Mengikuti ucapan Dewi Allina, aku melakukan kontrak dengan roh air yang saat ini berada di depanku. Aku menangkupkan kedua telapak tangan seperti akan menampung air dari tetesan hujan. Roh air itu tampak kegirangan, ia tersenyum lebar dan melompat-lompat bak anak kecil yang bahagia menanti kue ulang tahunnya. Ada sedikit perasaan geli namun menenangkan tatkala roh air mengenai kulitku ketika melompat bahagia. Karena tak ingin merusak perasaannya, jadi aku membiarkannya.
Berlawanan dengan roh air yang kegirangan, roh angin yang berada di bahuku terlihat agak tenang. Mungkin karena sudah melakukan kontrak denganku, perasaannya sudah tak menggebu-gebu lagi. Padahal aku ingat jelas dia melakukan hal yang sama seperti yang roh air lakukan ketika bertemu denganku dulu.
Apa semua roh elementalis akan bersikap seperti ini ketika akan melakukan kontrak?
"Untungnya saja roh elementalis ini baru saja terlahir, kalau roh menengah atau tinggi, aku tak bisa menjamin mereka akan mau melakukan kontrak denganmu. Jangankan membentuk kontrak, menunjukkan wujud di hadapanmu mereka mungkin enggan," jelas Dewi Allina dengan nada santai.
"Tunggu, jadi roh elementalis ada beberapa tingkatan?"
"Tentu saja ada. Yang baru terlahir bentuknya masih berupa gumpalan kecil seperti roh angin milikmu dan roh air yang ada di tanganmu. Roh elementalis tingkat menengah atau tinggi wujud mereka berbeda-beda, bahkan ada yang bisa berbicara dengan manusia. Namun harga diri mereka sangat tinggi. Aku sebagai dewi pun kesulitan ketika berhadapan dengan mereka."
Begitu, ya?
Ini pertama kalinya aku mendengar hal itu. Ketika Almira mengajariku tentang roh, wanita itu mengatakan semua roh hanya berwujud gumpalan mini. Bukankah itu artinya dia atau Elvian yang lain belum pernah bertemu dengan roh elementalis tingkat menengah atau tinggi?
Kalau kuberi tahu fakta ini, kira-kira ekspresi seperti apa yang akan ditunjukkannya?
"Asal kau tahu, menjalin kontrak dengan roh elementalis dengan tingkatan yang berbeda, akan berbeda pula pada magismu, loh."
Lagi-lagi Dewi Allina mengatakan hal yang baru untukku. Aku yang tidak memahaminya, hanya memiringkan kepala sambil memasang wajah bodoh.
"Kalau kau menjalin kontrak dengan roh tingkat rendah, maka kemampuan magismu hanya bisa merapal mantra dasar saja. Hal ini berbeda ketika kau mengontrak sebuah roh tingkat menengah atau tinggi. Kau akan langsung bisa merapal mantra magis tingkat lanjutan, dan jumlah mantra yang bisa kau kuasai akan terbuka lebih banyak lagi," jelas Dewi Allina dengan semangat. Ia bahkan sampai membusungkan dadanya. Sungguh aku tak bisa mengerti isi pikirannya.
Jika sesuai ucapan gadis itu, maka semakin tinggi tingkat roh yang dikontrak, maka semakin kuat kekuatan yang didapatkan. Itu menjelaskan mengapa aku hanya bisa merapal mantra yang lemah ketika telah menjalin hubungan dengan roh angin. Karena roh angin yang kukontrak masihlah tingkat awal dan belum memiliki kekuatan yang besar.
Lalu, bagaimana untuk mendapatkan kekuatan yang lebih besar dengan roh yang sudah terlanjur dikontrak?
Aku berpikir sejenak, dan menemukan sebuah gagasan. Mungkin saja, logika dalam game di duniaku sebelumnya berlaku. Aku harus terus melatih kekuatan magisku untuk mendapatkan poin pengalaman, guna membuat kemampuanku berkembang semakin kuat. Itu sungguh pemikiran yang sederhana, tapi berlaku di banyak kasus.
"Ah, tunggu! Kenapa lagi-lagi aku membeberkan semuanya padamu?!" seru Dewi Allina yang baru menyadari kebodohannya sendiri. Kedua tangan gadis itu memegang kepalanya, kemudian menggaruk-garuk rambutnya dengan kesal. "Allina bodoh! Allina bodoh! Allina bodoh!"
"Sepertinya kau orang yang bisa memegang rahasia, ya? Aku jadi takut rahasiaku tersebar karena mulut embermu," celetukku seraya tertawa kecil.
"Sudah, diam kau!" teriaknya seraya menunjuk ke arahku. "Cepat lakukan kontrak dengan roh air itu dan kembalilah ke duniamu! Aku takut akan terus membeberkan rahasia penting jika terus bersamamu."
"Itu yang ingin kulakukan. Tapi bagaimana? Saat mengontrak roh angin, aku harus bertapa berjam-jam untuk membuatnya setuju menjalin kontrak denganku. Apa aku harus melakukannya juga seperti itu?"
"Arrrggggh....!! Kita tidak punya waktu sebanyak itu. Asal kalian berdua sama-sama mau, kau cukup mengutarakan saja keinginanmu, dan dia akan setuju."
Sesederhana itu kah?
Aku tidak punya waktu untuk ragu-ragu. Jadi kusingkirkan segala macam pikiran aneh dari dalam kepala. Kulemparkan pandangan pada roh air di telapak tanganku, kudekatkan dengan wajahku. Ia tak lagi berlompatan riang gembira, dengan wajah tersenyum roh angin itu menatapku lembut. Aku yang tak kuasa dengan keimutannya hanya menghela napas panjang dan menutup mata.
Dalam kondisi gelap gulita di dalam kepala, entah apa yang harus kulakukan. Dewi Allina berkata aku hanya harus mengutarakan keinginanku saja. Tapi apa yang harus kukatakan pada roh air itu?
Ketika aku melakukan kontrak dengan roh angin di hutan pinggir kota Glafelden saat yang lalu, aku hanya memikirkan tentang keberlangsungan hidup teman-temanku ketika kami baru saja datang ke dunia ini. Tanpa tahu apa-apa, kami hidup dari belas kasih Grussel yang mau menampung kami semua asalkan kami bekerja untuknya. Waktu itu aku bertekad untuk menolong teman-temanku dengan semua yang kubisa.
Hahhh...!
Entah mengapa aku jadi kangen pada semua orang yang ada di Glafelden. Rekan-rekanku yang kini mulai menjalani kehidupan barunya, Almira yang dengan tekun mengajariku tentang Esze, petugas perpustakaan yang selalu ramah menyambutku, atau paman penjual gurita bakar yang biasa menjajakan dagangannya di alun-alun kota. Bahkan aku juga merindukan Grussel dan anggota berburu. Jika dipikir-pikir lagi, Grussel tidak sepenuhnya brengsek. Meski sedikit, dia juga masih memiliki hati layaknya manusia normal.
Kemudian, aku juga memikirkan tentang teman-temanku yang ikut serta dalam perjalanan ini. Indra dan Erik yang rela meninggalkan posisinya sebagai Ksatria Elit Kerajaan Lurivia, Shella yang dengan berani turut serta meski ia masih sering merasakan ketakutan, juga sahabatku Dimas. Untuk nama yang terakhir, entah mengapa aku langsung tersenyum getir ketika mengucapkan namanya.
Dimas, sahabatku yang selalu berada dekat denganku. Selain keluargaku sendiri, mungkin dia adalah orang yang paling lama berada di sampingku. Kami sudah mengetahui seluk-beluk dalam diri masing-masing. Pria itu, adalah orang yang paling tidak ingin melihatku menderita. Dimas selalu menjadi garda terdepan jika itu mengenai keselamatanku. Bahkan di saat-saat terakhir sesaat sebelum aku terpanggang oleh napas api Strigifavorus. Ia tetap berlari ke depan seolah ingin menyelamatkanku meski takdirku sudah ditetapkan.
Entah akan seperti apa dirinya saat mengetahui aku tiada. Mungkin dia menangis, berteriak kencang, atau pingsan? Membayangkannya saja sudah membuatku geli.
...
...
Hah, ya ampun! Aku tidak mau melihatnya seperti itu. Untuk orang yang selalu membelaku, aku tak ingin melihatnya terluka. Karena itu akan membuatku terluka juga. Aku tak tahan melihatnya menangis karena kehilanganku.
Aku harus kembali padanya.
Aku harus kembali ke sisinya, dan mengatakan aku baik-baik saja.
Karena itulah, aku membutuhkan bantuan darimu, Roh Air! Pinjamkan aku kekuatan untuk melindungi orang yang berharga bagiku. Karena aku juga tak ingin kehilangannya.
Aku ingin menyelamatkannya dari kekacauan ini!
Sedetik kemudian, aku merasakan sesuatu bersinar dari sela-sela kelopak mata. Begitu aku membuka penglihatanku kembali, aku mendapati roh air yang berada di tanganku memancarkan sinar hangat kebiruan. Roh Air itu kembali melompat-lompat dan tersenyum riang. Untuk sesaat ia menatap mataku, kemudian ia meluruh menjadi kabut putih dan masuk ke dalam dadaku.
"Akh!" seruku karena terkejut, bukan kesakitan.
Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar. Tidak ada lagi jejak Roh Air yang sebelumnya ada di tanganku. Bahkan Roh Angin pun sudah lenyap. Hanya ada aku dan Dewi Allina yang menatap puas ke arahku di altar yang luas ini.
"Apa aku sudah berhasil menjalin kontrak dengannya?" tanyaku yang masih ragu-ragu.
"Ya, kau berhasil. Selamat!" jawabnya seraya bertepuk tangan kecil. "Karena kau sudah memiliki kontrak dengan roh air dan angin, seharusnya kau bisa mengendalikan magis elemental air dan angin bersamaan. Jadi kau akan baik-baik saja di bawah sana."
"Begitukah?"
"Sebagai hadiah perpisahan, aku akan memberimu Berkah Ilahi," ucap Dewi Allina seraya berjalan mendekat, senyum anggun tertulis jelas di wajahnya. "Kau harus tahu, berkahku ini hanya sementara. Jadi kau harus mengalahkan Siti sebelum waktunya habis."
"Berkah Ilahi? Apa lagi itu?"
"Kau akan tahu begitu kembali ke bawah sana."
Bersamaan dengan Dewi Allina yang memangkas jarak, ia meletakkan jari telunjuknya di tengah dahiku. Ujung jarinya perlahan bersinar dan menghangat, kemudian sesuatu yang entah apa itu memasuki tubuhku. Rasanya seakan kekuatan besar masuk ke dalam sirkuit magisku.
Di detik berikutnya, dengan telunjuknya yang masih ada di dahiku, jari tengah miliknya menyentilku dengan kekuatan penuh. Aku terjerembab ke belakang. Mengira akan terjatuh di atas lantai pelataran yang luas. Tetapi, nyatanya tidak. Entah mengapa di tempat kakiku berpijak kini ada sebuah lubang besar yang sangat dalam. Aku ingin meraih sesuatu agar tak terjatuh. Namun, apa daya aku terlambat. Dengan gaya gravitasi aku langsung terjun ke dalam lubang dengan kecepatan tinggi.
Hal yang terakhir kulihat adalah Dewi Allina yang berteriak kepadaku.
"Anggiiiiiiiiiiiii!!! Kau ... lebih peka ... Dimasss!!!"
Hah, apa?
Karena suara angin yang begitu kencang, aku tak bisa mendengarnya dengan jelas apa yang dewi bodoh itu katakan. Melihat ke sekeliling, aku terjatuh ke dalam kegelapan yang tak berujung. Seperti tersedot ke dalam lubang hitam, tubuh dan pikiranku terdistorsi sehingga aku tak mengetahui lagi yang mana atas dan bawah.
_______________________________________________
Kali berikutnya aku membuka mata, aku melihat ujung-ujung pepohonan dengan daunnya yaang rimbun, disertai latar langit malam dengan hamparan bintang yang kelap-kelip. Gelap malam dinodai rona jingga dan kepulan asap dari berbagai arah.
Aku mencoba menggerakkan tubuhku. Tangan kananku adalah bagian yang pertama kali memberi respon. Aku mencoba gerakan menggenggam dan membuka telapak tanganku berulang kali. Kemudian bangun dan terduduk, sembari melempar pandangan ke sekeliling. Aku bisa memastikan ini adalah Hutan Hanarusa tempatku sebelumnya berada. Akan tetapi sepertinya ini jauh dari lokasi pertempuran, karena tak ada seorang pun di sekitar.
Telingaku bisa mendengar sayup-sayup suara pertarungan di kejauhan. Nampaknya Dewi Allina mengembalikanku ke lokasi di luar area pertarungan. Aku mencoba bangkit berdiri. Keletihan yang kualami sebelum masuk ke Alam Dewa menguap begitu saja, seakan tidak pernah terjadi. Kini aku bagai orang yang baru saja bangun tidur. Semangat, tenaga, dan kekuatan, semuanya mengalir di dalam tubuhku.
"Bagus, tubuhku masih utuh! Saatnya kembali ke pertarungan," ucapku seraya menuntun kakiku ke arah suara pertarungan.
Beberapa saat kemudian, aku tiba di medan pertempuran. Suasananya tidak jauh lebih baik dibanding dengan saat sebelum aku ditarik ke Alam Dewa. Pepohonan Hanarusa yang tinggi, tumbang dan terbakar. Begitu pula dengan puluhan tentara Elvian yang tidak sanggup melawan Strigifavorus. Tubuh mereka hangus dan menimbulkan bau daging terbakar yang menyeruak hidung. Meski sudah memulihkan kekuatan, tetap saja aku tidak akan pernah terbiasa dengan bau ini. Perutku mual, kupikir aku akan muntah.
Tidak jauh dari tempatku berdiri, aku bisa melihat tentara Elvian yang tersisa tengah gagah bertarung melawan monster yang tengah mengudara. Mereka melemparkan apa saja untuk membuat monster itu terjatuh. Mantra magis, anak panah serta lembing yang sudah diperkuat oleh Esze, semua beterbangan ke udara.
Strigifavorus tampak tak berpengaruh oleh itu, seolah semua serangan itu hanya gangguan kecil baginya. Bahkan serangan Esze dari Pangeran Keylan yang terbilang besar pun tidak sanggup menjatuhkannya ke tanah. Wajah semua orang tampak putus asa.
Di antara wajah-wajah penuh penderitaan itu, mataku menemukan raut yang paling putus asa. Dia adalah orang yang kucari. Orang itu memberontak meski tubuhnya telah ditahan oleh Indra yang berbadan kekar. Wajahnya berlinang air mata tampak menyedihkan diiringi suara teriakannya yang memanggil-manggil namaku.
Ya ampun, dia tampak seperti anak kecil! Aku ingin sekali mengejeknya saat ini. Andai saja aku memiliki ponsel di tanganku, aku ingin mengabadikannya sebagai bahan tertawaan seumur hidup.
Tapi, entah mengapa ... aku tak kuasa melihatnya seperti itu.
Hatiku terasa pilu melihatnya begitu putus asa seakan melihat akhir dunia. Satu hal yang tidak pernah ditunjukkan kepadaku, adalah sisi lemahnya. Dimas selalu bersikap tegar dan kuat entah seperti apa masalahnya. Tapi kali ini dia terlihat begitu rapuh.
Aku ingin ... berada di sisinya ketika ia bersedih.
"Dimassss!!!" teriakku sembari berlari ke arahnya.