Melihat Strigifavorus kembali pulih seperti sedia kala bahkan tampak lebih kuat, badanku lemas seketika. Aku mungkin akan jatuh terbaring di atas tanah jika saja Pangeran Keylan tak menahan kedua bahuku dengan tangannya. Melalui kulit kami yang bersentuhan, aku pun turut menyadari bila Elvian itu sedikit gemetar melihat ke arah monster yang terbang di atas kami.
"A-Apa dia tidak bisa mati?" racaunya dengan suara lirih sembari tak mengalihkan tatapan miliknya ke langit. Kemudian ia melemparkan pandangannya padaku dengan cepat. "Anggi, aku akan kembali ke pasukanku."
Belum sempat kubalas, pria itu segera menaiki kuda perang dan bergegas menuju tentara miliknya. Suara sepatu kuda yang menjejak tanah dan akar pohon Hanarusa perlahan menghilang dari telingaku.
Kepalaku masih mendongak ke atas, menyaksikan Strigifavorus berputar tinggi di udara lalu menukik dan menyemburkan api pada tentara Elvian. Api langsung melahap pohon-pohon Hanarusa di sekitar seperti bahan makanan yang sudah siap sedia di atas meja. Membakar habis pepohonan dan menyambar ke pohon lainnya hingga aku merasa tengah dikepung api dari segala penjuru arah.
Para pemanah Elvian mencoba menembaki Strigifavorus yang terbang rendah, namun anak panah langsung habis terbakar begitu monster itu menyemburkan napas api ke seluruh hutan. Formasi tentara Elvian kini kacau. Meski Pangeran Keylan sudah kembali ke pasukan, kepanikan dan ketakutan menguasai mereka dengan cepat. Tak sedikit dari mereka yang bergerak masing-masing atau bahkan mengabaikan perintah Keylan dan melarikan diri. Kendati demikian, Pangeran Keylan tetap memimpin pasukan dengan gagah berani. Sebagai pemimpin bertingkah kuat adalah suatu upaya agar moral para prajurit tidak jatuh.
Berbeda denganku yang merasa putus asa menyaksikan kebangkitan Strigifavorus untuk kedua kalinya.
Aku lelah.
Benar-benar lelah.
Rasanya bertarung dengan monster itu tidak ada habisnya. Apa dia semacam dewa di dunia ini? Apa dia tidak bisa mati? Akankah aku yang akan mati di sini?
Menyaksikan mayat-mayat yang terbakar bertambah jumlahnya membuat bulu kudukku merinding. Tanganku gemetar. Kakiku tak bisa digerakkan, seakan tertancap pasak besar menghujam ke dalam tanah. Rasa ngeri menyelimuti tubuh ini dan membuatku bergetar hebat. Aku menundukkan kepala dan memejamkan mata, berharap ini semua berakhir dengan sendirinya.
Untuk sesaat, aku merasa bahwa keputusanku memulai perjalanan mengumpulkan Kristal Roh adalah kesalahan besar. Mungkin, lebih baik aku berdiam diri saja di Glafelden dan membiarkanku ditangkap oleh Ksatria Lurivia. Mungkin mereka tak akan memperlakukanku dengan buruk. Bisa jadi mereka membutuhkanku. Jika benar begitu harusnya aku akan diperlakukan baik, bukan? Mungkin aku bisa hidup enak di ibukota Lurivia dibanding berada di neraka ini.
Kenapa aku ada di sini?
Apa salahku?
Di saat aku mulai kehilangan harapan, mendadak sesuatu yang aneh muncul di depanku. Tepat ketika aku membuka kelopak mata, aku melihat sosok bola air mungil tengah melompat-lompat di atas punggung tanganku. Bola air itu ... tidak, itu bukan bola air. Karena sosok itu tak bisa kusentuh dengan sengaja, ia tak memiliki bentuk fisik. Tapi entah mengapa aku bisa merasakan sentuhannya pada tanganku. Ia melompat-lompat di punggung tanganku seperti bermain dengan trampolin. Dari wajahnya yang tampak seperti anak kecil bermain di bawah guyuran hujan, ia tidak takut berada di dekatku.
Sesaat kemudian aku tersadar. "Mungkinkah ini ... roh elementalis air?"
Aku mencoba menyentuhnya dengan ujung jari, permukaan tubuhnya tak bisa kusentuh. Tapi jika kutekan semakin dalam, ada semacam membran transparan yang menahan jariku. Begitu aku menekan terlalu dalam, roh air itu tampak menyadariku. Alih-alih melarikan diri, ia justru tersenyum geli dan tertawa terbahak-bahak meskipun tak ada suara yang keluar sama sekali.
Untuk sesaat aku merasa seperti melihat anak kucing yang menggemaskan. Tingkah lucu roh ini membuatku terlupa akan terror yang hadir di hutan ini.
"Anggi!"
Suara teriakan yang entah datang dari mana tertangkap oleh indera pendengaranku. Aku harus menolehkan kepala ke segala arah, untuk mencari seseorang yang memanggilku di tengah suara riuh kekacauan dan teriakan para Elvian.
Mataku terpaku pada satu arah. Suara yang memanggilku datang dari balik akar pohon Hanarusa yang tak jauh dari sini. Itu adalah Dimas. Dia terus melambai-lambaikan tangannya guna memberi tahu aku di mana posisinya. Ia segera turun dari akar pohon dan mendekat ke arahku. Setelah menyimpan tenaga sedari tadi, aku mencoba bangun dengan bertumpu pada lutut. Sementara sebelah tangan kugunakkan untuk memegang roh air. Kuseret kakiku dengan paksa untuk menjauh dari sini.
Baru saja berjalan beberapa langkah, bulu kudukku merinding seketika. Cahaya Rubiel yang terang menyinari pepohonan raksasa ini, menjadi gelap dalam waktu singkat. Tidak perlu menerka lebih jauh, aku tahu sumber terror ini. Namun belum sempat aku mendongak ke atas, aku dikejutkan oleh suara debuman kencang yang ada di sebelahku.
Benar saja. Tepat di sampingku berdiri seekor monster dengan tinggi puluhan meter, lebih tinggi dari pada pohon Hanarusa di hutan ini. Saat melawannya di ruang bawah tanah, seingatku dia tak sebesar ini. Kebangkitan kedua miliknyalah yang membuatnya semakin besar dari sebelumnya.
Tubuhku langsung kaku seketika, mencoba tidak bergerak guna mengalihkan perhatiannya dari tempat ini. Keringat menetes di dahiku. Jantungku berdegup kencang. Satu detik terasa seperti selamanya. Aku harus menahan napasku agar tetap pelan dan tak terdeteksi olehnya. Akan tetapi mimpi buruk datang. Strigifavorus menoleh ke sisi kiri, pandangannya ia tujukan ke bawah. Tepat ke padaku.
Aku tercengang dan kehilangan kata-kata. Rasa takut menjalar ke belakang punggung, membuat tubuh ini lemas seketika. Alik-alih mengambil langkah seribu, badanku terkulai ke atas tanah seolah pasrah akan takdir yang akan menimpaku selanjutnya.
Di detik terakhir, aku bisa melihat mulut Strigifavorus terbuka dan memamerkan nyala api yang terang pada kerongkongannya. Tubuhku membeku tanpa bisa bergerak satu senti pun. Inikah akhir dari petualanganku yang baru seumur jagung?
Haaaaah ... aku akan mati.
Bersamaan dengan semburan api yang mendekat, aku merasakan panas luar biasa yang memanggang tubuhku. Di detik berikutnya, aku memasuki dunia ketiadaan yang hampa.
=============
"Hei, boleh aku pinjam krayonmu?"
Itu adalah kalimat yang tak akan pernah kulupakan dalam hidup. Itu adalah pertama kalinya aku mengenal anak itu. Entah apa pikirannya, ia meminjam krayon milikku. Padahal, dia membawa miliknya sendiri dan tampak masih baru. Saat aku bertanya apa alasannya, ia hanya menjawab, "aku kasihan pada krayon punyaku, nanti kalau dipakai dia akan habis, terus nanti dia hilang."
Bukannya krayon memang untuk dipakai?
Aneh.
Itulah kesan pertamaku tentangnya. Aku memang tidak memahami pikirannya saat itu. Tapi karena momen itulah aku bisa berteman dengannya hingga detik ini.
Sejak saat itu, kami selalu tumbuh bersama. Rumah kami berdua cukup dekat, karena itulah hubunganku dengan anak itu menjadi dekat. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Entah itu bermain, mengerjakan tugas, berangkat ke sekolah, atau berkemah bersama kedua keluarga kami. Aku dan anak itu juga selalu saling berbagi cerita, tentang apa yang ingin kami lakukan atau rencana apa yang akan dituju. Mungkin karena itulah kami selalu bersekolah di tempat yang sama.
"Dimas, katanya kamu mau ke SMP Karya Birama, ya? Kalau begitu aku juga akan ke sana."
Senyum anak gadis itu terasa sangat hangat bagaikan mentari pagi. Setelah bertahun-tahun tumbuh bersama, aku menyadari bila gadis ini cukup menawan. Memang masih ada banyak anak gadis yang lebih cantik darinya. Namun sesuatu yang membuatku tertarik padanya adalah kepribadiannya. Hatinya lembut bagai benang sutra, sikap malu-malunya terkadang membuat jantungku berdegup kencang. Tapi yang paling kusuka adalah anak itu selalu ceria seperti matahari terbit, seakan-akan kebahagian dapat menular pada orang sekelilingnya
Tapi keceriannya itu perlahan memudar bagai tertutup awan kelabu. Penyebab utamanya adalah aku sendiri.
Biasanya aku selalu pulang bersamanya setelah pulang sekolah, namun pada hari itu batang hidungnya tak kunjung terlihat di gerbang sekolah. Aku memutuskan untuk menjemput ke kelasnya karena kami berbeda kelas. Mendekati ujung lorong tempat kelasnya berada, daun telingaku menangkap suara cipratan air diiringi suara tertawa orang banyak. Mataku terbelalak tatkala melihat sahabatku, Anggi tengah terduduk di tengah kelas dalam kondisi basah kuyup. Seragam putih-birunya tampak menghitam karena yang membasahinya bukanlah air bersih, melainkan air bekas pel. Gadis-gadis yang mengelilinginya tidak membantu, justru menertawakan temanku yang air matanya nyaris pecah. Kalau kuingat, gadis-gadis itu yang akhir-akhir ini mendekatiku.
"Makanya jangan suka kecakepan jadi orang!"
"Mentang-mentang teman dari kecil, bisa seenaknya nempel terus sama Dimas?"
"Mukamu itu jelek, sadar diri, lah!" seorang gadis tampak berteriak tepat di samping kuping Anggi.
"Awas nanti kalo kelihatan dekat lagi sama Dimas! Kita bakal telanjangin terus fotonya kita sebar ke semua orang."
Melihat temanku diperlakukan seperti itu, amarah menguasai diriku. Setelah menggengam tangan erat-erat, aku langsung memukul daun pintu yang terbuat dari kayu keras-keras hingga lepas dari engselnya. Sontak para gadis itu terkejut bukan main dan melihat ke arahku.
"APA YANG KALIAN LAKUKAN!!!"
Para gadis itu gemetar dan mundur tatkala aku berjalan mendekat. Tangan gadis-gadis itu bergetar hebat seakan melihat gerbang neraka tepat di depan. Mata mereka tertunduk tidak berani menatapku dan malah saling melempar pandangan satu sama lain.
Salah seorang gadis memberanikan diri mendekatiku sembari merapikan poninya. "Dimas, ini engga kaya yang kamu lihat, kok. Tadi kita lagi piket, tapi Anggi malah jatuh dan menumpahkan air bekas pelnya. Makanya kami tertawa, tapi kita mau tolongin, kok," ujar gadis itu mencoba berusaha keras meyakinkanku dengan memainkan nada sok imut yang membuatku ingin muntah.
"Kau pikir aku buta dan tuli!?" bentakku dengan nada tinggi. "Kau pikir aku tidak melihat apa yang terjadi?"
"E-Eh itu, sebenernya ...."
"CEPAT PERGI DARI SINI SEBELUM KULAPORKAN PADA GURU!!" hardikku dengan amarah yang menggebu-gebu diiringi tendangan keras pada meja hingga terbalik.
Gadis-gadis yang ketakutan segera keluar dari ruang kelas tanpa berkata-kata. Aku segera mendekati Anggi yang kini menangis tersedu-sedu di tengah ruangan. Kemudian menundukkan badan dan mengangkat wajah Anggi dengan tanganku. Matanya merah. Guyuran air padanya menyamarkan air mata yang luruh di pipi gadis itu.
"Maafkan aku yang datang terlambat, Anggi."
"...."
Dia itu tak membalas ucapanku. Raut kesedihan mengakar pada wajahnya, menyamarkan aura keceriaan yang selalu ia miliki. Aku melemparkan senyum padanya, meski tak sehangat mentari pagi yang ia selalu tunjukkan. Kemudian memegang tangannya untuk membawanya pulang, namun ia bergeming. Seakan masih ada sesuatu yang ada di pikirannya.
Menyadari apa yang ia khawatirkan, aku mengambil ember yang masih menyisakan bekas pel di dekatku. Lalu mengangkatnya ke atas kepala dan mengguyur badanku dengan air hitam hingga menodai seragam sekolahku.
"Sekarang kita sama. Kita bisa beralasan terpleset saat piket kepada orang tua kita nanti," kataku dengan melempar senyum hangat, seraya mengulurkan tangan padanya. "Sekarang, ayo kita pulang."