Fajar terbit di langit timur. Suara kokok ayam jantan menandai dimulainya kehidupan di desa.
Semua keluarga bangun dari tidurnya. Para wanita mulai merebus air dan memasak. Para lelaki mengangkat air ke rumah atau merapikan alat-alat pertanian sebelum mereka sarapan dan memulai pekerjaan.
Desa itu adalah salah satu desa di Kabupaten Liancheng, Negara Jin. Populasinya sekitar tiga hingga empat ratus orang. Namun, hanya ada satu nama keluarga di desa tersebut - semua orang di sini adalah bagian dari klan yang sama. Dengan demikian, penduduk desa menggunakan nama keluarga mereka sebagai nama desa yang dikenal sebagai 'Desa Keluarga Mo.'
Beberapa rumah tersebar secara acak di sisi timur desa. Sebuah rumah batu bata tampak sangat mencolok di antara rumah-rumah tanah liat karena keunggulan bahan yang digunakan untuk membangunnya - gentengnya tebal dan dinding batunya tertata rapi. Dengan satu lirikan, tampak jelas bahwa batu bata itu tidak dibuat dengan metode tradisional yang biasanya digunakan oleh penduduk desa. Berbeda dengan pagar rumah dari tanah liat lainnya yang dibangun dengan beberapa cabang kayu dan rotan, pagar rumah itu terbuat dari tiang bambu yang ditata dengan cermat.
Namun, rumah itu berada dalam kondisi lebih buruk dibandingkan dengan rumah-rumah lain; ubin atap yang rusak dibiarkan begitu saja, satu sisi pagar terlihat rusak, dan ladang sayur di halaman sangatlah berantakan.
Sesaat kemudian, pintu rumah itu terbuka. Seorang gadis kecil dengan kulit keemasan dan rambut dikepang keluar dari rumah tersebut. Ia berusia sekitar tujuh tahun, sangat mungil, tampak kurus, dan mengenakan pakaian bernuansa kuno. Namun, ia terlihat bersih dan rapi. Tiap helai rambutnya disisir rapi dan pakaiannya juga terlihat sangat rapi.
Gadis itu lalu membuka pintu yang menuju kandang ayam. Ia membiarkan ayam itu keluar seraya berjalan menuju dapur di samping rumah. Di sana, ia menggunakan air dingin untuk membasuh wajah dan mulutnya. Setelah selesai, ia mengangkat lengan bajunya untuk mengambil air dari dalam kendi dan menggunakan air itu untuk mencuci beras. Ia kemudian memindahkan bangku kecil di samping kompor, berdiri di atasnya untuk menuangkan beras ke dalam wajan besar, dan menyalakan api.
Kabupaten Liancheng terletak di bagian selatan Negara Jin. Iklimnya hangat dan cocok untuk bertani. Dengan demikian, jerami juga umumnya dimanfaatkan untuk menyalakan api. Keadaan ini sangatlah menguntungkan karena tidak mungkin gadis kecil ini harus membelah kayu bakar.
Tak lama kemudian, sebuah suara terdengar dari rumah utama. Seorang wanita yang tampak pucat berjalan ke dapur.
Gadis kecil yang sedang menyalakan api dengan tergesa-gesa turun dari bangku dan berkata, "Ibu, kenapa ibu bangun? Masuk dan beristirahatlah sebentar; makanan akan segera siap."
Wanita itu tersenyum, membelai kepala gadis itu dan berkata, "Tiange, biarkan Ibu melakukan hal ini. Pergilah bermain."
"Tidak!" Gadis kecil itu bersikeras dan menarik ibunya ke dalam rumah dan berkata, "Ibu tidak boleh kedinginan. Aku bisa melakukan ini."
"Ini bukan apa-apa ..."
"Kemampuanku untuk melakukan tugas-tugas ini sudah cukup baik. Apakah ibu ingin pingsan dan membuatku khawatir lagi?"
Kata-kata gadis kecil membuat wanita itu tertegun.
Gadis kecil berbicara lagi: "Ibu, beristirahatlah dengan baik ... Jika Ibu sudah sembuh, aku tidak perlu melakukan hal-hal ini lagi."
Kata-kata polos si gadis kecil membuat senyum merekah di wajah wanita itu, namun senyum itu dipenuhi dengan kepedihan. Nada suara wanita itu menjadi lebih lembut ketika ia berkata, "Baiklah, Ibu akan sembuh secepatnya dan tidak akan membuat Tiange menderita lagi di masa depan."
Cahaya kemerahan muncul di langit timur. Bubur di atas tungku juga mulai mengeluarkan aroma sedap. Gadis kecil itu berdiri di atas sebuah bangku kecil dan dengan hati-hati mengambil dua mangkuk. Lalu, ia mengambil sebuah toples sayuran acar di sudut ruangan. Ia kemudian membawa semua itu, satu per satu, ke ruang utama.
Mereka hanya memiliki bubur tawar dan sayuran acar tanpa hidangan lainnya. Di dalam ruangan itu hanya terdapat seorang ibu yang sakit dan putrinya. Tidak heran keduanya terlihat pucat dan tidak sehat. Wanita itu tampak tertekan ketika dia melihat putrinya bekerja keras, tetapi gadis kecil itu makan buburnya dengan asyik dan tidak mempedulikan apa pun.
Setelah selesai sarapan, wanita itu menyisir rambut putrinya sejenak dan mengambil selendang yang tergantung di dinding. Dia memakaikannya pada putrinya dan berkata, "Di sekolah, kamu harus mendengarkan gurumu dan belajar keras."
"Baik, Bu! Aku akan pergi ke sekolah sekarang."
Matahari perlahan naik lebih tinggi di langit. Gadis kecil itu berjalan ke Aula Leluhur di sisi barat desa, menginjak embun yang tak terhitung jumlahnya di sepanjang jalan. Dari waktu ke waktu, terlihat anak laki-laki berlarian di jalan, tertawa dan bercanda.
Melihat gadis kecil itu berjalan, seorang bocah lelaki berusia sepuluh tahun diam-diam mengikutinya dari belakang. Tiba-tiba, ia dengan cepat maju dan menarik pita kepang gadis kecil itu.sambil tertawa, "Mo Tiange, kepangmu sangat jelek! Sebaiknya kau mencukur semua rambutmu!" Setelah selesai mengejek, ia berlari dan menghilang dari pandangan gadis kecil itu dalam sekejap.
Mo Tiange menatap tajam ke arah bocah itu dan berkata, "Kembalikan pitaku!"
Namun bocah itu mengangkat alis dan melihatnya dengan pandangan mengejek. "Berikan kembali padamu? Kenapa aku harus mengembalikannya padamu? Ambil jika kau bisa! Ayo! Ambil ini!"
Bagaimana bisa seorang anak tahan dengan hasutan seperti itu? Mo Tiange mengibaskan rambutnya dan mengejar anak itu.
"Haha! Bodoh! Aku di sini!" Anak itu sangat lincah dan kuat. Tubuh kurus dan lemah gadis kecil itu bukan tandingannya. Setiap gerakan tubuh bocah itu mampu menjatuhkan gadis itu, membuat gadis kecil itu terbakar amarah.
Setelah beberapa saat, Mo Tiange terengah-engah karena mengejar bocah itu. Tiba-tiba jauh di belakangnya, terdengar suara seorang gadis, "Kakak, apa yang kamu lakukan?"
Keduanya berhenti setelah mendengar suara gadis itu.
Seorang gadis berusia sekitar enam hingga delapan tahun berlari ke arah mereka. Melihat kepang Mo Tiange berantakan, ia langsung menatap tajam bocah itu dan berkata "Kakak, aku melarangmu untuk mengganggu Tiange! Kembalikan pitanya!"
Bocah tersebut lalu meninggikan suaranya dan berkata, "Aku hanya bercanda dengannya."
Gadis itu mengangkat alisnya dan memelototi kakaknya. "Kau masih berani berdebat denganku! Jika kau tidak mengembalikannya kepadaku, aku akan pulang sekarang dan memberitahu Ayah bahwa kau telah menindas adik perempuan kita!"
Bocah itu menjadi semakin menyebalkan saat berkata, "Adik seperti apa dia? Dia bahkan tidak tinggal bersama kita."
"Kakek kita adalah orang yang dipanggil 'Kakek' juga oleh Tiange; bagaimana mungkin dia bukan saudara perempuan kita? Jika kau berdebat denganku lagi, aku akan benar-benar pulang sekarang dan memberi tahu Ayah!"
"Oke, oke, aku akan memberikannya padamu, oke?" Bocah itu melemparkan pita di tangannya dan berjalan pergi.
Melihat bocah itu pergi, Tiange berkata dengan lembut, "Tianqiao, terima kasih."
Mo Tianqiao tersenyum dan berkata, "Tidak perlu berterima kasih padaku - itu salahnya. Nih, aku kembalikan pita milikmu!"
Mo Tiange mengambil pita itu kembali, lalu dengan asal mengepang rambutnya.
"Biar aku saja." Melihat hasil kepang Tiange yang berantakan, Mo Tianqiao mengepang kembali rambut Tiange dengan rapi. Ia setengah kepala lebih tinggi dari Mo Tiange sehingga dia bisa dengan lancar menyelesaikan kepangan tiange tanpa harus berjongkok.
Setelah selesai mengepang rambut Mo Tiange, Mo Tianqiao dengan hati-hati mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dari sakunya. Dia membukanya dan berkata, "Tiange, makanlah kue ini."
Mo Tiange mengambil sepotong kue ubi dari bungkusan itu dan berbisik, "Terima kasih."
Biasanya, dia tidak makan kue ataupun permen. Ibunya sakit-sakitan dan situasinya tidak berubah sampai sekarang. Meskipun mereka tidak pernah kelaparan, mereka juga tidak pernah kelebihan makanan. Hanya pada saat Tahun Baru dan festival besar lainnya ketika keluarga kakeknya membeli permen dan kue, dia akan mendapat beberapa.
Tianqiao dan saudara laki-lakinya, Tianjun, adalah anak-anak pamannya. Tianqiao memperlakukannya dengan baik dan selalu berbagi makanan ringan dengannya.
"Ayo makan bersama."
"Ya."
Keduanya berjalan bersama menuju Aula Leluhur sambil memakan kue di sepanjang jalan.
Sekolah Keluarga Mo terletak di Aula Leluhur di sisi barat desa. Cendekiawan tua di desa itu adalah guru yang telah mengajar anak-anak di sana untuk membaca. Karena itu adalah sekolah klan, anak-anak di Desa Keluarga Mo dapat bersekolah dengan gratis.
Namun, penduduk desa hanya bertani selama beberapa generasi. Sebagian besar dari mereka hanya berharap agar anak-anak mereka dapat mengenali beberapa kata penting. Sudah cukup jika mereka bisa berhitung dan melakukan matematika sederhana. Anak-anak biasanya datang untuk belajar di pagi hari dan bekerja untuk membantu keluarga mereka di sore hari. Hanya beberapa anak yang membawa harapan tinggi keluarga mereka yang akan tinggal di sekolah sampai sore.
Kedua gadis berjalan ke Aula Leluhur. Banyak anak sudah duduk, memenuhi ruangan. Yang termuda berusia sekitar enam-tujuh tahun sementara yang tertua berusia sekitar tiga belas empat belas tahun. Semuanya anak laki-laki kecuali Mo Tiange dan Mo Tianqiao.
Kebanyakan orang percaya bahwa kebaikan wanita tidak terletak pada kecerdasannya dalam belajar. Sekolah Keluarga Mo juga menganut paham yang sama - sangat jarang anak perempuan di Desa Keluarga Mo pergi bersekolah. Yang diketahui kebanyakan gadis hanyalah cara membantu pekerjaan rumah tangga sejak mereka bangun. Hanya keluarga yang maju yang mengirim anak perempuan mereka untuk belajar membaca.
Itulah yang terjadi dengan Mo Tianqiao karena ia adalah keturunan langsung dari kepala Keluarga Mo. Menjadi cucu kepala keluarga dan memiliki ibu yang sama dengan cucu lelaki tertua membuatnya sangat dihargai dalam keluarga. Tidak hanya dinamai dengan nama saudara laki-lakinya, tetapi ia juga dikirim ke sekolah bersama dengan saudaranya itu.
Keduanya, Mo Tianqiao dan Mo Tiange, adalah satu-satunya yang diberi nama sesuai dengan pendahulu di keluarga tersebut.
Tapi situasi Mo Tiange berbeda.
Ibu Mo Tiange adalah putri keempat dari kepala keluarga Mo dan dikenal sebagai Wanita Keempat. Namun, ia bukan putri dari istri sah kepala keluarga β ia adalah anak haram yang lahir ketika Kepala keluarga Mo masih muda. Karenanya, seluruh keluarga tidak peduli kepadanya. Ia sakit sejak lahir dan terus menderita penyakit ringan selama bertahun-tahun. Hal ini membuat keluarganya lebih tidak peduli lagi terhadapnya.
Sepuluh tahun yang lalu, seorang cendekiawan datang dan tinggal di desa. Tidak jelas mengapa, tetapi setelah bertemu dengan ibunya beberapa kali, cendekiawan itu meminta izin Kepala Keluarga Mo untuk menikahinya. Meskipun Kepala keluarga Mo tidak menyukai putrinya ini, ia merasa takut lelaki itu memiliki niat jahat. Oleh karena itu, Kepala keluarga Mo memberi tahunya jika ia ingin menikah ke dalam keluarga tersebut, ia harus menggunakan nama keluarga itu dan tinggal disana sejak saat itu. Siapa yang akan menduga cendekiawan akan setuju? Tidak lama kemudian, keduanya menjadi suami-istri dan tinggal di desa.
Sayangnya, pada tahun ketiga mereka menikah, cendekiawan ini melakukan perjalanan ke tempat yang jauh. Ia tidak pernah terlihat lagi sejak itu. Karena ayahnya belum kembali, Mo Tiange menjadi satu-satunya keturunan keluarga kecilnya dan dibesarkan seolah-olah dia adalah anak laki-laki. Tidak hanya nama keluarganya adalah "Mo", tetapi namanya juga diberikan sesuai dengan nama-nama pendahulu dalam keluarganya.
Kembali ke saat ini. Ketika kelas terdengar begitu gaduh, muncul lah suara berdehem dari ruangan sebelah. Semua anak di kelas mendadak terdiam. Lalu, datanglah seorang lelaki tua, berjanggut, dan berusia sekitar lima puluh tahun - ia terlihat berwibawa
Melihat para siswa duduk dengan patuh dan tidak ada dari mereka yang berisik, Tuan Tua mengangguk puas. Ia mengambil sebuah buku dari meja dan bertanya, "Apakah kamu sudah menghafal bagian pertama dari Disciple Gauge kemarin?"
Ruang kelas menjadi lebih tenang. Anak-anak ini hanya datang ke sekolah untuk belajar membaca. Jika mereka sudah dapat dianggap jika mereka menghafal bahkan lima kata yang diajarkan. Bagaimana mereka bisa menghafal sebuah buku?
Sang Guru Tua mengerutkan kening dan mulai memanggil nama mereka. "Mo Tianjun, rapalkan bagian ini!"
Meskipun Mo Tianjun segera berdiri, wajahnya berkerut. Tidak ada jejak kesombongan dan kepuasan yang tersisa seperti ketika ia menggertak Mo Tiange tadi.
Dia tergagap dan melafalkan perlahan, "Ketika orang tua memanggil, harus cepat menjawab. Ketika orang tua memberi perintah, tidak boleh malas. Ketika orang tua mengajar, harus ... harus menghormati dan patuh. Ketika orang tua mencela, harus mematuhi ..."
Guru Tua mengangguk dan berkata, "Benar, lanjutkan."
"Hangatkan tempat tidur orang tua di musim panas, dinginkan saat musim dingin. Sambut para tetua di pagi hari, tunggu hingga mereka terlelap di malam hari. Ketika pergi, harus memberi tahu orang tua. Ketika kembali, harus ... harus ... harus ... "Setelah dia melafalkan bagian ini, dia berhenti dan berpikir dengan gugup untuk beberapa saat. Namun, ia benar-benar tidak dapat mengingat sisanya.
Ia mengangkat kepalanya untuk mencuri pandang pada ekspresi sang Guru Tua. Melihat ekspresi keras sang guru, dia buru-buru menundukkan kepalanya lagi.
"Hmph!" Guru Tua itu mendengus dingin dan bertanya, "Apa yang kau lakukan kemarin malam? Bagaimana bisa kau hanya membaca sedikit saja?"
Mo Tianjun tergagap sejenak tetapi tidak berani menjawab.
"Tangan!"
Setelah mendengar itu, ekspresi Mo Tianjun menjadi pahit. Namun, dia tidak berani memberontak melawan perintah Sang Guru Tua dan hanya bisa melangkah maju, dengan hati-hati mengulurkan lengan kirinya.
Guru Tua memegang penggaris di tangannya yang kurus dan memukulkan penggaris itu di telapak tangannya yang lain beberapa kali. Mo Tianjun ketakutan melihat hal itu, jadi dia hanya mengulurkan telapak tangannya dan mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
Penggaris diangkat tinggi dan "PLAK!" penggaris tersebut mendarat di telapak tangannya dengan keras. Tak satupun dari anak-anak itu berani membuat suara terkecil sekalipun karena mereka takut akan menjadi yang berikutnya.
Telapak tangan Mo Tianjun memerah setelah lima pukulan. Guru Tua itu menyimpan kembali penggaris itu dan berkata, "Selanjutnya! Mo Tianwei!"
"Ya" Seorang anak berdiri dan mulai melafalkan, "Ketika orang tua memanggil, harus cepat menjawab. Ketika orang tua memberi perintah, jangan malas. Ketika orang tua mengajar, harus menghormati dan patuh. Ketika orang tua mencela, harus mematuhi ... "
Meskipun anak ini mengucapkannya dengan susah payah, ia mampu melafalkan semua hafalan itu. Alis keriput Pak Tua akhirnya mengendur. Dia berkata, "Ulangi lagi melafalkannya di rumah. Selanjutnya!"
Merasakan bahwa Tianqiao sedang bergeser kearahnya, Mo Tiange berbisik, "Tianqiao, ada apa?"
Mo Tianqiao menunjukkan ekspresi pahit dan balas berbisik, "Aku juga tidak menghafalkannya. Aku tidak yakin aku bisa melafalkannya sepenuhnya."
"Cepat hafalkan sekarang. Masih ada waktu."
"Kau benar" Dengan cepat, Mo Tianqiao membuka bukunya dan mulai melafalkannya dalam hati.
"Mo Tiange"
Mo Tiange berdiri dengan cepat dan menjawab "Ya, Guru."
Ia berpikir sejenak dan mulai melafalkan buku tersebut "Ketika orang tua memanggil, harus cepat menjawab. Ketika orang tua memberi perintah, tidak boleh malas. Ketika orang tua mengajar, harus menghormati dan patuh. Ketika orang tua mencela, harus mematuhi. Hangatkan tempat tidur orang tua di musim dingin, dinginkan saat musim panas. Sambut para tetua di pagi hari, tunggu hingga mereka terlelap di malam hari. Ketika keluar, harus memberi tahu orang tua. Ketika kembali, harus menyapa orang tua secara langsung. Di mana anda tinggal harus permanen, pekerjaanmu seharusnya tidak sering berubah ... "
"Masa berkabung harus tiga tahun. Memberi hormat setiap hari kepada arwah leluhur, selalu mengingat kebaikan orang tua. Tidak makan daging atau minum anggur. Pengaturan pemakaman orang tua harus sesuai dengan etiket. Persembahan kepada orang tua harus dilakukan dengan tulus. Perlakukan orang tua yang sudah meninggal dengan rasa hormat yang sama seolah-olah mereka masih hidup. "
Senyum tipis muncul di wajah Sang Guru Tua. Dia berkata, "Bagus! Kau mengucapkannya dengan sangat baik! Hari ini kau harus mulai membaca buku Younger Brother's Duty'."
"Ya Guru."
Ia menghela napas lega lalu membuka buku untuk membaca bagian selanjutnya.
Meskipun anak-anak keluarga Mo ini tidak peduli apakah mereka melakukan yang baik atau buruk dalam pelajaran mereka, Sang Guru Tua adalah seorang cendekiawan. Jadi, ia sangat ketat dalam setiap pelajaran. Mendapatkan pujian darinya bukanlah hal yang mudah.