Dahulu, senyumnya adalah matahari pagiku. Cahayanya mampu menerangi hari-hariku yang kelabu. Seri wajah cerianya kini hanya bayangan samar dalam ingatan, terbenam jauh ke dasar jurang tanpa dasar. Setiap kali gadis itu bertemu hari, hanya raut sendu yang mampu ia tawarkan. Melihatnya seperti itu membuat hati ini sakit. Akulah yang menjatuhkan nelangsa pada gadis itu.
Meski sudah berusaha selalu menemaninya kala jeda istirahat, jam kosong, atau sepulang sekolah, tetap saja sesekali perundungan terjadi pada Anggi. Entah usaha apa pun yang kulakukan hasilnya tetap selalu sama. Perlahan-lahan senyum hangat yang senantiasa kuingat dalam ingatan, memudar bak tinta di atas selembar perkamen yang terlupakan oleh waktu.
Barulah pada tahun ketiga aku bisa sekelas lagi dengannya, yang membuatku bisa untuk tetap selalu berada di sisinya. Meski pada akhirnya Anggi nyaris tak bisa mendapatkan teman sama sekali karena selalu bersanding denganku.
Aku pikir itu lebih baik, dari pada melihat gadis-gadis lain menjahilinya lagi. Biarkanlah aku seorang yang menjadi teman bicaranya. Hal itu mengakibatkanku turut menarik jarak menjauhi murid lainnya.
Setelah kami menginjak bangku sekolah menengah atas, hal-hal yang kukhawatirkan tidak pernah terjadi. Mungkin karena para murid di sini bisa sedikit lebih dewasa dan bersikap seharusnya. Suasana di sekolah pun tampak kondusif dengan aura positif.
Anggi menemukan kembali senyum cerianya yang lama hilang. Gadis itu mulai bergaul dengan teman-teman wanitanya yang lain. Tak lagi terus menempel padaku seperti perangko, gadis itu dapat mencari sendiri kebahagiaannya. Meski ada sedikit rasa kesepian di dalam hatiku.
"Sungguh, jika berias sedikit, kau akan tampak sangat cantik," pujiku dengan pelan sembari menyibakkan rambut poninya ke samping. "Aku mungkin akan tergila-gila padamu, Anggi!"
Saat aku mengucapkan itu, wajah Anggi membeku. Aku sadar telah mengucapkan sesuatu yang harusnya tidak kuucapkan.
"A-A-Apa sih, y-yang kau katakan. J-Jangan coba-coba menggodaku, Dimas! Kau sudah tahu kan kalau aku tidak suka digoda."
"Haha ... aku bercanda, jangan marah!"
Setiap kali aku tak sengaja memujinya, Anggi akan menganggapku bercanda, dan aku selalu tertawa setelahnya. Ya, inilah hal rutin yang akan kau temukan jika mengikuti percakapan kami sehari-hari.
Aku selalu menggambar garis batas di antara hubunganku dan Anggi. Meski menginginkan hubungan yang lebih jauh, aku terpaksa harus berpuas diri dengan keadaanku saat ini. Aku takut jika aku mengungkapkan perasaanku padanya, hanya membuat ia semakin menjauh dariku.
Karena kutahu pasti, yang ia butuhkan saat ini bukanlah hubungan cinta antara wanita dan lelaki, namun memiliki seseorang untuk menguatkannya. Berharap trauma masa lalunya menghilang perlahan dan membuat emosinya menjadi stabil.
Saat aku berpikir, hubungan kami akan terus begitu selanjutnya, kejadian ajaib tidak masuk akal itu terjadi. Ketika kami berdua bersama beberapa teman klub eksul diseret masuk ke dunia antah berantah.
Yang paling mengejutkan, orang yang paling kupedulikan, telah berubah wujudnya menjadi seseorang yang tak bisa kukenali lagi.
Tidak ada lagi bola mata hitam legam yang bersembunyi di balik kelopak tipisnya. Tidak ada lagi bibir tipis yang senantiasa mengumbar senyum secerah matahari pagi. Tidak ada pula suara khas miliknya yang telah menjadi candu di telingaku selama bertahun-tahun.
Ya, Anggi telah berubah total dari apa yang kuingat sebelumnya, sampai titik di mana aku sudah bisa menganggapnya orang yang berbeda.
Aku sangat marah padanya. Beraninya dia meniru orang yang sangat kukasihi dan menipuku.
"Luka itu," ucap gadis aneh bertelinga panjang sembari menunjuk ke arah dahiku. "Kau mendapatkannya saat terjatuh dari pohon di belakang sekolah saat kita masih kelas 6 SD."
Aku tertegun. Selain aku dan Anggi, tidak ada seorang pun yang tahu cerita di balik luka yang kutorehkan pada dahi ini. Bahkan aku berbohong pada orang tuaku dan menjawab bahwa aku tidak sengaja terpeleset dan menabrak tembok.
Saat itu aku masih belum terlalu yakin bahwa gadis Elf yang ada di hadapanku adalah Anggi. Seiring berjalannya waktu, aku menyadari ada banyak kesamaan antara dirinya dengan Anggi yang kukenal. Tentu saja selain penampilannya yang terlalu berbeda jauh.
Aku merasa sifat di antara gadis Elf dan Anggi memiliki banyak kesamaan. Mereka sama-sama memiliki hati yang lembut dan mudah tersenyum. Setiap kali gadis Elf itu tersenyum, auranya selalu mengingatkanku pada Anggi yang selalu ada di dalam memoriku. Bahkan dari pemilihan kata di setiap ucapannya, kebiasaanya yang terlalu ceroboh, porsinya makan yang selalu sedikit, dan yang paling kental adalah ... raut kesal di wajahnya ketika kami berseteru.
Tatapan tajam serta pipinya yang menggembung itu, benar-benar selaras dengan Anggi di dalam memoriku. Semua kesamaan itu membuatku menyimpulkan bila gadis bertelinga panjang yang kini selalu bersamaku adalah Anggi sungguhan.
Waktu pun terus berlalu hingga tak sadar kami sudah tinggal di dunia ini selama satu tahun. Hari-hariku bersama Anggi yang kini menjadi seorang gadis Elvian, berlanjut. Termasuk perasaan yang terus berkembang setiap harinya dalam relung hati ini.
Rasa kasih sayang yang kumiliki semakin membesar sampai di titik di mana aku nyaris tidak sanggup menampungnya lagi. Ingin kukatakan kekalutan yang membuat dadaku sesak, tapi aku ragu. Aku yang sebelumnya tidak pernah secara gamblang menunjukkan bahwa aku tertarik padanya. Jika aku tiba-tiba mengutarakan perasaanku padanya, aku takut jika Anggi menganggapku menyukainya hanya dari penampilannya yang kini tampil menjadi lebih memukau. Padahal, aku selalu menaruh hati padanya sejak dulu.
"Apa yang kau lihat? Ada sesuatu yang salah di wajahku?" celetuk Anggi ketika menangkap basah diriku yang terpaku memandangi wajahnya lamat-lamat.
"Hah, s-siapa pula yang melihatmu, Bodoh? Aku sedang melihat Kak Shella yang ada di sana," balasku gelagapan seraya secara acak menunjuk Shella yang berada di ujung ruangan klinik. Untung saja ruangan ini cukup besar, jadi Shella tak bisa mendengar apa yang kubisikkan pelan.
"Kenapa juga kau melihatnya sampai seperti itu?"
Aku kembali terbenam dalam lautan pesona yang menyihir mataku untuk memandang gadis Elvian di hadapanku dalam-dalam. "Ya, kau tahu. Dia benar-benar menawan. Hatinya lemah lembut, senyumnya selalu membuat orang di sekitarnya hangat. Aku tidak akan pernah lupa dengan caranya tersenyum riang gembira."
Semua pujian yang kulontarkan adalah kebenaran dengan satu syarat, yaitu mengganti kata 'Dia' menjadi 'Kamu'.
Aku tak mengira semua argumen pengalihan itu membuat kesalahpahaman yang tidak perlu.
Gadis Elvian yang ada di hadapanku kemudian menyeringai, membalikkan badannya, lalu berjalan menjauh dengan langkah sedikit melompat-lompat. "Biar kuberi tahu pada Kak Shella, ah!"
Jangan! Tidak.
Ucapanku semua itu untukmu, bukan untuk gadis lain!
Tanganku segera mengamit pergelangan tangannya dan membuat tubuhnya tersentak.
"Aw, sakit tahu!"
"Tolong jangan dia sampai tahu. Jadikan itu rahasia kita berdua, oke?"
Itu adalah titik di mana aku ingin menyimpan dan mengulangnya kembali. Karena itu adalah poin penting di mana kesalahpahaman tidak perlu membesar dan menambah runyam masalah yang ada.
Sejak saat itu, Anggi selalu berusaha menjodohkanku dengan Shella. Sering kali kutangkap basah ia ketika mencoba menciptakan suasana yang pas bagiku dan Shella. Aku yang berulang kali terjebak dalam skenarionya, mau tidak mau mengikuti permainan yang ia buat. Setiap kali ada sedikit saja kesempatan, Anggi dengan kejamnya mendekatkanku pada Shella.
Karena itulah, sesuatu yang tidak kuinginkan terjadi. Aku bukanlah orang yang tidak peka seperti karakter-karakter utama pria dalam novel percintaan. Aku sadar betul bagaimana Shella telah mengubah nada bicaranya jadi lebih lembut saat mengobrol denganku, membuang pandangannya sesekali jika bertatapan lama dengan mataku, dan memberikan perhatian lebih dengan terkadang membuatkan bekal makanan yang ia masak sendiri.
Ah, seniorku mulai menaruh hati padaku.
Jujur saja, aku merasa bersalah memainkan perasaannya seperti ini. Ingin sekali aku terus terang mengatakan bahwa aku tidak memiliki ketertarikan sama sekali padanya. Namun aku takut dia terluka karena sudah berharap. Ketika itu aku memutuskan, untuk terus mengikuti permainan ini dan mencoba perlahan-lahan bersikap bila aku kehilangan minat pada Shella.
Mungkin terbilang kejam. Tapi aku harus melakukan ini, karena tidak kupungkiri aku masih membutuhkannya dalam perjalanan mencari Kristal Roh. Tidak ada di antaraku dan Anggi yang paham ilmu penyembuhan dan obat-obatan herbal selain Shella. Gadis itu memang apoteker dan perawat handal. Ia bisa dengan cepat mengetahui kondisi pasien dan dengan tepat memberi obat penyembuh di dunia keterbatasan ini. Dunia ini masih terbelakang dibandingkan duniaku yang lama, yang mampu mengobati pasien secara efisien dengan alat-alat canggih. Karena itulah aku membutuhkannya.
Ya, aku memang pria bajingan.
Aku sudah tahu bila di kemudian hari Shella akan merasa sakit hati padaku.
Mengesampingkan itu, hal yang paling tidak ingin kulihat adalah wajah sedih Anggi. Masa lalu yang kelam membuatku ingin mencegah itu apa pun yang terjadi. Meski nanti dia akan marah dan kecewa padaku, namun tak mengapa.
Perjalanan kami mencari kristal roh dimulai. Ini bukanlah perjalanan yang mudah, kami terus menemui tantangan demi tantangan yang untungnya berhasil kami lewati. Hal yang paling menyentuh adalah ketika Anggi berusaha keras mencari bahan material untuk menyembuhkan racun di tubuhku. Jujur saja, aku bahagia. Melihat orang yang kusukai berusaha keras untuk membuatku tetap hidup bagaimana pun caranya.
Kendati demikian, aku membenci satu hal.
Aku membenci diriku yang begitu lemah hingga tak bisa melindungi orang yang paling kupedulikan. Bagaikan semut yang terjebak di dalam badai pasir. Menunggu entah terbawa oleh angin kencang atau terkubur lapisan pasir.
Sebegitu tak berdayanya aku dalam pertarungan melawan Strigifavorus.
Sebegitu tak berdayanya aku ... tak kuasa menyelamatkan Anggi yang ada di hadapanku.
... yang hanya bisa berdiri terpaku, melihat tubuh gadis itu terlahap semburan api dari sang Monster Legendaris.
___________________________
Gelap. Hanya itu yang bisa kuingat. Perlahan aku mendengar suara langkah kaki orang banyak berlalu-lalang di sekitar. Indera penciumanku pun turut menangkap aroma kue dan kopi segar yang menguar di udara. Suara bising orang yang saling berbincang, bercampur dengan beberapa suara yang amat familiar bagiku. Cahaya menyilaukan membuatku mengerjap beberapa kali. Aku terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat. Mencoba memegangi kepalaku yang terasa amat sakit. Memori terakhir kali yang kuingat adalah semburan napas api Strigifavorus menerjang ke arahku dengan cepat.
Ah, benar juga. Apakah aku sudah mati?
Tatkala aku membuka mata, aku tidak mempercayai apa yang kulihat. Di depanku, bukan terbentang hutan Hanarusa yang luas, melainkan jalan raya beraspal dengan lima lajur di kedua sisi. Suara deru mesin kendaraan yang melaju kencang, bunyi mesin bor dan las pada area kontruksi di tengah jalan, suara musik dari gitar listrik yang memekakkan telinga melalui speaker besar, juga bunyi desiran angin ketika rangkaian MRT melintas senyap di jalurnya, semuanya bercampur menjadi hiruk pikuk kota besar yang kukenal.
Masih merasa tidak percaya dengan apa yang kulihat, aku tak kuasa menjatuhkan dagu dan membuat mulutku menganga seperti gua besar. Orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar melihatku dengan tatapan aneh dan saling berbisik.
"Kenapa orang itu berpakaian aneh sekali?"
"Cosplay?"
"Wah, cewek bule itu cantik juga!"
"Tapi kenapa dia tidur di jalanan? Apa dia gelandangan?"
"Mungkin lebih baik hindari saja dia!"
Berbagai macam respon kuterima dari para pejalan kaki. Aku segera bangun dan mencoba melihat ke diriku sendiri. Aku masih mengenakan pakaian yang kubeli di pasar Glafelden, sebuah tunik yang terbuat dari kulit dengan celana hosen yang agak longgar. Tidak lupa dilengkapi oleh sepatu bot dan jubah bertudung berwarna hitam yang selalu melekat dengan tubuhku. Penampilanku ini begitu kontras dengan mereka yang mengenakan pakaian modern seperti T-shirt, kemeja, blus, atau jas. Tak pelak aku menjadi bahan tontonan yang menghibur bagi mereka. Bahkan tak sedikit yang memotretku dengan ponsel mereka.
Aku segera bangun dan kembali mengamati ke sekitar, mencoba memastikan lagi keaslian dari pemandangan yang kulihat. Gedung-gedung pencakar langit berdiri berjejer seakan menantang langit. Ruas-ruas jalan dipadati kendaraan yang tak terhitung jumlahnya. Orang-orang dengan segera menyebrang jalan begitu lampu hijau untuk pejalan kaki menyala. Aku menyentuh pagar beton yang menempel punggung untuk memastikan itu nyata.
Kasar ... dan juga kotor.
Ini benar-benar asli.
"Apa sekarang aku kembali ke dunia asal?"