Meski sudah berulang kali mengerjapkan mata, aku tetap tidak percaya dengan apa yang kulihat. Mengabaikan tatapan aneh orang lain, kulangkahkan kaki mengikuti trotoar sepanjang jalan.
Di tengah perjalanan, aku mengamati dengan detail apa yang ada di sekelilingku. Batu bata yang tersusun rapi sepanjang trotoar lebar ini, dilengkapi dengan ubin taktil yang memiliki tekstur kasar dibanding ubin lainnya dan memiliki pola bulat-bulat kecil, berfungsi memandu para tuna netra sebagai penunjuk jalan. Bangku-bangku taman yang memanjang diletakkan di bawah pohon rindang yang ditanam di tengah trotoar. Orang-orang duduk di halte bus guna menunggu kedatangan bus mereka selanjutnya. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi hingga nyaris menyentuh garis angkasa yang kini berwarna jingga. Garis-garis mentari menembus awan dari balik gedung-gedung bertingkat, tampak serasi dengan lampu-lampu kota yang mulai nyala satu per satu.
Entah mengapa sudah lama sekali rasanya terakhir kali aku menikmati suasana sore hari di tengah kota besar. Padahal dulu aku paling tidak peduli dengan hal seperti ini. Suara klakson busway tiba-tiba pecah tatkala ada sebuah sepeda motor yang berada di depan jalurnya. Aku tersenyum. Hal-hal kecil seperti itu entah mengapa membuatku rindu.
Andai saja Almira ada di sini, dia pasti akan kaget bukan main. Mulutnya mungkin terbuka lebar hingga dagunya menyentuh tanah. Dulu dia tidak percaya dengan ceritaku dan menganggapku membual. Kalau ia melihat semua ini, aku akan langsung memukul perutnya dan berkata 'Rasakan itu!'.
Ah, betul juga.
Rumah.
Aku ingin segera pulang ke rumah dan bertemu dengan keluargaku. Memang cukup jauh dari tempat ini, mungkin bisa kutempuh dalam waktu setengah jam jika berjalan kaki. Mengeliminasi pilihan menggunakan transportasi umum, aku tidak memiliki uang sama sekali. Lagipula penampilanku saat ini masihlah berupa Haier Elvian, bukan sebagai manusia yang dulu pernah ada di dunia ini.
Iya, juga.
Bagaimana jika aku menemui kedua orang tuaku nanti dengan wujud ini? Apa mereka akan langsung percaya jika aku adalah anaknya?
Lalu, yang menjadi pertanyaan utamaku adalah ... mengapa aku bisa kembali lagi ke dunia asal?
Entah seberapa keras aku memikirkannya, tidak ada jawaban yang muncul dalam benakku. Baru ketika aku memutuskan untuk mengabaikan itu. Mendadak angin semilir berhembus pelan dan membuat tubuhku merinding. Sebuah suara melintas dekat telingaku.
"Jadi, kau lebih suka kota ini atau Glafelden?"
Dengan secepat kilat kepalaku menoleh ke belakang, arah suara itu berasal. Tapi aku tidak menemukan apa pun di sana. Hanya para pejalan kaki yang menyusuri trotoar lebar dengan berbagai macam ekspresi, ada yang penasaran dengan penampilanku, ada yang tenggelam dalam ponsel dan gawai mereka, ada juga yang melirik sebentar kemudian menjadi tak peduli dan berlalu melewatiku. Tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar memiliki minat padaku.
Aku terdiam sejenak.
Ini adalah dunia yang sama sekali berbeda dengan Juiller. Seharusnya tidak ada satu pun penduduk di sini yang mengetahui tentang Glafelden, sebuah kota kecil di perbatasan Kerajaan Lurivia yang letaknya tak ada di Bumi.
Apa ada orang lain yang turut ikut kemari?
Tapi, siapa?
Bahkan teman-temanku yang memang berasal dari dunia ini tak tampak batang hidungnya, apalagi penduduk asli Juiller?
"Jika kau ingin tahu semuanya, ikuti aku, Makhluk Campuran!"
Suara itu lagi. Begitu aku kembali menoleh ke depan, ke arah suara berasal. Aku mendapati seorang wanita dewasa melirik padaku dengan senyum menggoda. Orang itu berpakaian ala wanita kantoran dengan mengenakan blus hitam dan rok pendek selutut. Ditambah dengan potongan rambut pendek sebahu serta kacamata tipis yang memberi kesan elegan. Gayanya mirip dengan pembawa berita yang biasa kau temukan di saluran televisi mana pun.
Sebuah tanda tanya besar tercipta di atas kepalaku. Dari gaya berpakaiannya yang tampak terbiasa dengan dunia modern, seharusnya perempuan itu penduduk asli Bumi. Tapi mengapa dia tahu tentang Glafelden?
Aku juga tidak mengenalinya sama sekali. Jika pernah bertemu di suatu tempat di Glafelden, aku seharusnya mengingatnya. Penampilan wanita itu begitu cantik hingga dapat membuat seluruh dunia terhenti untuk memandangnya. Tidak mungkin aku bisa lupa dengan penampilan yang sangat mencolok itu.
Ketika aku tengah berpikir keras, sosok wanita itu perlahan menghilang tertelan kerumunan orang. Aku segera berlari guna tak kehilangan jejaknya. Wanita itu kemudian masuk ke dalam kedai makanan cepat saji yang berada di lantai dasar sebuah gedung pencakar langit. Aku melihat sebuah papan reklame bisnis yang terpasang di atas pintu masuk ganda yang terbuat dari kaca. HFC, sebuah bisnis waralaba makanan cepat saji dengan logo ikonik pria putih berusia senja, yang terkenal dengan resep ayam gorengnya yang tiada tara. Mencium aroma ayam goreng yang baru saja matang dari penggorengan tiba-tiba mengundang rasa laparku. Aku begitu tersihir oleh harumnya yang menyeruak keluar dari sela-sela pintu dan ventilasi udara.
Padahal dulu aku tidak begitu menyukai makanan cepat saji. Namun menemukan aroma yang sudah lama tak kau jumpai entah mengapa membuatku rindu. Aku melangkah masuk ke dalam setelah membuka pintu kaca.
Begitu aku masuk ke dalam kedai, aroma ayam goreng menyerbak lebih kuat lagi. Harum rempah-rempah yang menjadi resep rahasia kedai ini menjadi candu bagi indera penciumanku. Orang-orang mengantri rapi di depan kasir sambil memesan. Bunyi air soda berkarbonisasi yang mengucur ke dalam gelas plastik menjadi suara yang indah di telingaku. Angin dingin berhembus dari pendingin ruangan dan membuat bulu romaku berdiri. Sebuah sensasi yang takkan pernah kau temukan di Juiller.
Ah, aku benar-benar berada di dunia modern!
Setelah memesan dua paket ayam goreng dengan kentang goreng dan minuman soda yang berukuran besar, perempuan misterius itu mengundangku untuk duduk di salah satu meja makan yang ada di sudut ruangan. Setelah ia menaruh nampan besar ke atas meja, ia membagikan salah satu paket makanan itu kepadaku. Wanita itu langsung mengambil gigitan besar pada ayam gorengnya dengan wajah bahagia seperti anak kecil.
"Lezatnya! Aku tak pernah tahu kalau ayam ternyata bisa seenak ini!" seru perempuan itu dengan raut yang berseri-seri seperti orang bodoh.
"Anu ... kamu ini sebenarnya siap—"
"Jangan bicara dulu dan makanlah!" Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, ia sudah menyela dan menyuruhku makan terlebih dahulu.
Aku sempat ragu dan ingin segera mendapatkan jawaban darinya. Setelah melihat wanita itu yang asyik dengan dunianya sendiri ketika menyantap makanan cepaat saji itu, membuatku mau tidak mau mengikutinya makan. Kunyahan pertama benar-benar terasa lezat. Tekstur luar yang gurih namun lembut di dalam membuatku tenggelam dalam kenikmatan. Bumbu rempah yang ditaburkan benar-benar terasa di lidahku. Aku pasti sudah tanpa sengaja membuat wajah bodoh seperti wanita di depanku sekarang.
Ini benar-benar lezat! Aku sedikit menyesal kenapa aku tidak sering menyantap makanan cepat saji ini sejak dulu. Setelah beberapa menit, kami berdua menghabiskan makanan di depan kami termasuk kentang goreng dan sausnya.
Sambil meneguk tegukan terakhir dari gelas sodanya, perempuan itu meluapkan ekspresi puasnya sembari bersandar pada sofa yang lembut dan menengadah ke arah langit-langit. "Enak sekali! Sungguh, ini benar-benar makanan yang paling lezat yang pernah kumakan. Terpujilah Sersan Sanders yang menciptakan resep ayam goreng ini."
"Ini memang lezat! Tapi terlalu banyak mengonsumsi makanan cepat saji kurang baik untuk tubuhmu."
"Apa ada makanan lezat lainnya yang perlu kucoba?"
"Kau mungkin perlu mencoba pizza."
"Oh, pizza. Seberapa enak itu?"
"Untukku yang penggemar makanan Italia, Pizza adalah makanan dari surga."
"Kalau begitu kita harus mencobanya!" sahut wanita itu dengan mengebrak meja, ekspresi penuh semangat tergambar jelas di wajahnya.
"Hah, kau lupa? Kita baru saja makan, tahu! Perutku sudah kenyang."
Untuk mengingatkannya, aku menepuk-nepuk perutku yang penuh. Bagiku yang selalu makan dengan porsi kecil, satu paket ayam goreng dengan nasi, kentang goreng, dan segelas besar soda sudah cukup memenuhi rasa laparku. Aku takkan sanggup jika harus memasukan makanan lain secara berturut-turut. Tapi berbeda dengan wanita yang ada di depanku. Sepertinya ia memiliki perut karet yang memungkinkannya untuk melahap beberapa hidangan dalam sekali makan.
"Ah, kalau soal itu tenang saja!"
Wanita itu menjentikkan jarinya hingga suaranya terdengar keras memenuhi ruangan ini. Bersamaan dengan itu, rasa kenyang yang ada di dalam perutku tiba-tiba saja menghilang. Berganti dengan rasa lapar seperti sesaat sebelum memasuki kedai, yang hanya dengan aroma hidangan saja sudah membuatku ngiler.
Seketika aku tertegun. Memandang penasaran ke arah perutku yang mendadak mengempis begitu saja. Belum sempat habis rasa penasaranku. Wanita itu lalu bangkit dan meraih pergelangan tanganku dan mencoba menyeretku ke suatu tempat.
"Selanjutnya kita ke restoran pizza!" ujarnya dengan senyum lebar.
Hampir saja aku terseret olehnya tanpa bisa memahami apa yang terjadi. Aku bangkit dan menghentikan kaki dan membuat wanita itu bertanya-tanya.
"A-Apa yang baru saja kau lakukan? Kenapa tiba-tiba ... perutku, jadi ... kosong?" ucapku terbata-bata karena gagal memahami situasi aneh ini.
"Oh, tidak perlu dipikirkan! Aku sudah menyingkirkan rasa kenyangmu, jadi kita bisa segera makan pizza. Bahkan kalau kau mau kita bisa saja menyantap semua makanan yang ada di dunia ini sekarang juga. Lagipula ini adalah dunia ilusi," jawabnya diiringi tertawa ringan.
"Hah, apa!? DUNIA ILUSI!!!?"
Tanpa sadar, suaraku meninggi dan mengisi ke seluruh penjuru ruangan ini. Pelanggan yang tengah menyantap hidangan mereka di meja makan, nyaris semuanya melempar pandangan kemari. Aku langsung menutup mulut dan mencoba untuk menundukkan kepala beberapa kali sebagai bentuk permintaan maaf. Bukan maksudku untuk merusak kenyamanan para pelanggan kedai ini. Hanya saja wanita gila yang ada di depanku, mengatakan sesuatu yang gila yang bisa membuatku gila.
"Hah, baiklah. Biar kuberitahukan padamu dengan cara seperti ini saja." Perempuan itu tersenyum, kemudian melepas kecamatanya.
Sesaat kemudian aku merasa logika di sekelilingku sedang dibengkokkan. Pemandangan kedai makanan yang tenang mulai terdistorsi perlahan tapi pasti, sampai pada ketiadaan. Orang-orang yang sedang makan, konter kasir yang melayani pelanggan, dan staf dapur yang sedang menyiapkan pesanan hilang begitu saja tanpa jejak.
Di saat berikutnya, aku menyadari diriku berada di tengah-tengah tempat yang tampak tidak asing. Begitu aku melihat ke sekeliling dengan cermat, barulah aku mengenali tempat ini dengan tepat. Karena belum lama aku pernah mengunjungi tempat ini. Tapi yang membuatku langsung mengenali adalah keberadaan altar dengan patung burung hantu di atas podium.
Ya, ini adalah altar bawah tanah yang kukunjungi saat mencari kristal roh. Tapi tempat ini berbeda dari memoriku. Altar ini tidak lagi terletak di bawah tanah, tapi di atas awan. Sejauh mataku memandang, hanya ada lautan awan dan puncak-puncak gunung yang menyembul dari balik kapas putih yang mengambang. Angin bertiup cukup kencang di luar altar, namun di dalam sini angin terlihat tenang, seolah ada yang menahannya. Bentuk tempat ini juga jauh lebih baik. Jalanan bebatuan yang tampak rapi, tidak rusak di sudut mana pun. Pilar-pilar batu tampak berjejer dengan megah sepanjang jalan. Air mancur pun tampak asri, dibarengi dengan pepohonan serta semak belukar yang ada di altar ini. Membuat tempat ini terasa lebih berwarna dibanding dengan yang kuingat.
"Di mana ini?" tanyaku penasaran.
"Ini adalah sebagian kecil dari Negeri di Atas Awan. Para anak-anak Dewa di bawah sana biasa menyebut ini dengan sebutan Alam Dewa."
Suara perempuan itu terdengar lagi di belakangku. Begitu aku membalikkan badan, aku cukup terkejut dengan penampilannya saat ini. Yang ada di depanku bukanlah seorang wanita dewasa yang sudah matang seperti yang kulihat sebelumnya. Melainkan gadis remaja yang usianya mungkin sepantaran denganku. Rambut peraknya tergerai sampai ke punggung. Tinggi badannya kini lebih pendek dariku, padahal sebelumnya setara denganku. Penampilannya bukan lagi ala pekerja kantoran, kini ia mengenakan gaun putih panjang yang terlihat begitu agung dengan beberapa aksesoris ala keluarga kerajaan di Kerajaan Roma Kuno. Aku terbelalak tatkala melihat sepasang sayap putih seperti burung merpati berada di balik punggungnya. Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah wajah cantiknya yang seakan tak lekang oleh waktu.
"Siapa kau?" tanyaku dengan tanda tanya besar.
Wanita itu menatapku lamat-lamat, kemudian menyunggingkan senyum tipis di wajahnya.
"Namaku adalah Allina, sang Dewi Cuaca. Sekaligus pengguna Kristal Roh Angin, Vitruj."