Chereads / Reborn as A Haier-Elvian: Sang Pemburu Darah dan Sang Penyihir] / Chapter 59 - Chapter 59 "Saatnya Kembali dari Alam Dewa"

Chapter 59 - Chapter 59 "Saatnya Kembali dari Alam Dewa"

"Ngomong-ngomong, teknik dunia ilusi yang kau ciptakan sungguh luar biasa! Aku benar-benar merasakannya di hampir seluruh panca inderaku. Seakan-akan, aku benar sudah kembali ke dunia asalku," seruku mengalihkan topik perbincangan, sekaligus menambahkan nada dan ekspresi kekaguman guna melemahkannya.

Dewi Allina seketika itu juga tertawa lebar. Gadis itu berkacak pinggang dan membusungkan dadanya dengan bangga. "Akhirnya ada juga yang mengerti tentang kehebatan teknik ini. Seluruh kakakku mengatakan itu tidak berguna, menurut mereka itu hanya membuang-buang waktu. Kau orang pertama yang memuji teknikku."

"Begitu, kah? Harusnya mereka menyadari betapa bergunanya teknik ilusi itu untuk memuaskan hasrat setiap orang."

"Begitulah," jawab Dewi Allina sembari tertawa renyah. "Mereka sungguh bodoh!"

Aku melihat ke sekelilingku. Altar ini berada di atas langit, bagai negeri dongeng di atas awan. Setelah kulihat lagi, altar ini berada di dataran tertinggi di sebuah pulau yang melayang. Di bawah dataran ini ada bentangan bukit, hutan, sungai, serta danau besar. Beberapa hewan seperti burung, rusa, domba, dan tupai juga tampak berkeliaran di lereng gunung. Sungguh, ini pemandangan yang begitu indah di mataku yang setiap harinya hanya menyusuri gang-gang kecil di kawasan kumuh Kota Glafelden.

"Bagaimana? Tempat ini indah, kan?" tanya sang Dewi.

Aku menganggukkan kepala. "Sebenarnya, di mana ini? Apa ada tempat seperti ini di dunia nyata?"

"Tentu saja tidak, bahkan kita tidak sedang berada di dunia nyata."

"Lalu, di mana kita sekarang?"

"Sudah kubilang, kan. Ini adalah Alam Dewa, sebuah semesta yang terpisah dari dunia fana. Kau tidak akan menemukannya di mana pun di duniamu."

"Lalu, bagaimana aku bisa berada di sini?"

"Karena sebelum Siti sempat menyentuhmu, aku langsung membawamu kemari."

"Siti siapa?" tanyaku penasaran seraya mengangkat sebelah alis.

"Siti itu peliharaanku. Nama lengkapnya Strigifavorus, tapi aku menyebutnya Siti."

Di saat itulah aku tercengang. Kalau saja aku manusia karet, mungkin daguku akan jatuh ke bawah lantai. Mungkin kini aku terlihat bodoh di matanya.

"J-J-Jadi burung bodoh itu peliharaanmu!!? Apa yang kau pikirkan dengan memelihara burung seperti itu? Monster itu membunuh banyak orang, tahu!!" seruku dengan nada tinggi dan kasar, membuat Dewi Allina tampak terkejut dan mundur. Aku bisa melihat sedikit ekspresi ketakutan di wajahnya.

"A-Aku tahu! Dan jangan menyebut Siti burung bodoh! Dia itu teman sejatiku, tahu. Dahulu, ia selalu mengikutiku kemana pun aku pergi. Bahuku adalah tempat bertengger yang sangat dia sukai. Siti begitu menggemaskan," balas Dewi Allina dengan lirih. Perlahan wajahnya mulai muram dan kelabu, seakan menahan sakit yang telah ia derita dalam waktu yang lama. "Sebelum 'peristiwa itu' terjadi dan kutukan mengubahnya menjadi sebesar dan seganas itu."

Gadis itu melempar pandangannya ke samping dan menunduk ke bawah. Wajahnya begitu pilu. Aku bisa melihat air mata yang nyaris tumpah dari ujung kelopak matanya. Aku tak kuasa melayangkan protes atas tindakan peliharaannya yang sudah membakar hangus satu kota.

Satu hal yang kuketahui sekarang adalah Strigifavorus saat ini terkena sebuah kutukan yang tidak kutahu. Membuatnya jadi monster yang ganas dan haus darah. Hingga saat ini, Dewi Allina masih murung melihat perubahan peliharaannya. Yang artinya, dia tidak memiliki kemampuan untuk mengubahnya jadi jinak kembali. Kalau bisa, dia seharusnya sudah melakukannya sejak dulu.

Lalu, gadis ini kembali menyebutkan tentang 'peristiwa itu'. Sepertinya itu adalah kejadian super penting yang bisa menjadi peristiwa sejarah jika dibukukan.

"Maaf, 'peristiwa itu' sebenarnya apa?" tanyaku pelan, berusaha mengusik Dewi Allina dari lamunan nelangsanya.

Dia melemparkan pandangannya padaku dan menatap dalam. Meski dia mencoba melupakan hal yang menyakitkan baginya, aku masih bisa melihat sisa raut sendu di wajahnya. Namun gadis itu tidak langsung menjawab. Bibirnya mungkin terasa kelu dan berat. Aku bisa merasakan keraguan di bola mata gadis itu.

Setelah terdiam beberapa saat, Dewi Allina memberanikan diri untuk membuka mulutnya. "Itu adalah kejadian yang takkan pernah kulupakan hingga saat ini. 'Peristiwa itu' ...."

Gadis itu kembali bungkam. Tidak ada lagi kesedihan di rautnya, yang ada adalah ekspresi seakan gadis itu menyadari sesuatu.

"Ah, hei! Kenapa aku jadi menceritakannya semua padamu!" serunya dengan nada tinggi. Dia kembali ke mode anak nakal, Dewi Allina berkacak pinggang dan memelototiku. Kedua alisnya menyatu dan terangkat bak sayap elang yang tengah terbang tinggi mengintai mangsa di padang rumput.

"Maaf?"

"Padahal aku tadi bilang aku akan menjawab satu pertanyaanmu saja. Kenapa aku jadi memberi tahu semua yang kau mau?" Dewi Allina menunjuk jari telunjuknya di depan hidungku, aku sampai harus mundur karena ia terlalu dekat. "Kau pikir bisa membodohiku?"

"Bukankah itu kau yang memilih untuk bercerita sendiri? Kuingatkan sekali lagi padamu, aku dari tadi hanya mendengarkan ceritamu saja."

"Mmmm..."

Gadis itu terlihat begitu kesal. Dia menggemeretakkan giginya dan meremas kedua tangannya sendiri. Kalau saja itu Dimas, dia mungkin sudah menjitakku dengan keras.

Ah...!

Tiba-tiba aku teringat tentang dirinya. Tepat sebelum aku masuk ke dunia ilusi, aku yang saat itu ketakutan melihat sosok Dimas secara samar-samar hendak berlari menuju ke arahku. Dia selalu mencoba untuk melindungiku kapan pun, ya? Memang seperti itulah dia. Entah mengapa aku jadi merindukannya.

"Dewi, ada lagi yang ingin kukatakan padamu."

"Sudah kubilang kan, satu pertanyaan saja. Kali ini aku tidak mau menjawabmu apa pun yang terjadi!" gadis itu membuang wajahnya dengan kesal.

Ekspresinya lucu sekali! Kalau saja dia bukan Dewa mungkin aku sudah akan memeluknya dan menggodanya lagi.

"Ini bukan pertanyaan, tapi permintaan."

"Permintaan? Apa itu, biarkan aku mendengarnya."

Aku menghela napas dalam. "Seperti yang kau tahu, saat ini aku tengah melawan peliharaanmu yang berubah menjadi monster ganas. Monster itu membunuh tanpa pandang bulu. Di sana, aku memiliki teman-teman yang sangat kupedulikan. Jika aku tak ada di sana setelah terkena serangan monster itu, mungkin teman-temanku akan mengira aku telah mati. Bisakah kau mengembalikanku ke sana?"

Sang Dewi Cuaca terdiam sesaat, kemudian menatapku lamat-lamat meski ia melipat tangannya karena masih merasa kesal padaku. Ia lalu menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan mulut.

"Baiklah, aku akan mengirimmu kembali ke sana."

"Benarkah? Terima kasih!" jawabku kegirangan. Aku bahkan sampai menjabat tangannya lalu menggoyangkannya ke atas dan ke bawah seakan begitu sangat berterima kasih.

Jujur saja, aku takut ia akan menahanku di sini selamanya. Masih belum jelas mengapa Dewi Allina membawaku ke Alam Dewa. Aku juga tidak berniat untuk menggalinya lebih jauh lagi. Yang paling penting saat ini adalah kembali ke sisi teman-temanku.

Hal terakhir yang kuingat adalah semburan api dari mulut Strigifavorus. Aku yakin sekali belum terkena serangan itu, jadi ketika aku kembali aku harus menghindarinya. Aku juga tak lupa dengan kondisi tubuhku yang kelelahan hingga tak mampu bergerak. Saat itu, pikiranku benar-benar buntu hingga tak bisa berbuat apa-apa.

Namun, setelah terbawa ke Alam Dewa, pikiranku kini jauh lebih tenang. Jika kupikir kembali, aku bisa saja mengambil Viglet Harapan dari sakuku, kemudian merapal mantra Esze angin yang sangat besar. Viglet Harapan dapat memanifestasi Esze menjadi berkali-kali lipat dari aliran Esze yang dikeluarkan dari sirkuit dalam tubuhku. Meski tidak dapat membunuh Strigifavorus, setidaknya itu bisa menangkal semburan apinya.

Setelah kuingat, aku juga belum pernah mengeluarkan kekuatan penuh dengan Viglet Harapan, karena aku takut akan menghabiskan seluruh energiku. Untuk kali ini, sepertinya tidak mengapa jika aku melakukannya. Menghabiskan seluruh energiku untuk membuat monster itu terluka, cukup sepadan. Jika Strigifavorus terluka, seharusnya pasukan Elvian sudah dapat menghabisinya dengan cepat.

"Kau tahu, Anggi! Sepertinya aku akan memberimu sedikit bantuan," seru Dewi Allina yang tiba-tiba memecah lamunanku.

"Bantuan apa yang kau maksud?"

"Aku akan memberimu sedikit kekuatanku."

Aku membisu, tak percaya dengan apa yang barusan kutangkap dengan telinga panjangku.

"M-Maksudmu kekuatan agung para dewa-dewi?" sahutku terbata-bata.

Gadis itu menganggukkan kepala. "Karena saat ini aku sedang terbelenggu, aku tidak dapat memberimu seluruh kekuatanku. Tapi itu sudah cukup untuk membuatmu mengalahkan si Siti."

"Tapi apa itu tidak apa-apa bagimu? Untuk mengalahkannya, aku mungkin harus membunuh peliharaanmu, loh."

"Justru itu tujuanku!" jawabnya seraya melempar senyum lebar. "Saat ini Siti bukanlah dirinya yang sebenarnya. Bentuk itu adalah hasil dari kutukan yang diterapkan padanya. Dengan membunuh tubuh fisiknya, jiwanya akan kembali ke Alam Dewa bersamaku. Kau tahu? Aku sudah lama sekali menunggu seseorang yang dapat mengembalikannya padaku. Begitu aku melihatmu, aku yakin kaulah orang yang tepat."

"Tunggu, bagaimana kau bisa melihatku?"

"Kau pasti sudah tahu tentang roh elementalis, kan? Mereka adalah makhluk yang sudah ada sejak dunia ini baru terbentuk. Meskipun tak kasat mata, tapi sebenarnya mereka ada di mana-mana. Melalui para roh elementalis itulah aku bisa mengamati dunia fana. Lalu, yang memohon padaku agar kau diselamatkan adalah dia!" sahutnya sembari menunjuk ke arahku. Aku menjadi bingung dibuatnya.

"Dia siapa?" tanyaku sembari mengangkat kedua bahu yang entah mengapa menjadi sedikit berat.

"Lihat di pundakmu!"

Begitu aku menoleh ke pundak kananku, aku mendapati gumpalan bola air yang melompat riang. Wajahnya tampak menggemaskan, mirip seperti anak kecil polos yang tengah berlarian di taman bermain. Sosoknya yang begitu imut membuat hatiku terenyuh, tak kuasa ingin memanjakannya.

Apakah dia roh elementalis air yang muncul di hadapanku sesaat sebelum serangan Strigifavorus mengenaiku?

"Begitu, jadi kau yang menyelamatkanku, yah! Terima kasih," ujarku sambil mencoba mencolek pipinya yang gembil nan menggemaskan. Roh air itu tertawa karena geli, namun tak mengeluarkan suara sama sekali.

"Tampaknya dia begitu tertarik padamu. Jangan lupakan juga yang lainnya."

Untuk sesaat aku kembali dibuat bingung oleh ucapannya. Barulah saat mengikuti arah matanya aku mengerti. Di atas pundak kiriku, terdapat gumpalan angin yang berputar. Meskipun dia tak memiliki bentuk fisik layaknya udara, ia juga memiliki wajah seperti roh air. Melihat wajahnya yang imut, aku pun tak kuasa untuk menyentuh pipinya. Begitu ujung jariku mengenainya, sensasi angin bertiup terasa oleh tanganku. Namun aku tidak dapat menyentuhnya lebih dalam lagi, karena kulitku membentur sebuah membran tak kasat mata. Roh angin itu turut tertawa tatkala jariku menggelitiknya.

"Ah, dia roh angin yang sudah menyatu dengan sirkuitku. Tak pernah kubayangkan lagi dapat bertemu dengannya setelah itu."

"Kau sudah melakukan kontrak dengan roh angin kecil itu, kan? Bagaimana kau juga melakukan kontrak dengan roh air itu?" usul Dewi Allina.

"Tentu saja aku mau."