Chereads / Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir] / Chapter 53 - Chapter 53 "Perubahan Bentuk"

Chapter 53 - Chapter 53 "Perubahan Bentuk"

Aku terperangah bukan kepalang. Bagaimana tidak? Esze yang kurapal menghantam musuh dengan telak. Monster burung hantu itu terpelanting ke belakang, menjauhi pelataran tempat Erik berada. Kepala monster itu terluka parah dan mengeluarkan darah merah yang mengucur segar. Entah tengkoraknya retak atau patah, semoga saja keduanya terjadi dan ia tidak bangun lagi. Hal itu akan lebih bagus!

Erik menoleh ke arahku, kemudian tersenyum sembari memberi gestur jempol ke atas dengan tangannya. "Itu hebat sekali, Anggi!"

Belum sempat aku membalas pujiannya, tiba-tiba instingku menangkap kehadiran sesuatu yang berada di atasku. Hawa keberadaannya tidak sebesar monster burung jelek itu, jadi ini adalah sesuatu yang lain. Ketika menengadah, mataku mendapati sosok seorang Elvian muda yang terjun dari dahan pohon sembari memegang sebuah tombak. Elvian itu jatuh ke atas pelataran sembari menghujamkan senjatanya ke lantai kayu.

Erik segera berlari mendekat dan berniat untuk menyerbu. Namun segera kuhentikan pria itu lantaran aku mengetahui Elvian yang ada di depanku ini tidak memiliki niat membunuh. Terlebih lagi, aku mengenal dirinya. Ia adalah orang yang menolongku masuk ke kota Arnest.

"Elzhar!" pekikku tatkala ia mengangkat wajahnya.

Elvian muda dengan potongan rambut belah tengah itu menatapku dalam. Seakan ada banyak kata yang ingin disampaikan namun tak mampu. Aku mengerti. Aku paham betul apa yang ia rasakan saat ini. Lelaki itu tengah menatap seseorang yang mengubah kota tempat tinggalnya seperti neraka. Terlebih lagi Elzhar lah yang memberi tahu petunjuk pada orang itu. Perasaanya pastilah tak karuan.

Namun hal itu juga terjadi padaku. Aku yang tidak menyangka akan seperti ini pun turut terbungkam. Saling berpandangan dalam tanpa sepatah kaca terucap. Karena rasa bersalah yang kupikul, aku menjatuhkan pandangan ke lantai. Hilang sudah keberanian untuk menatap matanya.

Elzhar mendekatiku perlahan, kemudian berhenti tepat satu meter di depanku. Tanpa ada angin atau hujan, tiba-tiba ia menaruh telapak tangannya pada pipiku dan mengangkat wajahku. Hingga mau tidak mau membuat kami saling berpandangan.

"Ada banyak yang ingin kutanyakan padamu, Anggi!" ujarnya dalam bahasa Elvian. "Tapi tidak sekarang. Mari kita bicara lebih lanjut setelah membunuh Strigifavorus."

"S-S-Strigi apa?" aku memberanikan diri untuk membuka mulut sesaat mengetahui Elzhar dapat mengendalikan emosinya. Ia bisa saja meluapkan amarahnya, namun ia memilih menahannya.

"Strigifavorus," jawab Elvian itu dengan nada datar. "Burung itu adalah makhluk legenda di dalam bangsa Elvian selama ratusan ribu tahun. Menurut cerita rakyat, Esze angin adalah kekuatan utamanya. Tidak kusangka monster itu benar-benar ada."

Aku memegang telapak tangannya yang berada di pipiku, kemudian menggenggamnya dengan erat di depan dada. "Elzhar ... maaf! Aku tidak tahu harus mengatakan apa-apa lagi. Yang jelas aku minta maaf dan sangat menyesal."

Pria itu menggelengkan kepala, "bukankah sudah kubilang untuk menyimpan topik ini sampai monster itu benar-benar mati? Dan kuharap teman ksatria manusiamu yang entah datang dari mana itu bisa membantu."

Elzhar melemparkan pandangan sinis pada sosok Indra yang berdiri tidak jauh dari kami. Pastinya keberadaan seorang Ksatria Elit Lurivia di tengah-tengah kota Elvian yang terlarang bagi manusia, merupakan keganjilan yang tidak bisa diabaikan. Aku pun tidak bisa menyangkal hal itu. Jika nanti mereka mengadili kami, sudah pasti ada banyak pasal berat yang dilanggar.

Elvian muda itu balik memunggungiku, menarik tombaknya yang menancap di lantai kayu dan segera berlari ke depan. Tepat ke arah monster burung hantu bernama Strigifavorus yang telah tumbang. Ia tidak bergerak sendiri, rekan-rekannya yang sepertinya penjaga kota turut mengikuti langkahnya. Entah apa yang akan mereka lakukan. Aku tidak terkejut jika mereka berniat melakukan serangan penghabisan untuk memastikan Strigifavorus benar-benar mati.

"Kau kenal dengannya? Apa yang ia katakan?" tanya Indra yang sudah berada di samping tanpa kusadari. Sedari tadi ia terus diam karena tidak mengerti Bahasa Elvian.

"Pendeknya, dia adalah Elzhar, Elvian yang membantu kami masuk ke dalam kota ini sebelumnya. Elzhar berkata akan meminta semua penjelasan padaku setelah semuanya selesai."

Tidak beberapa lama kemudian, datanglah Dimas sendiri dari arah belakang. Pria itu tampak lelah setelah berlari dari jauh. Kakinya berhenti di dekatku, napasnya terengah-engah. Dia mungkin masih belum sembuh, energinya juga pasti belum terisi sepenuhnya.

"Di mana Kak Erik dan Kak Shella?" tanyaku kebingungan.

Napas Dimas masih memburu, ia masih belum mencerna perkataanku. Setelah beberapa saat, akhirnya mulutnya mulai berucap. "Shella sedang membantu mengobati penduduk yang sudah dievakuasi jauh ke dalam hutan. Sementara Erik menjaganya. Terlalu banyak Elvian yang menolak keberadaannya sebelum kami menunjukkan niat baik kami."

Begitu, kurasa aku paham situasi di sana. Penduduk kota pasti akan mempunyai pandangan sinis pada kemunculan manusia sesaat tragedi ini terjadi. Sepertinya Shella harus menunjukkan niat tulusnya dengan mengobati orang yang terluka di sana. Membiarkan gadis itu sendirian di antara Elvian memang berbahaya. Mungkin saja masih ada Elvian yang berniat buruk pada kami. Mengambil keputusan untuk meminta Erik menjaga keselamatannya adalah hal yang paling rasional.

"Aku mengerti. Kau sendiri bagaimana? Tidak mungkin kau sudah pulih seutuhnya!"

"Tentu saja. Kau pikir aku ini manusia super? Tubuhku masih terasa sakit," jawabnya sambil tersenyum kecut. "Meski begitu tetap saja aku ingin membereskan kekacauan ini dari perbuatanku sendiri. Aku tidak akan lari dari tanggung jawab."

"Bagus, kalau begitu kita bisa-"

*KIEEEEEEK!!!!!

Belum sempat menyelesaikan kalimatku, tiba-tiba terdengar teriakan melengking yang begitu memekakkan telinga. Karena indera pendengaranku sangat sensitif, suara itu mampu merobohkan badanku hingga terduduk di atas lantai kayu. Meski sudah kugunakan kedua tangan untuk menutupi daun telinga, tetap saja gema bunyinya masih bergaung di dalam kepala. Setelah beberapa saat rasa sakit yang menyiksa mulai reda, kugunakan kesempatan itu untuk mengamati ke sekeliling.

Aku mendapati Erik dan Dimas menundukkan badannya, sepertinya telinga mereka turut merasa kesakitan akibat suara misterius itu. Kemudian aku melihat lebih luas lagi. Beberapa Elvian tumbang dari atas pohon Hanarusa karena tak sanggup menahan kerasnya suara lengkingan yang keras. Bahkan ada pula yang pingsan.

Sesaat kemudian, terdengar suara deru angin dengan hembusan kuat yang mampu menerbangkan benda-benda di sekeliling. Aku menutupi kedua mata dengan lenganku agar dapat melihat di tengah hembusan angin dan debu yang bertebaran. Kusipitkan mata guna melihat dengan jelas sosok raksasa yang terbang di depanku. Seketika aku terkejut dan ketakutan.

Memang aku sudah menduganya. Tapi aku tak sampai mengira Strigifavorus akan berubah wujud. Sayap yang semula terpotong tumbuh kembali, bahkan aku merasa dua pasang sayapnya jadi lebih besar. Hal itu tampak ketika ia tengah membentangkannya lebar-lebar. Yang paling mencolok dari perubahannya adalah bulu-bulunya yang semula gelap berubah terang seperti api yang menyala. Tidak, bukan seperti. Namun bulu-bulunya memang mengeluarkan lidah api yang membara. Saking panasnya, dedaunan dan batang pohon di sekitarnya terbakar dan memperparah kebakaran di kota ini.

Hawa panasnya sampai ke tempatku berdiri dan membuat tubuhku mulai berkeringat. Indra pun sampai melepas armornya karena tak ingin tubuhnya matang di dalam baju besi itu.

"Brengsek! Apa-apaan itu? Monster itu pulih kembali seperti sedia kala seakan seranganku hanya lelucon," maki Indra sembari membanting baju zirahnya ke lantai.

"Tidak hanya itu, penampilannya pun berbeda sekali dengan sebelumnya," sahut Dimas yang tak pernah melepaskan pandangan dari Strigifavorus.

"Aku merasakan firasat yang buruk." Entah mengapa bulu kudukku merinding. Bagaimana tidak? Membuat monster burung hantu itu terluka saja sudah membuatku dan Dimas nyaris mati. Apalagi mengalahkan Strigifavorus yang telah berubah bentuk seperti ini? Perwujudan Strigifavorus saat ini seakan binatang yang berasal dari neraka, datang untuk menyebar terror dan keputusasaan.

Seketika tanpa aba-aba, monster burung yang terbang di depanku membusungkan dadanya dan menembakkan bola api yang melesat ke arahku beserta Indra dan Dimas. Kami segera melempar tubuh ke samping guna menghindari serangan itu. Bola api itu menghancurkan lantai kayu beserta bangunan di belakang kami. Bahkan mampu pula menumbangkan pohon Hanarusa hingga batangnya nyaris menimpaku.

"Bagaimana kita akan mengalahkannya?" tanyaku dengan nada panik setengah mati.

Belum sempat ada yang menyuarakan solusi, Strigifavorus menembakkan bola api lagi dari mulutnya ke arah kami hingga harus saling berpencar. Aku mengambil jalan ke arah jembatan kayu untuk sampai ke pohon seberang. Monster raksasa itu masih terus menyerang kami dengan bola api sebesar tubuh orang dewasa. Tidak, bukan kami. Melainkan aku seorang yang menjadi targetnya.

Aku sudah berlari melewati jalanan dan jembatan kayu yang berliuk-liuk guna mengecoh si monster, namun ia tetap tak melepaskan pandangannya padaku. Meskipun ada Indra dan Dimas yang berusaha mengalihkan perhatiannya, Strigifavorus mengabaikan mereka seperti kerikil. Monster itu kini tidak banyak terbang seperti yang lalu. Karena targetnya kini hanya aku, bukan seluruh kota.

Strigifavorus mengejarku dengan berjalan di atas tanah, di antara sela-sela pohon Hanarusa. Terkadang ia melompat dan hinggap di dahan pohon yang berada tepat di depanku. Jika sudah begitu, mau tidak mau aku harus mencari jalan lain yang tidak dihalangi olehnya. Sempat ada beberapa Elvian pembawa lembing mencoba menyerangnya dari berbagai arah, namun sayangnya, mereka tidak mampu untuk menghentikan monster setinggi lima puluh meter itu. Dengan sekali putaran tubuhnya, Strigifavorus menciptakan kobaran api yang menyebar ke segala penjuru. Membakar sebagian tubuh Elvian yang berniat menyerangnya.

Jujur, perasaan kalut sempat menyelimuti takut akan Elzhar yang menjadi salah satu korban tewas. Aku sempat menengok ke belakang, kemudian mendapati sosok Elzhar yang terkapar dekat akar pohon Hanarusa. Untungnya saja ia tak tewas terpanggang, hanya terpental dan pingsan. Salah satu rekannya menarik tubuhnya berlindung di bawah batang pohon yang tumbang.

Aku bernapas lega. Setidaknya ia masih hidup saat ini, itulah yang kusyukuri. Beberapa saat kemudian, Strigifavorus memicingkan matanya padaku. Ia mulai membusungkan dadanya sebesar-besarnya.

"Gawat! Ini akan jadi serangan kuat!" sahutku ketakutan ketika melihat gerak-gerik burung hantu raksasa itu.

Dengan terburu-buru aku mengambil tongkat Viglet yang diselipkan ke ikat pinggangku. Kuacungkan ujung Viglet pada Strigifavorus. Aku berusaha untuk mencapai fokus tingkat tertinggi, mencoba mengonsentrasikan energi elemental pada tongkat Viglet. Serangan selanjutnya mungkin akan fatal. Beruntung aku yang sudah menggiringnya ke pinggir kota, karena aku yakin pertempuran ini akan mengakibatkan daya rusak yang besar jika tetap berada di pusat kota.

Dalam satu detik berikutnya aku merasakan kekuatan mengalir deras datang dari sirkuit Esze milikku ke arah tongkat Viglet. Ini adalah energi paling besar yang pernah kukonsentrasikan pada Viglet. Seingatku, aku tidak pernah sekalipun mengeluarkan energi Esze sebesar ini, karena aku pasti akan kehilangan kesadaran. Tapi ini soal hidup dan mati. Tidak ada cara lagi yang dapat terpikirkan dalam waktu singkat. Aku sudah tidak bisa menghindari serangannya seperti sebelumnya.

Di kedipan mata berikutnya, Strigifavorus sudah melontarkan bola api yang berukuran beberapa kali lipat dari biasanya. Bola api itu melesat cepat ke arahku!

Tidak ingin ketinggalan momentum, aku turut melepaskan energi Esze dari ujung tongkat Viglet Harapan. Gumpalan angin sebesar rumah satu lantai dengan secepat kilat menerjang ke depan. Sesaat aku mengeluarkan energi yang super besar itu, tenagaku seperti tersedot keluar. Tubuhku terduduk lemas tak berdaya. Namun pandanganku terpaku ke depan, di mana kutaruh harapan dan kepercayaan.

Itu adalah serangan yang paling besar yang pernah kumanifestasikan. Apalagi ditambah dengan kekuatan Viglet Harapan milik Pangeran Keylan yang dapat memperkuat Esze penggunanya berkali-kali lipat. Aku sangat yakin serangan ini dapat menetralkan serangan bola api sekaligus melukai monster burung hantu itu.

Dalam sepersekian detik, bola api Strigifavorus dan gumpalan angin milikku bertumbuk di udara. Menghasilkan gelombang kejut dan asap yang menyebar dalam radius beberapa ratus meter. Aku yang berada dekat dengan tumbukan itu, terkena gelombang kejut yang besar hingga terpental ke belakang. Seluruh punggungku sakit bukan kepalang, seakan ada ruas yang patah. Tubuhku pasti menghantam sesuatu.

Tidak kuat menahan sakit, aku meringis kesakitan. Kuraba punggungku sejenak, namun tak ada bekas darah di telapak tanganku. Sepertinya organ dalamku lah yang terluka. Aku tidak mampu berdiri. Asap mengepul di mana-mana membuatku tidak dapat melihat dengan jelas.

Aku hanya berharap seranganku tadi dapat melumpuhkan Strigifavorus dan menyelesaikan kekacauan ini. Dalam sekejap, harapan yang kugantungkan setinggi langit dijatuhkan dengan kejam. Pekikan Strigifavorus sekali lagi melengking di bawah langit yang gelap. Asap yang mengepul hilang dalam sekejap. Membuatku dapat melihat sosoknya dengan jelas yang tengah bertengger di atas pohon Hanarusa. Ia tidak terluka sedikit pun, masih tetap tampak gagah dan kuat.

Kengerian mendadak melahapku bulat-bulat, keringat dingin mulai keluar dari pori-pori. Tatapan Strigifavorus menatap lurus padaku. Ia membusungkan dadanya lagi untuk melakukan pola serangan seperti yang sebelumnya.

Apa yang harus kulakukan?

Aku ingin sekali beranjak pergi dari tempat ini. Namun sialnya tubuhku sama sekali tak mau mendengarkan. Aku melihat Dimas yang mencoba berlari ke arahku. Tapi dengan jarak sejauh itu, tak mungkin sempat. Dalam gerak lambat aku dapat melihat mulut Strigifavorus perlahan terbuka dan bersinar. Di dalam paruhnya itu adalah bola api yang siap untuk membakar tubuhku beberapa detik ke depan.

"Bergeraklah tubuhku, dasar brengsek!" makiku dalam keputusasaan. Aku memukul-mukul kedua kaki berharap ada suatu kejutan pada syarafku dan membuat badanku dapat bangkit berdiri.

Di saat aku merasa berada di ambang kematian, tiba-tiba keajaiban datang di saat yang tepat. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja ada sabetan pisau Esze berelemen angin di udara. Menyerang tepat ke leher Strigifavorus dan membuatnya berteriak kesakitan sekaligus membatalkan serangannya. Aku segera menoleh ke arah pisau angin itu berasal dan mendapati sosok yang tidak kuduga.