesaat sebelum menganggukan kepala.
"Aku adalah sekutu Robbert. Bisa dibilang sebagai rekan dalam misi yang dijalani olehnya. Senang bisa bertemu denganmu lagi. Dan lagi, aku akan senang jika kau memperlakukanku layaknya seorang teman. Apa kau punya waktu luang?"
Mendengar nama Robbert membuat Alma sedikit mengerutkan dahinya.
Orang-orang dari ordo biasa menjalani misinya dengan membentuk sebuah kelompok yang berjumlah dua orang. Dengan kata lain, orang ini adalah rekan dalam kelompok Robbert. Jadi, sudah pasti dia bukanlah orang sembarangan. Namun, instingnya sebagai iblis tingkat atas sama sekali tidak merespon adanya ancaman dari gadis ini. Alma menjadi ragu apakah dia benar-benar sekuat itu hingga pantas menjadi rekan Robbert.
Pada awalnya Alma ingin memosisikan dirinya sebagai orang yang menyambutnya dengan sopan. Namun, menolak permintaanya untuk mengabaikan kesopanan merupakan hal yang tidak sopan. Jadi, dia memilih untuk menuruti apa yang gadis itu mau.
"Tentu saja, walaupun tidak banyak karena aku harus segera pulang."
"Ah, tidak usah khawatir. Ini tak akan lama." Gadis itu buru-buru membalas perkataan Alma. "Omong-omong, apa yang sedang kau cari?"
"Sesuatu yang bisa dimakan langsung."
"Buah-buahan?"
Alma berpikir sejenak sebelum memberikan jawaban. "Kurasa tidak cocok. Buah-buahan sepertinya tak cukup untuk mengganjal perut."
"Bagaimana kalau roti?"
Jika apa yang diinginkan Alma adalah sesuatu yang dapat membuat sedikit kenyang, roti seharusnya menjadi pilihan yang cocok. Oleh karena itu Alma mengungkapkan persetujuannya.
"Pilihan yang bagus. Di mana kira-kira toko roti?"
"Mana aku tahu. Aku baru dua kali ke kota ini."
"Hm?" Alma memiringkan kepalanya seakan merasa aneh.
"Aku menetap di Kuil Ortodox dan datang kemari karena ada urusan denganmu."
"Aku merasa terhormat kalau begitu." Pandangan mata cokelat Alma tetap menatap ke sekeliling tanpa melihat ke arah gadis itu.
"Tentang senjata-senjatamu ... ap--"
"Ah! Toko roti!"
Alma mempercepat langkahnya ketika sesuatu yang dia cari-cari akhirnya tertangkap oleh bidang pandangnya. Menyadari lawan bicaranya pergi, Carmen buru-buru menyusulnya.
"Hei! Tunggu aku!"
Mereka berjalan cepat hingga berada tepat di depan sebuah toko tua yang terlihat sepi pengunjung. Jauh di belakang lemari-lemari kayu berisikan roti-roti hangat, seorang wanita tua berdiri sebagai pemilik toko. Dia menyambut kedatangan mereka dengan senyuman yang ramah.
"Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?" Kedua bola mata Alma menatap roti-roti yang dipajang memenuhi salah satu lemari.
"Tentang senjatamu, itu adalah apa yang disebut sebagai senjata pembunuh dewa. Hanya orang-orang tertentu yang memenuhi kualifikasi yang dapat menggunakannya. Senjata seperti itu tentu akan menggemparkan seluruh kerajaan jika diketahui."
Mendengar perkataan gadis yang baru dikenalnya, Alma langsung terdiam untuk beberapa saat. Kepalanya menoleh kemudian, menatap wajah Carmen dengan pandangan yang tajam.
"Seberapa banyak yang kau ketahui tentangku?"
"Ah!" Carmen mengeluarkan sedikit tawa aneh seakan kehilangan kata-kata. "Tak usah seperti itu. Sudah kubilang aku hanya ingin mengobrol, 'kan?"
"Lalu?"
Jauh di dalam pikirannya, Alma bertanya-tanya tentang seberapa banyak gadis itu mengetahui informasi mengenai senjata-senjata yang dimiliki olehnya. Selain itu, identitasnya juga masih belum jelas. Mungkin membunuhnya akan menjadi pilihan yang tepat. Namun, batas kekuatan gadis itu belum dia ketahui dengan pasti. Kemungkinan bahwa ini hanyalah sebuah umpan juga tidaklah nol. Jadi, Alma berusaha untuk tetap tenang.
Memikirkannya dalam-dalam jujur saja membuat Alma menjadi sedikit khawatir. Tubuhnya gemetar saat butiran keringat dingin membasahi dahinya. Dia tahu bahwa hal-hal buruk mungkin akan terjadi lagi dalam waktu dekat.
"Dari mana kau mendapatkan semua itu?"
Alma menelan ludahnya sendiri sebelum memberikan jawaban.
"Ini adalah benda pusaka milik keluarga."
"He~" Carmen mendesah seakan mengejek. Raut wajahnya persis seperti seorang kakak yang menangkap basah adiknya yang tengah menyembunyikan sesuatu. "Lalu, dari mana keluargamu mendapatkannya?"
"Aku tidak tahu. Sungguh!" Alma hampir kehilangan ketenangannya.
"Jika itu adalah senjata turun-temurun dan kau dapat menggunakannya dengan baik, pasti ada sesuatu yang unik mengalir dalam darahmu. Semacam ... "
Carmen memegang kedua bahu Alma, menatapnya dengan senyuman yang menakutkan. Hal ini tentu saja membuat Alma semakin khawatir. Perlahan gadis itu mendekatkan mulutnya ke arah telinga kiri Alma seraya membisikan sesuatu.
"Apa nenek moyangmu yang memanggil Demon Lord?"
"Eh?!"
Menurut sejarah yang beredar, tiga belas penyihir agung melakukan ritual terlarang untuk memanggil Lord Kimaris dan bermaksud untuk mengendalikannya guna menguasai dunia. Namun, saat iblis tingkat tinggi itu bangkit ke dunia, ketiga belas penyihir mulai berseberangan pendapat dan berakhir dengan terpecah-belahnya mereka menjadi empat kelompok. Demon Lord yang menyadari kelemahan ini membatalkan kutukannya dengan sebuah sihir tingkat delapan. Pada akhirnya, mereka yang bertanggung jawab dan memiliki ikatan darah dengan tiga belas penyihir agung diburu oleh seluruh kerajaan hingga hari ini.
Alma tahu bahwa itu hanyalah sebuah kisah fiktif belaka. Orang yang bertanggung jawab memanggil Demon Lord adalah para iblis tingkat bawah. Sama sekali tidak ada yang namanya penyihir agung di dunia ini. Namun, walaupun Alma tahu kisah yang sebenarnya, dia masih belum mengerti kenapa pihak ordo menyebarkan kisah fiktif mengenai pembangkitan demon lord.
"Jika pihak kerajaan tahu, kau akan dihukum mati di tiang pancang lho~"
Gadis itu kemudian melepaskan tubuh Alma yang terasa semakin gemetar.
"Tidak usah khawatir. Aku tak peduli dengan hal-hal bodoh semacam itu. Hanya saja, masalah akan menjadi rumit jika Robbert mengetahuinya. Jadi, berhati-hatilah."
Semua tuduhanya sama sekali tidak benar. Namun, ketika Alma membandingkan tuduhan yang ditujukan padanya dengan kebenaran, tampaknya akan jauh lebih baik jika mengakui tuduhannya daripada mengungkapkan jati diri yang sebenarnya. Sayangnya hal ini juga bukan pilihan yang bijak.
"Jadi, jika tuduhanmu bahkan terbukti, kau tak akan melakukan apa pun padaku?"
Gadis itu tiba-tiba tertawa dengan suara yang cukup mengganggu. Untung saja tak ada pengunjung lain di dalam toko roti sederhana tempat mereka mengobrol. Anehnya, pemilik toko bahkan tidak merespon sedikit pun atas kebisingan yang terjadi di antara mereka.
"Tidak ada alasan bagiku untuk repot-repot melawan seseorang yang menggunakan senjata menakutkan sepertimu. Nyawaku jauh lebih berharga, kau tahu? Aku tak mau melawan musuh dengan persentase keberhasilan di bawah delapan puluh."
Mendengar jawabannya entah kenapa membuat Alma merasa sedikit lebih tenang.
"Dengarkan aku. Kau mungkin kuat, tapi kurasa kemampuan kita sebanding. Melawan Robbert dan Kuil Ortodox akan menjadi hal yang merepotkan. Selain itu, Empress Glastila juga akan langsung turun tangan jika mengetahui tentang masalah ini. Jadi, berusahalah untuk tidak ketahuan."
Carmen berbalik seraya berjalan menjauhi Alma yang masih terdiam tidak tahu harus berkata apa.
"Ah, aku lupa." Gadis itu menoleh ke arahnya lagi seraya berkata, "aku tidak akan bilang pada siapa pun. Aku tidak mau Demigod memerintahkanku untuk melawanmu. Secara pribadi aku menolak untuk mati muda. Selamat tinggal."
Setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya, gadis misterius itu benar-benar pergi meninggalkannya.
------
21 Oktober 2018
Riwayat Revisi :
• Minggu, 21 April 2019